TintaSiyasi.com -- Presiden Jokowi, Menko Maritim dan Investasi Luhut B. Pandjaitan, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan perekonomian tahun depan makin suram. Ancaman resesi ekonomi di depan mata (CNBC Indonesia, 30/09/2022).
Survei terbaru dari Reuters (28/09/2022) menyebutkan kemungkinan “penderitaan” yang lebih besar karena bank sentral Amerika Serikat (AS) diperkirakan makin agresif menaikkan suku bunga hingga mencapai 4,75—5%.
Sri Mulyani memastikan kebijakan itu akan menghambat laju ekonomi sehingga ancaman resesi kian sulit dihindari. Begitu juga menurut Presiden Bank Dunia David Malpass, “Pertumbuhan global melambat tajam dengan kemungkinan perlambatan lebih lanjut karena lebih banyak negara jatuh ke dalam resesi (cnnidonesia.com, 27/09/2022).
NBER, sebuah organisasi riset ekonomi swasta berbasis di Amerika Serikat, mendefinisikan resesi ekonomi sebagai penurunan signifikan dalam aktivitas ekonomi yang tersebar di seluruh ekonomi, yang berlangsung lebih dari beberapa bulan. Biasanya terlihat dalam PDB riil, pendapatan riil, lapangan kerja, produksi industri serta penjualan grosir dan eceran. Di Inggris dan negara-negara Uni Eropa, resesi didefinisikan dengan pertumbuhan negatif ekonomi dalam dua kuartal secara berturut-turut. Resesi yang parah seperti pertumbuhan ekonomi yang turun 10 persen atau lebih atau berkepanjangan selama tiga atau empat tahun dapat disebut sebagai depresi ekonomi.
Adapun, dampak resesi di antaranya pengangguran meningkat tajam, produktivitas bisnis turun, yang ditandai dengan bangkrutnya perusahaan-perusahaan yang lemah, serta menurunnya pendapatan masyarakat yang berdampak pada turunnya tingkat kesejahteraan masyarakat.
Sungguh ironis, di tengah ancaman krisis global, Tito Karnavian Menteri Dalam Negeri, malah mengusulkan kenaikkan dana bantuan partai politik tiga kali lipat, dari Rp. 1000/suara menjadi Rp.3000/suara (Republika, 22/09/2022).
Sangat menyakitkan, di saat rakyat tercekik dengan harga-harga kebutuhan pokok, BBM naik ditambah ancaman krisis global yang mengintai. Pemerintah malah mengusulkan kenaikan dana parpol. Hal ini senada seperti yang disampaikan oleh Mantan Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay, melihat kenaikan dana bantuan parpol di saat krisis seperti saat ini dirasa kurang tepat. Alasannya di tengah kondisi krisis keuangan dan kenaikan BBM, ia melihat seharusnya pemerintah memprioritaskan terlebih dahulu bagi kebutuhan yang langsung dirasakan rakyat. Karena itu kenaikan bantuan parpol, apalagi sampai tiga kali lipat, dirasa kurang pantas (Republika, 22/09/2022).
Paradoks ini menunjukan secara nyata bobroknya kapitalisme demokrasi. Abai terhadap rakyat yang hidup sulit. Namun justru peduli terhadap partai-partai politik. Rakyat hanya dibutuhkan ketika musim pemilihan tiba. Sedangkan di fase di mana mereka berkuasa dan menjabat mereka memperkaya diri dan partainya. Tak heran mengapa usulan ini muncul, karena partai-partai yang mendapat kucuran dana politik adalah kendaraan politik mereka, meraih kekuasaan.
Kalau ditelusuri, mengapa parpol membutuhkan biaya yang besar. Tidak dipungkiri biaya politik demokrasi sungguh sangat fantastis. Porsi biaya paling besar adalah dana kampanye. Biaya kampanye seorang bupati atau walikota rata-rata 20 miliar sampai 30 miliar. Sedangkan level gubernur biaya rata-rata kampanye bisa mengeluarkan 20 miliar sampai 100 miliar (Kompas, 23/07/2020).
Biaya politik yang mahal inilah yang menjadikan partai-partai politik dalam sistem demokrasi menggunakan berbagai cara untuk mengumpulkan dana partai. Salah satunya menuntut pemerintah untuk menaikan dana parpol yang diatur dalam undang-undang.
Padahal ketika parpol-parpol ini naik dan menjabat, tidak memberikan keuntungan bagi rakyat. Malah, yang kita lihat banyak parpol-parpol ini yang merugikan rakyat. Mereka menciptkan undang-undang yang berpihak kapitalis bukan berpihak rakyat. Seperti UU Cipta kerja, liberalisasi UU Minerba, kebijakan kebutuhan rakyat yang sebentar-bentar naik. Seperti Tarif dasar listrik dan BBM. Semakin mengenaskan anggota parpol yang terpilih banyak yang terjerat kasus korupsi.
Penguasa yang peduli pada rakyat tidak lahir dari sistem yang rusak. Sistem rusak itu adalah kapitalisme demokrasi. Memasok penguasa-penguasa yang zalim pro korporasi bukan rakyat. Jika mengharapkan pemimpin yang amanah, peduli rakyat dan bertanggung jawab maka memerlukan sistem yang baik. Sistem yang baik adalah sistem yang berasal dari Allah SWT, yakni sistem Islam. Sistem yang menciptakan pemimpin pro rakyat secara alamiah. Tidak hanya peduli tentang dunia rakyat namun juga akhirat, memastikan rakyat berada dalam ketaatan kepada Allah. Karena sistem ini akan memaksa orang-orang yang hidup di dalamnya menjadi bertakwa dan takut kepada Allah.
Adapun kebijakan ekonomi dalam sistem Islam bila diterapkan akan membawa berkah dan kesejahteraan. Sistem ekonominya adalah sistem ekonomi antiresesi. Sangat berbanding terbalik dengan sistem ekonomi kapitalisme yang menjadi penyebab utama resesi. Ekonomi kapitalisme bertopang pada sektor ekonomi non real yang memungkin ekonomi ini meledak sewaktu-waktu yang akan menyebabkan negara mengalami krisis. Ekonomi Islam hanya membolehkan keuangan bergerak pada sektor real saja. Tidak diperkenankan menimbun harta yang akan menarik perputaran uang dalam masyarakat. termasuk harta yang disimpan ataupun ditahan dalam bentuk surat berharga. Ekonomi Islam juga melarang privatisasi kepemilikan umum. Seperti sumber daya alam, tidak boleh dimiliki pribadi maupun perorangan. Sumber daya alam dikelola negara hasilnya diperuntukkan bagi keperluan rakyat. Kebijakan seperti ini tidak akan menciptakan kesenjangan di masyarakat. Kemudian ekonomi Islam melarang transaksi bunga atau ribawi yang menjadi muara resesi. Semakin kokoh ekonomi Islam tanpa dominasi negara lain dengan penggunaan mata uang emas dan perak.
Selain itu negara Islam juga memastikan rakyatnya hidup sejahtera per individu. Negara Islam akan menjamin kebutuhan dasar rakyat, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Oleh karena itu kepemmpinan di dalam Islam bukanlah sesuatu yang ringan. Taraf keberhasilan pemimpin pun tinggi, nyata bukan sekadar ilusi. Apalagi bukan janji manis saat kampanye. Karena pemimpin ini akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak atas apa yang mereka pimpin.
Maka tak heran Umar bin Khattab, berkata dalam pidato pengangkatannya sebagai khalifah, kalau saja ada yang lebih layak dari aku memangku jabatan khalifah, maka aku lebih memilih leherku dipenggal dari pada aku memimpinnya. Betapa Umar bin Khattab tidak berambisi menjadi khalifah. Karena Umar paham bahwa amanah dan jabatan sebagai khalifah adalah sesuatu yang berat pertanggung jawabannya. Begitu juga Abdurahman bin Auf berkali-kali menolak menjadi khalifah.
Inilah Islam menjadikan orang-orang di dalamnya tidak tergila-gila dengan kursi jabatan. Mereka paham sekali, jabatan bukan jalan memperkaya diri dan partai. Tetapi di sana ada amanah yang harus di tunaikan secara sempurna. Bila tidak tertunaikan dengan baik ada azab allah menanti di hari akhir kelak. Maka ketika tetap juga terpilih menjadi pemimpin akan dilaksanakan dengan sepenuh hati dan memastikan bahwa amanah terlaksana dengan baik dan sempurna. []
Oleh: Ayu Syahfitri
Aktivis Muslimah
0 Comments