Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Speak Up bagi Korban KDRT, Apakah Cukup?


TintaSiyasi.com -- Baru-baru ini pemberitaan media di dominasi oleh kasus kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT yang marak terjadi. Salah satunya adalah tindak KDRT yang dialami oleh public figure terkenal dan diperbincangkan di berbagai stasiun televisi hingga seluruh sosial media, yaitu Lesti Kejora.

Terdapat pula, kasus KDRT di Sulawesi Utara yang viral karena menewaskan Shirley Najoan, seorang istri yang tewas diduga akibat kekerasan yang dilakukan oleh suaminya sendiri. Kedua kasus viral tersebut telah menambah deretan kasus KDRT yang dialami oleh perempuan Indonesia.

Berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan pada periode 1 Januari 2022 hingga 21 Februari 2022 tercatat sebanyak 1.411 kasus. Miris sekali dalam kurun waktu kurang dari 2 bulan tercatat hingga ribuan kasus KDRT. Adapun sepanjang tahun 2021 terdapat 10.247 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dengan jumlah korban 10.638 orang. Fakta tersebut membuktikan bahwa ada yang salah atas pengelolaan keluarga di negeri ini.

Maraknya pemberitaan soal kasus  KDRT hingga berujung pada hilangnya nyawa seharusnya bisa menjadi pengingat bagi kita semua bahwa kekerasan dalam pernikahan bukanlah hal yang sepele. Perempuan rawan menjadi korban, walaupun kekerasan juga bisa dialami laki-laki.

Dikutip dari liputan6.com (2/10/2022), Pakar hubungan Robert Weiss menyebutkan bahwa perselingkuhan dan kemiskinan menjadi pemicu utama terjadinya kasus KDRT. Atas hal tersebut maka Menteri PPPA, Bintang Puspayoga mengajak masyarakat untuk berani angkat bicara apabila menjadi korban atau sebagai saksi tindak kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak. Ia mengungkapkan bahwa ajakan tersebut diharapkan masyarakat berani angkat bicara hingga memberi efek jera kepada pelaku.

Memang benar, "speak up" atas kekerasan adalah harus. Namun, sekadar speak up sejatinya tidak akan mampu menuntaskan kasus KDRT yang menjamur, walaupun sudah banyak regulasi yang telah disahkan. Faktanya, regulasi tidaklah berdaya selama negara tidak memberikan dukungan sistem kehidupan yang mendorong terbentuknya keluarga sakinah, mawadah, warahmah.

Realita menegaskan bahwa maraknya KDRT dipicu oleh kemiskinan dan perselingkuhan menjadi bukti tidak adanya support system dari negara. Inilah salah satu bentuk bagaimana penerapan sistem sekuler dan liberal mengatur manusia, termasuk urusan rumah tangga. Aturan ini menjadikan laki-laki dan perempuan hidup dalam pergaulan serba bebas. Alhasil, perselingkuhan pun mudah terjadi hingga menjadi pemicu KDRT.

Di samping himpitan ekonomi yang menguat dan mengharuskan perempuan ikut menopang beban keuangan dan meninggalkan rumah untuk bekerja. Hal ini tentunya sangat jauh dari gambaran keluarga harmonis.

Dalam sistem Islam sendiri, negara sudah diberikan seperangkat aturan termasuk tentang bagaimana memuliakan perempuan, sekaligus sebagai bentuk larangan melakukan tindakan kekerasan terhadap perempuan.

Di bawah naungan Islam, perempuan benar-benar terjaga dan terjamin kemuliannya. Penghargaan dan kemuliaan perempuan barengi dengan pengaturan hak dan kewajiban yang tersemat dalam dirinya. Sehingga seorang laki-laki tidak dibenarkan mengklaim bahwa derajatnya lebih tinggi daripada perempuan.

Adanya perbedaan peran dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga adalah wujud harmonisasi dan sinergi dari keduanya atas peran yang sesuai fitrah dari Sang Penciptanya.

Aturan beserta potensi yang diberikan Allah kepada hamba-Nya tentunya sudah tepat, dan tidak perlu dikacaukan lagi dengan ide kesetaraan gender yang sering digaungkan oleh kaum feminis. Islam memerintahkan pada pasangan suami istri agar saling menghargai dan menghormati.

Dengan begitu istri akan menaati suaminya karena suami adalah pemimpin rumah tangga, sedangkan suami mencintai dan mengayomi istrinya dengan kasih sayang dan kelembutan. Alhasil, akan tercipta rumah tangga yang harmonis dengan visi yang sama yaitu mengharap ridha dari Allah SWT.

Di samping itu juga, terdapat peran penting negara bagi kehidupan rumah tangga. Faktor eksternal seperti himpitan ekonomi dan godaan laki-laki/perempuan lain juga menjadi pemicu terjadinya konfilk, negaralah yang mampu menerapkan peraturan atas pembatasan pergaulan antara lawan jenis dan menjadi tokoh utama dalam permainan ekonomi bagi rakyatnya.

Maka Islam hadir menuntaskan pemicu eksternal konfilk rumah tangga tersebut secara komprehensif. Adanya segala macam upaya pencegahan dan penindakan. Pencegahannya, yaitu berupa penegakan sistem pergaulan Islam seperti larangan khalwat, tabaruj, dan ikhtilat. Kebolehan interaksi antara laki-laki dan perempuan hanya perkara muamalah yang dibenarkan syariat Islam. 

Negara akan menutup rapat pintu yang memicu naluri jinsiyah seperti konten porno juga tayangan yang membangkitkan naluri seksual. Jika masih ada pelanggaran, negara akan menegakan sistem sanksi sesuai syariat Islam. Islam pun tegas menghukum para pezina yang terbukti berzina.

Penerapan sistem ekonomi Islam juga dipastikan akan menjamin kesejahteraan individu, karena sistem ini berangkat dari paradigma yang sahih tentang apa makna kebutuhan dan konsep pemilikan yang hakiki dan bagaimana negara mengelola seluruh sumber daya yang Allah SWT berikan sebagai sumber rezeki bagi seluruh umat.

Dapat dipastikan hanya Islamlah yang mumpuni untuk melindungi perempuan dari tindak kekerasan melalui aturan yang diterapkan secara kaffah. Islam adalah solusi dari KDRT yang terus berulang. Bukan hanya sekadar "speak up", tetapi terdapat aturan nyata yang akan diterapkan secara struktural. Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Fajrina Laeli, S.M.
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments