Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Ilusi Mengentaskan Kemiskinan dalam Sistem Kapitalisme

TintaSiyasi.com -- Baru saja negara kita diawang-awangkan dengan hasil survey Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengklaim bahwa telah terjadi penurunan angka kemiskinan di Indonesia. Dikutip dari laman resmi BPS disebutkan bahwa persentase penduduk miskin pada September 2021 sebesar 9,71 persen, menurun 0,43 persen poin terhadap Maret 2021 dan menurun 0,48 persen poin terhadap September 2020. Terlepas dari standar kemiskinan yang digunakan serta pemodelan perhitungannya, masyarakat tentu jauh lebih bisa merasakan bahwa hidup justru makin sulit. Level “hidup berkecukupan” makin berat untuk dijangkau.

Tidak berlangsung lama, menyeruak lagi informasi bahwa World Population Review (WPR) menempatkan Indonesia masuk dalam jajaran 100 negara paling miskin di dunia. Hal ini diukur dari Gross National Income (GNI) atau pendapatan nasional bruto per-kapita. Indonesia masuk dalam urutan ke-73 negara termiskin di dunia dimana pendapatan nasional bruto RI tercatat US$3.870 per kapita pada Tahun 2020. 

Sementara, mengutip gfmag.com, Indonesia menjadi negara paling miskin nomor 91 di dunia pada 2022. Posisi ini masih lebih baik dari beberapa negara di Asia Tenggara yang masuk di daftar 100 negara termiskin, seperti Vietnam yang berada di urutan ke-82, Filipina ke-72, Kamboja ke-46), Myanmar ke-45, dan Timor Leste ke-29. Sebelumnya, Bank Dunia (World Bank) mengubah batas garis kemiskinan. Hal ini membuat 13 juta warga Indonesia yang sebelumnya masuk golongan menengah bawah menjadi jatuh miskin. (CNN Indonesia.com)

Disaat angka kemiskinan begitu tinggi, mirisnya justru kita dihadapkan oleh fakta-fakta yang menunjukkan peningkatan kesenjangan ekonomi. Pasalnya, Range Rover yang baru saja diresmikan meluncur di Indonesia sudah nyaris habis. Padahal kendaraan tersebut dibanderol mulai Rp 5,9 miliar dengan status off the road. 

Bagaimana mungkin di saat kemiskinan makin menggurita, kondisi lain justru menunjukkan gaya hedon dan pragmatis. Disaat masyarakat dibuat kalang kabut dengan harga-harga kebutuhan pokok yang menjulang, para pejabatnya justru mencanangkan program-program pembebanan APBN yang jauh dari kata krusial.

Ketimpangan sosial berfase kritis ini hanyalah satu dari sekian fakta yang menggugah pikiran kita bahwa ada yang betul-betul salah dalam sistem yang menjadi tatanan perekonomian kita. 
Inflasi, korupsi yang membudaya, angka pengangguran melonjak, stagflasi, pasar bebas yang menganjlokkan usaha lokal, fasilitas umum yang diprivatisasi dan kesenjangan global yang melilit leher-leher  pejuang keluarga. Kesemuanya adalah sekelumit perkara yang berteman karib dengan penerapan sistem hari ini. Bahkan mungkin menjadi sesuatu yang sukses dinormalisasi.

Mengapa penyakit kronis bernama kemiskinan tidak pernah usai atau bahkan setidaknya terminimalisir? Kenyataan yang ada menunjukkan seolah perkara ini sama sekali tidak punya obat penawar.

Padahal pengentasan kemiskinan menjadi salah satu agenda nasional. Begitu banyak program-program yang dicanangkan pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Mulai dari Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), program subsidi, stabilisasi harga, jaminan sosial, pengelolaan dana desa dan masih banyak lagi. Namun adakah kemiskinan menemukan jalan kesudahan dengan beranak-pinangnya program-program mentereng tersebut?

Tidak dalam rangka memojokkan. Program yang telah pemerintah lakukan bukan berarti tidak baik dan tidak perlu. Namun selama ini kita selalu salah memaketkan permasalahan dan solusi. Bagaimana mungkin kemiskinan dapat teratasi dengan bantuan jangka pendek sedangkan sistem yang dipraktikan hari ini justru meniscayakan kepapaan.

Jika kita ingin dengan jujur mengurai benang kusutnya, belenggu kemiskinan yang tidak berkesudahan ini berawal dari penerapan sistem yang mengusung prinsip kebebasan kepemilikan. Tidak ada pengkategorian yang jelas tentang aset-aset apa saja yang berana privat, publik dan milik negara. Kepemilikan dititikberatkan pada keuntungan materi. Sehingga, hasil dari pengelolaan sumber daya alam tidak terdistribusi secara merata atau bahkan hanya segelintir orang saja yang menikmati hasilnya. Terealisasilah jargon “yang miskin makin miskin, yang kaya makin kaya”.

Tidak hanya itu, penerapan sistem kapitalisme saat ini juga menjunjung nuansa perpolitikan yang jauh dari target meri’ayah umat. Politik ditunggangi oleh nafsu kekuasaan dan ambisi harta. Sehingga muncullah istilah money politic, serangan fajar, dan tanam saham dalam dunia perpolitikan. Outputnya, korupsi membudaya hingga terasa nyata memiskinkan negeri. Dan juga bergelimparannya oknum-oknum yang menduduki kursi kekuasaan yang melenggangkan kaki para korporat serakah untuk menjarah kekayaan alam.

Maka terang benderanglah, kemiskinan hanyalah satu dari sekian output yang dilahirkan oleh sistem kapitalisme yang meluluhlantakkan keadilan sosial. Dan kekronisan kemiskinan tidak akan pernah bersanding dengan obatnya jika tatanan kehidupan seperti ini terus dilanggengkan.

Kala mengkaji kekaffahan Islam, maka kita akan menemukan bahwa dalam sistem Islam, konsep kepemilikan terinci dengan jelas dan bersifat wajib (mengikat) yang terkategori ke dalam kepemilikan umum, kepemilikan negara dan kepemilikan individu. Sehingga meskipun suatu benda memiliki nilai ekonomi tinggi dimata dunia sekalipun, jika benda tersebut terkategori dalam kepemilikan umum, maka haram untuk memprivatisasinya.

Selain itu, politik dalam sistem Islam murni atas keinginan mengurusi umat. Jabatan diduduki karena dorongan takwa. Dan dengan pemberlakukan sanksi yang memberikan efek jera bagi pencuri dalam sistem Islam, maka korupsi akan terminimalisir atau bahkan kehilangan peminat sama sekali. Harta rakyat yang dikelola negara aman dan terdistribusi secara merata.
Tidak sedikit yang menganggap kesempurnaan sistem Islam itu hanya bualan dan teori semata. Nyatanya, Islam pernah diterapkan secara menyeluruh termasuk halnya pemberlakuan konsep kepemilikan serta tabiat perpolitikan yang agung. Islam sungguh rahmatan lil alamin.

Penerapan syariatNya tidak akan mungkin memporak-porandakan kehidupan. Namun jika mengambil selain dari syariatNya, maka bersiaplah pada kebobrokan berjangka panjang.



Oleh: Musdalifah Rahman, ST.
Aktivis Muslimah


Baca Juga

Post a Comment

0 Comments