TintaSiyasi.com -- Prank kini menjadi makanan keseharian kita di era digital ini. Prank yang dominannya membuat sesuatu menjadi terlihat lucu. Ternyata tidak semua konten prank menjadi kelucuan. Seperti pada prank yang dibuat oleh Baim Wong dan istrinya Paula Verhoeven mengenai isu KDRT yang melibatkan lembaga kepolisian. Di sisi lain ada kasus yang saat ini mencuat mengenai isu KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) yang dialami oleh rekan sesama artis.
Prank adalah istilah yang mengacu pada kelakar, olok-olok, seloroh, hingga senda gurau. Sekarang ini prank dimaknai sebagai sebuah candaan yang bersifat membohongi seseorang dan bersifat mempermainkan. Seperti yang dilakukan oleh Baim Wong dan istrinya.
Atas perbuatan mereka, pihak kepolisian pun memanggil mereka. Pada Jumat 7 Oktober 2022, Baim dan Paula diperiksa oleh kepolisian mengenai prank tersebut. Pada akhirnya mereka meminta maaf atas yang diperbuat.
Sebenarnya sebelum video prank KDRT ini ada, banyak video serupa yang berujung pada pelaporan polisi. Misalnya pada tahun 2020 ada kasus video prank bagi-bagi sembako sampah. Kemudian laporan palsu kebakaran, pembagian daging korban berisi sampah, dan lainnya.
Yusuf Harim yang merupakan anggota Kompolnas (Komisi Kepolisian Nasional) dalam wawancara Kompas TV Minggu 9 Oktober 2022 mengatakan bahwa tidak adanya sensitivitas publik mengenai kasus KDRT. Hal ini tidak elok dilakukan, tidak informatif dan tidak mengedukasi. Pelakunya bisa dijerat KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) pasal 220 atas dugaan laporan palsu.
Psikolog Novita Tandri mengiyakan apa yang dikatakan Kompolnas. Ia mengungkapkan bahwa memang di era sekarang dalam mencari penghasilan salah satunya bisa dengan membuat konten. Boleh saja menjadikan konten sebagai penghasilan. Namun ketika influencer membuat konten juga harus dipikirkan berbagai aspek. Apakah prank yang dibuat informatif atau tidak, mengedukasi ataukah tidak. Namun bisa dilihat influencer tersebut hanya memikirkan keviralannya saja. Di samping itu, mengindikasikan bahwa tidak adanya rasa empati terhadap sesama. Hal ini tidak baik untuk ditiru.
Kita bisa melihat mengenai tolok ukur perbuatan seseorang kini melakukan segala macam cara untuk menghasilkan materi atau uang. Tidak memikirkan mengenai apakah cara yang dilakukan baik atau tidak. Apapun dilakukan demi sebuah konten. Bagaimana sikap terhadap sesama Muslim bisa terlihat khas. Meski itu saudara sesama Muslim, terlihat tidak ada rasa solidaritas atau empati. Seharusnya sesama Muslim saling berempati ketika ada yang terkena musibah, mawas diri atau bisa merasakan apa yg diperbuat jika menimpa diri sendiri. Namun kini menjadi bahan konten lelucon.
Dalam kitab Nidzam Islam dijelaskan bahwa ini merupakan ciri khas kapitalisme dalam sistem ekonominya dan pemikiran yang memisahkan agama dari kehidupan sehingga manusia kini menjadi materialistis. Apapun dilakukan untuk mendapat materi atau uang. Tidak peduli apapun yang penting mendapat materi. Begitu pula, dalam memandang masyarakat sebagai individu yang saling terpisah atau bisa dikatakan individualis. Tidak ada kepedulian terhadap sesama karena tidak mengalami yang dialami orang lain.
Berbeda dengan Islam yang memandang bahwa dalam melakukan suatu perbuatan berdasarkan halal dan haram. Apakah perbuatan sesuai dengan perintah dan larangan Allah. Diridhai oleh Allah atau tidak. Islam dalam memandang masyarakat adalah satu kesatuan yang tak terpisah. Mereka digambarkan sebagai satu tubuh. Apabila ada satu bagian tubuh yang sakit yang lainnya merasakan kesakitan juga. Sepatutnya tidak menjadikan lelucon ketika saudara kita tertimpa musibah. Seharusnya membantu atau paling tidak mendoakan, bisa menempatkan diri terhadap orang lain.
Hilangnya rasa empati dan melakukan berbagai macam cara hanya untuk mendapatkan uang atau materi sejatinya hanya ada dalam kapitalisme. Kapitalisme yang membuat manusia tidak sesuai dengan fitrahnya. Maka selayaknya kita kembali pada Islam saja yang sesuai fitrah manusia.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Nur Indah Sari
Aktivis Muslimah
0 Comments