TintaSiyasi.com -- Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menjadi perkara yang kerap kali menghiasi kehidupan pernikahan.
Berdasarkan data Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Republik Indonesia, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan pada periode 1 Januari 2022 hingga 21 Februari 2022 tercatat sebanyak 1.411 kasus. Sementara, sepanjang tahun 2021 terdapat 10.247 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dengan jumlah korban 10.368 orang. (polri.go.id)
Pada akhirnya, perceraian pun menjadi satu-satunya jalan yang harus ditempuh. Dilansir dari databox.katadata.co.id, angka perceraian meningkat 54% dibandingkan tahun 2020 pada 2021, yaitu dari 291.677 kasus menjadi 447.743 kasus. KDRT menyumbang sebanyak 4.779 kasus.
Suasana rumah yang nyaman, tenteram, damai yang penghuninya diliputi kebahagiaan jauh dari kegelisahan, perselisihan bahkan tindak kekerasan adalah makna dari sebuah ungkapan "Baiti Jannati"
Rumahku Surgaku
Kenikmatan surga sebenarnya baru dapat dirasakan oleh orang Mukmin di akhirat kelak. Namun, keindahannya telah Allah gambarkan dalam QS. At-Taubah ayat 72. Mungkinkah surga bisa diwujudkan dalam kehidupan dunia? Bisakah kenikmatan surga dihadirkan dalam rumah kita?
Ketenangan, kenyamanan serta kehidupan keluarga yang dipenuhi cinta dan kasih sayang bisa diwujudkan dalam kehidupan nyata. Allah SWT. telah mengabarkan pada kita dalam firman-Nya:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram (sakinah) kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang (mawaddah wa rahmah)." (TQS. Ar-Rum:21)
Pernikahan yang sudah berjalan bertahun-tahun memanglah pasti menghadirkan rasa biasa, tak lagi bergejolak seperti awal bertemu, tak lagi menggebu layaknya dahulu belum saling memiliki, dan sebagainya merupakan refleksi dari hilangnya reaksi kimia. Konon, cinta adalah gabungan feromon, endorfin dan serotonin, zat-zat tersebut lambat laun akan memudar dari diri pasangan. Ya, seiring bertambahnya usia pernikahan, cinta bisa saja menghilang.
Namun, seseorang yang dibekali iman, akan memandang ketidak menggebuan itu sebagai rasa tenang, ketidak bergejolakan itu adalah rasa aman, rasa biasa itu merupakan kestabilan jiwa. Karena pada saat cinta menghilang, Allah tumbuhkan rasa yang bernama kasih sayang (mawaddah wa rahmah). Yang kesemua itu merupakan wujud anugerahNya yang tidak dapat dinikmati jika belum merasakan pernikahan. Maka itulah Al-Qur'an menyebutnya sebagai sakinah; perasaan nyaman, tenteram dan tenang karena telah ada seseorang disisi.
Syariat Islam telah menetapkan seperangkat aturan yang harus dijalankan agar terwujud sakinah mawaddah wa rahmah tersebut. Salah satunya adalah pembagian peran dalam keluarga antara suami dan istri.
Berbagi Peran
Seperti yang telah kita ketahui, seorang suami bertugas mencari nafkah guna memenuhi segala kebutuhan keluarga yang meliputi makanan, pakaian dan tempat tinggal. Selain itu, Islam mewajibkan seorang suami menjadi qowwam (pemimpin). Meski laki-laki dianugerahi fisik yang lebih kuat, namun ia dituntut untuk bersikap lemah lembut terhadap istrinya.
Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: "Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paing baik akhlaknya dan orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya terhadap istrinya". (HR at-Tirmizi)
Kesakinahan keluarga akan terganggu manakala peran suami sebagai qowwam dan sebagai pencari nafkah tidak terpenuhi secara optimal. Keluarga akan kehilangan arah jika sosok pemimpin tidak hadir. Karena itu suami yang berharap surga ada di tengah keluarganya akan berupaya dengan segenap kemampuan untuk menjadi pemimpin terbaik bagi istri dan anak-anaknya.
Suami bertugas mengayomi, menjadi pelindung bagi keluarganya. Allah berfirman dalam QS. An-Nisa ayat 34, yang artinya:
“Suami itu pelindung bagi istri, karena Allah telah melebihkan laki-laki atas perempuan, dan karena laki-laki telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan shalihah adalah mereka yang taat kepada Allah dan menjaga diri ketika suaminya tidak ada…”
Seperti yang telah dijelaskan di atas, seorang istri wajib taat terhadap suami selama itu bukan dalam jalan kemaksiatan. Dan Islam menuntut seorang istri menjadi ummu warabatul bait (ibu dan pengatur rumah tangga). Kaum feminisme jelas tidak setuju dengan peran tersebut. Karena mereka mengagung-agungkan kebebasan yang bernaung di bawah kata HAM. Namun seorang Muslimah haruslah memiliki pemahaman yang benar sehingga segala tindak-tanduknya selalu terikat dengan hukum syara'.
Ibu adalah tugas yang mulia. Mereka dituntut untuk menjadi sebaik-baik madrasah pertama bagi anak-anaknya. Guna mencetak generasi yang melanjutkan estafet perjuangan Islam, bahkan sebagai investasi kelak agar anak-anaknya tumbuh menjadi shaleh dan shalihah.
Kedua peran penting di atas tak bisa dihilangkan atau digantikan. Ketika sang istri turut mengambil peran memikul beban ekonomi keluarga, tentunya akan menyita energi dan waktu mendidik anak-anak mereka. Apalagi jika seorang istri berpenghasilan lebih dari suami, dikhawatirkan akan muncul sifat Al-Mananah yakni perempuan yang suka mengungkit-ungkit kebaikan dan jasanya sehingga hilanglah rasa syukur terhadap apa yang telah suami berikan. Akhirnya, suami merasa direndahkan, seakan tidak memiliki kebaikan di mata istrinya. Seketika runtuhlah qawwamnya sebagai suami.
Hal inilah yang pada akhirnya memunculkan riak-riak dalam rumah tangga yang selanjutnya berdampak pada ketidakharmonisan keluarga.
Rumah tangga Muslim bukan tanpa masalah, bukan tanpa kesulitan, juga tidak berarti selamanya senang dan bahagia. Layaknya bahtera yang menyusuri samudera, terkadang menghadapi badai dan gelombang. Namun, semua itu tidak akan mengaburkan jalan. Tidak akan memalingkan tujuan karena arah perjalanan sudah dipandu dengan aturan yaitu syariat Islam.
Namun, mewujudkan keluarga ideal dalam masyarakat yang jauh dari nilai-nilai Islam seperti saat ini, tentu tidaklah mudah.
Sekularisme dengan paham-paham turunannya yang bathil seperti liberalisme dan materialisme memang meniscayakan kehidupan yang serba sempit dan jauh dari berkah. Hanya dengan Islam Kaffah-lah visi dan misi berkeluarga sesuai Islam dapat terwujud. Yakni meraih kebahagian hidup di dunia dan di akhirat kelak. Juga mewujudkan keluarga sakinah mawaddah wa rahmah; melahirkan generasi shalih-shalihah pelanjut estafet perjuangan Islam.
Wallahualam bissawab
Oleh: Purnamasari
Aktivis Muslimah
0 Comments