Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Ironis, Saat Rakyat Dilanda Krisis, Mengapa Dana Parpol Diusulkan Naik?

TintaSiyasi.com -- Tak habis-habisnya Pemerintah negeri ini memberikan kejutan dalam setiap kebijakan yang membuat rakyat semakin sengsara. Belum juga usai kenaikan harga komoditas barang, BBM bersubsidi, TDL, dan wacana pengalihan gas elpiji menjadi kompor listrik dengan dalih memberatkan beban APBN apabila tidak di hapuskan subsidinya. Berbagai aksi penolakan di lakukan elemen masyarakat, namun bak hilangnya empati pemimpin negeri ini sehingga tidak lagi mendengarkan aspirasi rakyat.

Memasuki tahun politik yang beberapa tahun kedepan akan di gelarnya pesta Demokrasi, rakyat kembali di kejutkan dengan usulan kenaikan anggaran yang fantastis. Usulan kenaikan anggaran nampaknya muncul di hampir semua kementerian/lembaga. Setelah KPU dan Bawaslu, Kementerian Dalam Negeri juga menyampaikan pengajuan yang sama kepada komisi II DPR. 

Total tambahan anggaran yang diminta mencapai Rp1,19 triliun. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengatakan, saat ini pihaknya hanya menerima pagu indikatif sebesar Rp2,98 triliun. Jumlah itu masih di bawah kebutuhan yang direncanakan. 

Dalam paparannya, salah satu kegiatan yang terkait tambahan itu adalah adanya rencana kenaikan dana bantuan untuk partai politik (parpol). Selama ini, dana bantuan parpol didistribusikan Kemendagri melalui Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum (Polpum). Terkait hal itu, Kemendagri mengusulkan tambahan anggaran 2023 khusus untuk Ditjen Polpum sebesar Rp. 252.752.836.000. ’’Anggaran Ditjen Polpum ini perlu ditambah lebih kurang menjadi Rp252 miliar yang nanti akan disalurkan kepada partai politik,’’ imbuhnya.

Masalahnya, usulan kenaikan bantuan dana parpol ini disampaikan di tengah kondisi keuangan negara yang sedang kolaps akibat utang dan defisit anggaran. Sampai-sampai kondisi ini membuat negara tega menambah kesulitan rakyat dengan menetapkan berbagai kebijakan zalim seperti perluasan objek pajak, menaikkan harga listrik dan BBM, dan sebagainya.

Bisa dibayangkan, jika APBN harus kembali menambah anggaran, negara dikhawatirkan akan terjerat utang lebih dalam. Kalaupun tidak demikian, negara akan mengambil jalan pintas memotong lagi dana subsidi, padahal subsidi sejatinya merupakan hak rakyat yang wajib ditunaikan.

Ongkos demokrasi terbilang mahal menuju kursi kekuasaan. Namun, para pejabat yang duduk di kursi kekuasaan akan mendapatkan gaji dan tunjangan yang sangat menggiurkan. Walhasil, orang berbondong-bondong menginginkan hidup enak dan nyaman, bahkan berlimpah uang dengan menjadi anggota dewan.

Dalam sistem politik mahal seperti ini, hampir bisa dipastikan, yang berkuasa adalah para pemilik modal. Mereka bisa mencalonkan langsung, atau menjadi penyokong dana konstestan Pemilu. Tentu bukan tanpa kepentingan. Bagi para pemilik modal, no free lunch, tidak ada makan siang gratis. Merekalah yang kemudian mengontrol para politisi, bukan hanya menjadi mitra dalam berbagai proyek,  termasuk dalam membuat rancangan UU yang menguntungkan pemilik modal.

Sehingga ibarat lingkaran setan, mengatasi masalah kemiskinan menjadi hal yang sulit dilakukan jika pemenuhan makanan seperti sandang, pangan dan papan masyarakat belum secara merata dilakukan, ditambah dengan non makanan yakni (pendidikan dan kesehatan) belum memadai. Jika dilihat angka penurunan kemiskinan yang dilakukan BPS hanya sementara bukan sebagai acuan penurunan yang drastis, karena pada kenyataanya kemiskinan masih melanda negara ini, sebagaimana yang diliris Bank Dunia bahwa ada 115 juta masyarakat Indonesia dinilai rentan miskin.

Pemimpin dalam Islam selalu berpihak kepada rakyat, karena itu adalah tujuan politiknya, mengurusi urusan rakyat. Pemimpin sangat memperhatikan rakyat dan kepentingan mereka menjadi skala prioritas. Wajar pemimpin dalam Islam sangat dicintai rakyatnya. Tidak perlu melakukan pencitraan agar mendapat simpati dari rakyat.

Pemilihan khalifah pun tidak bersifat regular seperti lima tahun sekali, yang menyedot biaya sangat mahal. Khalifah tetap sebagai kepala negara selama tidak melanggar syariah Islam. Kepala daerah pun dipilih oleh Khalifah kapan saja dan boleh diberhentikan kapan saja. Jadi negara tidak disibukkan oleh Pilkada rutin yang menguras energi dan tentu saja uang.

Wallahu'alam bissawwab


Oleh : Wakini
Aktivis Muslimah

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments