TintaSiyasi.com -- Sebagai masyarakat Indonesia, tentu kita menginginkan lingkungan yang baik untuk anak-anak kita. Tinggal di kota dengan predikat Kota Layak Anak (KLA) seperti menggiurkan bagi beberapa orang. Namun, apakah program KLA ini mampu menjamin keamanan dan perlindungan bagi anak-anak kita?
Sebagaimana kita tahu, Pemerintah Indonesia mencetuskan program KLA atau Kota Layak Anak. Dengan program tersebut diharapkan terwujud kota yang mampu merencanakan, menetapkan, serta menjalankan seluruh program pembangunan dengan orientasi hak dan kewajiban anak. Tim evaluasi dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), kementerian lembaga dan Tim Independen mengkategorikan program ini dalam lima peringkat, yakni Pratama, Madya, Nindya, Utama dan KLA (tempo.co, 21/05/2022).
Banyak kabupaten/kota di Indonesia yang mendapatkan predikat Kota Layak Anak. Makin hari jumlahnya makin bertambah. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) kembali menganugerahi Penghargaan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) tahun 2022 kepada 320 kabupaten/kota, yang terdiri dari delapan (8) Utama, enam puluh enam (66) Nindya, seratus tujuh belas (117) Madya, dan seratus dua puluh satu (121) Pratama. Apresiasi juga diberikan kepada delapan (8) provinsi yang telah melakukan upaya keras untuk mewujudkan Provinsi Layak Anak (PROVILA). (Kemenpppa.go.id, 23/07/2022)
Namun, program KLA tersebut ternyata tidak bisa menjamin perlindungan anak dari tindak kekerasan. Terbukti dari beberapa kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia. Bahkan, di Kota Layak Anak sendiri menunjukkan bahwa kasus ini masih memprihatinkan.
Dilansir dari beritasatu.com (18/09/2022), di mana terdapat kasus remaja putri berinisial NAT (15 tahun) yang mengaku disekap dan dijadikan pekerja seks komersial selama 1,5 tahun. Disebutkan bahwa NAT melakukan pekerjaan tersebut karena tanggungan utang sebanyak 35 juta. Tingginya kekerasan terhadap anak juga terjadi di kota lain, salah satunya di pulau Sumba. Sebanyak 32 kasus kekerasan terhadap anak terjadi di pulau tersebut (Tempo.co, 13/09/2022).
Bahkan, Jogja yang mendapatkan penghargaan KLA tahun 2022 bersama dengan 7 kabupaten/kota yang lain ikut menyumbang 20 kasus kekerasan pada anak sejak awal tahun 2022. Kanit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polresta Yogyakarta, Ipda Apri Sawitri, mencatat bahwa sejak awal tahun 2022 ini sudah ada puluhan kasus kekerasan seksual terhadap anak yang dilaporkan. (Suarajogja.id, 16/09/2022)
Penanganan atas permasalahan yang terjadi pada anak melalui KLA nyatanya belum bisa membendung kasus kekerasan pada anak. Harapan banyak orang tua untuk mendapatkan lingkungan yang baik bagi anak mereka hanyalah angan-angan belaka. Karena untuk menciptakan suatu lingkungan yang kondusif bagi anak membutuhkan sistem yang saling terhubung antara satu dengan yang lain. Apabila keterimpitan ekonomi masih banyak terjadi, tidak bisa dimungkiri kekerasan ini akan berulang, seperti kasus NAT yang terpaksa bekerja karena tanggungan utang.
Begitu juga ketika negara membiarkan induk kemaksiatan lain yang menyebabkan o kekerasan seperti konten porno, peredaran miras, narkoba, dsb., maka solusi seperti KLA ini tak mampu mengakhiri masalah secara tuntas. Negara tidak mampu membendung hal itu sebab perusahaan yang memiliki produk tersebut telah membayar mahar agar mereka tetap bisa eksis menjalankan bisnisnya.
Dalam menciptakan lingkungan yang ramah anak, kita membutuhkan solusi yang sistematis, bukan sekadar tambal sulam. Solusi-solusi yang diberikan pemerintah selama ini hanya bersifat temporal dan semu. Solusi yang diberikan hanya meredam efek buruk. Belum lagi kesenjangan yang diciptakan oleh sistem kapitalisme yang membuat masyarakat miskin semakin terimpit.
Ketika yang menjadi asas di negeri ini adalah kapitalisme, maka lingkungan ramah anak tidak akan mungkin terwujud. Sebab, sistem ini menjadikan pemilik modal sebagai sosok yang berkuasa. Siapa yang mempunyai modal lebih banyak, dialah yang berkuasa. Sistem ini menciptakan sosok-sosok serakah yang tidak peduli bagaimana, dari mana, dan dengan cara apa keuntungan didapatkan. Asalkan bisa meraup keuntungan sebesar mungkin, merusak SDM dan lingkungan pun tak mengapa.
Selain pemilik modal yang mencari keuntungan tanpa peduli dari mana dan dengan cara apa, masyarakat bawah juga berpikir demikian. Sebab, keadaan yang mencekik dari segala sisi ini membuat masyarakat hanya berpikir bagaimana bisa mendapatkan secara cepat dan instan.
Mindset kapitalisme menjadikan manusia hanya memikirkan hasil/manfaat tanpa mempertimbangkan aturan dan dampaknya. Tak mengherankan bila kriminalitas terus terjadi dan meningkat dari waktu ke waktu. Ini pun berimbas pada generasi yang kian mundur karena menganggap uang segalanya, sedang ilmu dan sekolah tidak penting.
Karena itulah, menyandarkan solusi permasalahan yang ada pada paradigma kapitalistik ini sangatlah tidak tepat. Jelas sekali bahwa kapitalisme sekuler hanya peduli pada materi. Sistem ini tidak mampu memberikan jaminan keselamatan bagi manusia, termasuk bagi anak-anak. Kita butuh sistem yang benar-benar layak untuk anak.
Hanya Islam yang bisa memberikan ruang yang baik bagi anak-anak kita. Dengan peraturannya yang lengkap dan menyeluruh diterapkan oleh negara khilafah, Islam mampu menekan kasus kekerasan yang terjadi di masyarakat termasuk di antaranya pada anak-anak. Selain aturan yang tegas Islam juga menghadirkan sanksi yang menimbulkan efek jera bagi pelaku sehingga tidak ada kejahatan yang dianggap remeh lalu dilakukan berulang dan terus-menerus.
Negara menjamin ekonomi setiap individu. Hal-hal yang bersifat pokok tidak dibebankan pembayarannya pada individu. Ini bisa menyempitkan ruang seseorang untuk melakukan hal semena-mena dengan dalih masih mempunyai tanggungan utang.
Realisasi penerapan syariat demi terjaganya harta, jiwa, kehormatan, akal, agama, keamanan, dan negara terus diupayakan di atas landasan keimanan. Pemimpin menganggap rakyat sebagai amanah yang harus dijaga, sebab sadar bahwa kekuasaannya akan dimintai pertanggungjawaban kelak di hadapan Allah.
Wallahu a’lam bissawwab
Oleh. Zakiyaturrohmah
Aktivis Muslimah
0 Comments