TintaSiyasi.com -- "Tak satu pun pertandingan sepakbola yang seharga nyawa" Itulah slogan keprihatinan yang ramai di jagat perbincangan dunia sepakbola tanah air bahkan dunia. Sepak bola global merespon cepat, pita hitam yang melingkar di lengan para pesepakbola dunia adalah bentuk duka cita mendalam.
Laga-laga elit dunia mengheningkan cipta sebelum pertandingan bagi para korban Kanjuruhan. Tak ketinggalan club-club dunia berkirim pesan belasungkawa di dunia maya. Inilah tragedi terburuk sepanjang sejarah si kulit bundar negri ini, bahkan juga terburuk di dunia setelah tragedi di Peru yang menewaskan lebih dari 300 orang. Peluit panjang akhir pertandingan sekaligus akhir hidup 132 nyawa (data up date Dinkes Malang). Ada Ibu kehilangan buah hati, ayah kehilangan tumpuan harapan, istri kehilangan suami sebagai tulang punggung, anak kehilangan ayah atau ibu, bahkan ada yang kehilangan kedua orangtuanya sekaligus. Publik masih menanti, penuntasan investigasi, ditengah beribu pertanyaan yang masih menjadi misteri, seperti mengapa polisi menembakan gas air mata? bahkan ditembakkan ke tribun penonton padahal disana suasana penonton kondusif.
Mengapa saat pertandingan panitia yang bertanggung jawab memegang kunci tak ada? Mengapa demi rating dan sponsor, pertandingan harus mundur larut malam dan saat hiruk pikuk justru lampu padam, hingga tak terlihat ada yang terinjak, terseret dll. Sampai disini akankah kasus ini terang benderang atau malah masuk babak injury time (perpanjangan waktu) penuntasan ?Harus Ada Yang Bertanggung jawab.
Setelah investigasi marathon polri akhirnya kapolri mengumumkan 6 orang tersangka yang bertanggung jawab dan terancam pidana. Disusul orang nomer satu negri ini, segera memastikan Indonesia lolos dari sanksi FIFA, bahkan federasi sepakbola dunia itu akan berkantor di Indonesia selama proses pengungkapan tragedi kanjuruhan. FIFA pun menurut presiden akan melakukan perbaikan pengelolaan si kulit bundar di tanah air (vivanews.com, 10/10/2022). Nampaknya ini bagai angin segar, namun benarkah, pasca penetapan 6 tersangka, kemudian lolos dari sanksi FIFA, bisa menjadi indikator semua akan lebih baik dan segera tuntas? Publik rupanya masih harus menunggu.
Sementara itu tanggal 10 oktober kadiv humas polri dengan mengutip pernyataan pakar dari universitas Udayana Bali bahwa gas air mata bukan penyebab kematian, gas air mata hanya menghasilkan asap putih, banyak korban meninggal karena berdesak-desakan kekurangan oksigen. Namun tak dapat disangkal lewat penelusuran gambar cctv oleh TGIPF (Tim Gabungan Independen Pencari Fakta), menemukan penonton spontan panik berhamburan sebab efek gas air mata menyebabkan perih dimata juga sesak, bahkan kemudian pihak Polda Malang meminta maaf dan mengakui ada gas air mata yang kadaluwarsa (TV one.news.com). Lantas siapa yang benar? Sulit berharap ada yang pihak "gentle" maju bertanggungjawab kemudian mundur dari jabatan mengakui kelalaiannya atas nyawa yang melayang.
Kita semua shock atas tragedi yang mengguncang kesadaran ini, bagaimana mungkin sebuah permainan yang justru paling diminati dan digemari semua kalangan ini, bisa jadi ancaman bahkan merenggut nyawa 132 jiwa? Mungkin penguasa, para pejabat termasuk aparat polri sendiri, dan juga kebanyakan rakyat negri ini harus mensetting ulang, narasi, diksi dan wajah bangsa ini yang biasanya menyorot tajam pada syariah islam yang seringkali jadi obyek tuduhan radikal radikul, bahkan dianggap ancaman serta bahaya bagi generasi. Saat ini publik Indonesia bisa melihat, nyatanya justru bahaya hadir ditengah hingar bingar euforia fanatisme minus sportivitas, yang ironisnya justru difasilitasi negara.
Bagi kapitalisme yang dianut negri ini, sah-sah saja fanatisme, emosional, loyalitas supporter dimanfaatkan sebagai bisnis meraup pundi-pundi rupiah. Bukan kapitalisme sekuler namanya kalau tak serakah yang hanya berpikir laba, tanpa memperhitungkan "safety and security". Over kapasitas tiket, tapi tak ditunjang jaminan keamanan demi meminimalisir biaya. Tindak represif aparat yang mungkin lelah dilarut malam hingga melabrak aturan FIFA, lalu terpancing suasana emosional. Reaksi keras atas hal ini muncul dari gabungan masyarakat sipil yang didalamnya ada YLBHI, kontras, Elsam, Walhi, IPW, ICW, advokat. Mereka sejak awal concern mengawal tragedi berdarah di stadion Kanjuruhan Sabtu malam, 1 oktober 2022 tersebut.
Seiring proses berjalan, tanpa bermaksud berspekulasi atau membuat analisa dini, Laga derby liga I, Arema FC Malang kontra Persebaya, kini hanya meninggalkan duka dan kepahitan yang menyayat hati. Sanksi keras bagi brimob dan club Arema yang berjuluk "Singo Edan" pun dijatuhkan, tapi tentu tak bisa menghapus sesal yang sudah terlanjur terjadi. Nyawa supporter loyal dan fanatik yang kebanyakan berusia belia, tak kan kembali. Kiranya pernyataan Manajer club elit Manchester United, yang merasa tak habis pikir atas tragedi ini, bisa sedikit jadi pelecut, bahwa bangsa ini memang harus berpikir!! Banyak pelajaran berharga yang harus diambil. Solusi tuntas tak sekedar soal teknis sesaat seperti membuat stadion layak berstandar internasional, namun harus ada solusi jangka panjang yaitu membangun kesadaran masyarakat.
Islam Memberi Solusi Komprehensif
Disini adalah negri muslim terbesar didunia, dan diduga kuat pencinta bola fanatik dan loyal negri ini termasuk 132 orang korban adalah muslim. Sudah sepatutnya kita mengembalikan semua masalah kepada solusi islam, sebab hanya dengan solusi dari islamlah, penyelesaian tidak hanya menyentuh aspek tanggungjawab negara, kepedulian masyarakat tapi juga sampai pada individu yaitu para pecinta bola fanatik. Islam memiliki aturan menyeluruh (kaffah) dari zat yang maha sempurna Allah swt.
Islam tidak melarang individu memiliki hobbi olahraga namun islam memposisikan olahraga hanya sebagai washilah kesehatan, kebugaran dan rekreatif. Negara islam akan menyediakan sarana prasana olahraga gratis bagi semua lapisan masyarakat, yang dibangun bukan dari hasil memajaki rakyat. Semua masyarakat tak terkecuali bisa menikmati kebahagian dari manfaat olahraga.
Islam menutup celah agar Olahraga jangan jadi ajang prestise, bisnis apalagi fanatisme (ashobiyyah) semu yang kebablasan. Manusia dibekali akal agar bisa bertindak logik penuh perhitungan dan tidak bertindak gegabah mengikuti hawa nafsu emosional. Jangan sampai berakhir fatal. Begitu banyak tragedi dan ironi di dunia akibat fanatisme olahraga kebablasan. Coba renungkan, buka mata melihat fakta, banyak negri berkembang bahkan maju rela berhutang, bangkrut, miskin demi ajang prestise olahraga seperti olimpiade, piala dunia, sea games dll.
Ajang yang sesungguhnya berawal dari pemujaan para dewa di bukit olymphus dan dikembangkan barat yang notabene kristen. Pada saat yang sama banyak rakyat dunia lapar, kedinginan, miskin sementara uang yang tak sedikit dihamburkan demi ajang glamour pesta olahraga. Lihaf piala dinia yang akan digelar di Qatar UEA negri muslim desember 2022 mendatang, sungguh ironis dengan fakta yang terjadi di negri-negri muslim disekitarnya, bahkan piala dunia, pesta olahraga jadi ajang kemaksiatan mengumbar aurat, miras, judi dll, semua demi menghibur tamu-tamu internasional.
Wahai kaum muslim kembalilah pada aqidah Islam yang agung, aqidah mengarahkan kita pada ikatan hakiki sesama manusia dengan mengedepankan keadilan kemanusiaan dalam ukhuwah sejati bukan pada ikatan ashabiyyah (fanatisme, loyalitas pada kelompok, suku), bukan solidaritas olahraga tapi minus empati dan kemanusiaan. Lihatlah dunia cepat bereaksi pada tragedi kanjuruhan tapi menutup mata pada tragedi di Palestina atau rohingya atau tragedi yang menimpa kaum muslimin. Aqidah menuntun kita pada jawaban shahih, untuk apa kita hidup didunia fana yang singkat ini? Dan kemana tujuan akhir kita. Wallahu'alam bissawab
Oleh: Rengganis Santika A, S.TP
Sahabat TintaSiyasi
0 Comments