Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Banjir Terus Berulang Akibat Kapitalisme

TintaSiyasi.com -- Memasuki bulan Oktober 2022 banjir tengah melanda beberapa wilayah di Indonesia. Sepanjang awal Oktober hingga hari ini saja sudah banyak wilayah Indonesia yang terendam air. BMKG memprakirakan situasi cuaca wilayah Indonesia diketahui baru akan akan mengalami puncak musim hujan pada bulan Desember 2022 hingga Januari 2023.

Kabar tersebut disampaikan oleh Dwikorita Karnawati selaku Kepala Badan Meteorologi Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). 
"Sebagian besar wilayah Indonesia akan mengalami puncak musim hujan di bulan Desember-Januari," ujar Dwikorita Karnawati dikonfirmasi di Jakarta, Jumat (7/10/2022) lalu.
Ia menyampaikan, dari total 699 ZOM (zona musim) di Indonesia, sebanyak 175 ZOM (25,03 persen) akan memasuki musim hujan pada bulan Oktober 2022, meliputi sebagian Sumatra, Jawa, Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Sementara sebanyak 128 ZOM (18,31 persen), lanjutnya, akan memasuki musim hujan pada bulan November 2022, meliputi Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Saat ini, terdapat 60 ZOM (8,6 persen) yang sudah mengalami musim hujan meliputi Riau bagian selatan, sebagian Sumatera Selatan, Bengkulu bagian selatan, Jawa Barat bagian selatan. Kemudian, Kalimantan Barat bagian selatan, Kalimantan Tengah bagian timur, Kalimantan Selatan bagian selatan, Sulawesi Tenggara bagian utara, Maluku Utara bagian utara, sebagian Maluku dan sebagian Papua Barat. (tvonenews.com)

Bencana banjir yang menerjang Kabupaten Mamuju , Sulawesi Barat (Sulbar) tepatnya di Kecamatan Kalukku, Selasa (11/10/2022), menyisakan duka bagi warga setempat. Pasalnya, banjir disertai longsor yang menerjang wilayah itu membuat ribuan kepala keluarga (KK) kehilangan tempat tinggal. Tercatat 13 rumah rusak dan 6 unit lainnya hanyut terbawa arus. Selain itu, sekolah, puskesmas, rumah ibadah dan kantor desa juga rusak diterjang banjir. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Mamuju mencatat, sebanyak 1.625 kepala keluarga dengan 5.273 jiwa terdampak banjir dan tanah longsor di Kecamatan Kalukku.(SINDOnews.com, Rabu 12/10/22). 

Banjir juga merendam wilayah Kebon Pala, Kampung Melayu, Jakarta Timur dalam kurun waktu 2 hari terakhir ini. Padahal tidak ada hujan deras tiba-tiba Kali Ciliwung meluap hingga merendam permukiman warga bantaran kali. Air kiriman dari Bendung Katulampa, Bogor melalui Kali Ciliwung menyebabkan beberapa titik di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur. Ketua RT 11/05 Kebon Pala Eka mengatakan ketinggian air beberapa hari terakhir mencapai 175 cm. 
Hingga saat ini belum ada satu pun warganya yang kembali mengungsi ke tenda yang telah disediakan pemerintah setempat. Eka meminta ada pembangunan tanggul di sekitar lokasi untuk mencegah terjadinya banjir. (detik.com)

Menurut Kepala Suku Dinas Sumber Daya Air (Kasudin SDA) Jakarta Timur Wawan Kurniawan minimnya normalisasi tanggul di beberapa wilayah DKI Jakarta menjadi salah satu penyebab banjir yang terjadi pada Senin (10/10/2022). Untuk wilayah Jakarta Timur, hanya ada beberapa tanggul yang digunakan untuk menahan air kiriman dari Kali Ciliwung.

"Memang yang terjadi, beberapa titik lokasi belum ada pembebasan. Untuk daerah Cawang, sedang dibangun oleh Pemprov DKI yang bekerja sama dengan pihak ketiga untuk pembebasan langsung sheetpile di Cawang," ujar Wawan kepada Kompas.com, Selasa (11/10/2022).

Hingga hari ini, masalah banjir memang masih menjadi PR besar, tidak hanya bagi pemerintah daerah, tetapi juga pemerintah pusat. Nyaris tiap memasuki musim hujan, banjir dan longsor selalu mengancam berbagai daerah di Indonesia. Penyebabnya pun sangat klise, yakni curah hujan yang tinggi, luapan air atau problem iklim yang tidak bersahabat. Namun, tentu kita tidak boleh lupa, semuanya tidak lepas dari faktor manusia. Banyak aktivitas manusia yang mengakibatkan terjadinya degradasi daya dukung lingkungan, baik di daerah dataran tinggi, dataran rendah, maupun di daerah pantai. Semua ini akhirnya berdampak pada bencana ekologis yang berulang dan terus meluas. Bahkan, munculnya perubahan iklim sendiri ternyata terkait dengan aktivitas manusia yang tidak terkendali.

Sebenarnya penyebab utama bencana banjir sesungguhnya dikarenakan pembangunan yang gencar dilakukan para kapitalis (pemilik modal). Pembangunan yang dilakukan benar-benar tidak akomodatif terhadap daya dukung lingkungan. Bahkan, tampak kebijakan yang dilakukan hanya mengindahkan kepentingan para pemilik modal yang berorientasi bisnis.

UU Omnibus Law misalnya, aturan ini justru bisa memicu kerusakan lingkungan. Di antaranya terkait perizinan usaha yang makin dipermudah dan terbuka lebar di berbagai bidang. Tidak sedikit yang berkaitan dengan penguasaan tanah dan perubahan lingkungan. Artinya, UU ini membuat standar pengawasan dan pengendalian menjadi kian longgar.

Selain itu, kebijakan membuka berbagai kawasan untuk proyek-proyek strategis nasional, seperti pembangunan kawasan food estate, kawasan-kawasan wisata, kawasan perindustrian, wilayah-wilayah pemukiman, dan lain-lain beserta infrastruktur pendukungnya. Semua ini jelas telah mendorong alih fungsi lahan, bahkan membuat banyak bagian tanah tertutup semen dan aspal. 
Menilik penyebabnya, jelas bahwa bencana banjir dan sejenisnya adalah bencana yang sebagian faktor risikonya bisa dikendalikan manusia.

Dalam hal ini, kebijakan penguasa terkait pemanfaatan lahan dan perencanaan pembangunan sangat dipengaruhi oleh ideologi kapitalisme. Yaitu sistem yang memberikan kebebasan penuh setiap individu memiliki lahan untuk diprivatisasi. Sehingga bagi mereka, keuntungan materi adalah segalanya, maka soal kelestarian alam dan keberlangsungan kehidupan di masa depan, bukan urusan mereka.
Hal seperti ini tentu sangat bertentangan dengan Islam. Dalam Islam, alam, manusia, dan kehidupan dipandang sebagai satu kesatuan. Satu sama lain saling terikat, tidak bisa dipisahkan. Karenanya wajar jika Islam memerintahkan manusia untuk menjaga dan mengelola alam dengan sebaik-baiknya. Bahkan Islam menjadikan penjagaan dan pengelolaan alam ini sebagai salah satu tujuan penciptaan. Artinya melekatkan tugas menjaga alam ini dengan tugasnya sebagai hamba Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat.

Tentang hal ini Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berfirman,
 ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Telah tampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (maksiat) manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Ruum: 41)

Dalam hal ini, Islam tidak hanya memerintahkan untuk mengelola bumi dengan baik dan melarang untuk merusaknya, tapi juga memberikan cara-caranya. Tidak lain berupa seperangkat aturan yang pelaksanaannya melekat pada status manusia sebagai individu, sebagai masyarakat, bahkan dalam konteks negara.

Sebagai individu, Islam mengajarkan hukum syarak soal adab kepada alam dan lingkungan. Begitu pun masyarakat, diberi peran penting dengan kewajiban menjaga tradisi amar makruf nahi mungkar. Sementara kepada penguasa atau negara, Islam memberi porsi besar dalam penjagaan alam semesta. Dimulai ketika Islam menetapkan fungsi negara sebagai pengatur dan penjaga, dengan mewajibkan penguasanya menegakkan aturan Islam secara sempurna. Penerapan Islam inilah yang akan mewujudkan kerahmatan bagi seluruh alam, termasuk menjaga lingkungan.   

Oleh karenanya, sebelum datang isyarat langit yang lebih dahsyat dari bencana banjir dan sejenisnya. Maka bersegeralah menerapkan syariat Islam kaffah dalam naungan Khilafah yang akan menjauhkan manusia dari bencana di dunia dan di akhirat. Wallaahu a’lam bi ash-Shawwab.


Oleh : Rey Fitriyani
Aktivis Muslimah

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments