Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Tragedi Kanjuruhan, Antara Fanatisme dan Represif

TintaSiyasi.com -- Pada 1 Oktober 2022 yang lalu, dunia persepakbolaan Indonesia mengalami tragedi yang menyedihkan. Pertandingan sepak bola yang diadakan di Stadion Kanjuruhan, Malang, antara Arema FC vs Persebaya yang berakhir dengan skor 2-3. Hasil pertandingan ini memicu kerusuhan di Stadion Kanjuruhan antara supporter yang turut mendukung di stadion dan petugas polisi yang mengamankan kerusuhan.

Kerusuhan ini berubah menjadi tragedi yang menyedihkan di saat timbulnya korban jiwa. Dikutip dari kompas.com, kepolisian telah mengupdate data korban yang tercatat dengan total 678 orang, terdiri dari 131 orang meninggal dunia dan 547 orang yang mengalami luka-luka. 547 orang luka-luka ini terdiri dari 481 orang luka ringan, 43 orang luka sedang, 23 orang luka berat. Jumlah korban jiwa yang mencapai ratusan jiwa ini dikarenakan kerusuhan supporter yang mengrongrong arena dan petugas kepolisian yang menembakkan gas air mata yang tidak hanya ditembakkan ke arah supporter di tengah arena tapi juga ke arah supporter di tribun. Kejadian ini menimbulkan kontroversi di jagat media sosial, saling menyalahkan dengan satu pihak yang menyebut supporternya yang salah, dan di lain pihak menyebut petugas polisi yang salah.

Jika berbicara siapa yang benar dan salah, tidak akan selesai karena tidak menyentuh akar permasalahan. Dikarenakan akar permasalahannya menunjukkan bahwa semua pihak bertanggung jawab atas tragedi ini. Kejadian ini memperlihatkan kepada kita kengerian dari fanatisme kelompok yang ditunjukkan oleh supporter dari masing-masing tim sepakbola.

Fanatisme sendiri merupakan model ikatan kelompok yang lahir dari dasarnya sekulerisme yaitu paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Ikatan fanatisme ini bukannya membawa ikatan kelompok yang kuat tapi justru membawa kerusakan seperti kejadian Kanjuruhan ini. Kerusuhan akibat fanatisme dalam sepak bola tidak hanya terjadi satu-dua kali terjadi dalam sejarah sepakbola di Indonesia, akan tetapi kejadian yang terus berulang ini menunjukkan adanya pembiaran oleh negara dan aparat keamanan. Arti pembiaran disini adalah tidak adanya keseriusan oleh negara dalam menghentikan kerusuhan yang selalu berulang ini. Jika ada keseriusan negara maka masalah ini akan berakhir tanpa membawa masalah yang lain. Sayangnya, penyelesaian yang dilakukan oleh negara yang direpresentasikan oleh aparat kepolisian dengan menembakkan gas air mata justru menunjukkan tindak represif berbuah korban jiwa. Padahal penggunaan gas air mata dilarang dalam regulasi Federasi Sepak Bola Internasional atau FIFA yang akhirnya juga mengundang permasalahan lain. Penembakkan gas air mata berdalih menjaga keamanan tapi justru merenggut kehidupan rakyat.

Menyedihkan jika melihat permainan sepak bola ternyata bisa membawa masalah yang tidak kecil bahkan memunculkan korban jiwa. Permainan yang seharusnya bisa dinikmati justru menjadi medan hilangnya nyawa karena fanatisme kelompok. Aparat negara yang seharusnya mengayomi rakyat justru bertindak represif terhadap rakyat.

Berbeda dengan Islam yang meneladani Rasulullah Saw, Syariat Islam yang mengajarkan bahwa ikatan yang mengikat kelompok, masyarakat, negara, bahkan seluruh dunia hanyalah ikatan aqidah, bukan yang lain. Syariat Islam juga mencakup pengaturan bahwa negara memiliki tugas untuk mengurus dan mengayomi rakyat, termasuk aparat-aparat yang merupakan bagian dari negara. Tidak ada namanya negara yang bertindak represif terhadap rakyatnya karena hal tersebut melanggar syariat Islam. Hanya Islam yang dapat menunjukkan pengurusan dan pengayoman terhadap rakyat.
Wallahualam bissawab


Oleh: Fadhila Rohmah
Aktivis Muslimah

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments