Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Penolakan Hijab dan Ide Kesetaraan Gender

TintaSiyasi.com -- Kematian Mahsa Amini, seorang wanita Iran pada 16 September 2022 lalu, telah memicu gelombang protes di seluruh negeri dan dunia internasional. Sebelum tewas Amini (22 tahun) ditangkap dan ditahan oleh polisi moral Iran di Teheran, karena dianggap tidak mengenakan hijab dengan benar. Dia diduga mengalami kekerasan fisik oleh otoritas setempat hingga mengalami koma dan akhirnya meninggal dunia. Berita kematiannya disertai foto-foto dirinya dalam keadaan koma tersebar di media sosial dan menyulut kemarahan masyarakat Iran. (The Conversation, 28/9/2022)

Setelah kematian Amini, serangkaian demonstrasi besar-besaran terjadi seluruh negeri. Mereka yang terdiri dari kaum wanita dan laki-laki turun ke jalan meneriakkan slogan-slogan menentang aturan wajib hijab dan mengecam Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Khamenei. Demonstrasi bahkan diwarnai dengan aksi membakar hijab oleh para wanita.

Sebelum kematian Amini, beberapa tahun sebelumnya tepatnya pada 2017, seorang perempuan Iran Vida Movahed ditangkap karena aksinya melepas hijab dan melambaikannya ke udara sebagai tanda penolakan terhadap kewajiban berhijab. Aksinya menjadi simbol perlawanan para perempuan muda yang kemudian diikuti oleh perempuan-perempuan lain, dan membuat semakin banyak perempuan berani menentang negara dengan berpergian tanpa hijab.

Gerakan demonstrasi yang terjadi tak hanya sebagai bentuk protes atas kematian seorang wanita, namun lebih jauh sebagai bentuk perlawanan terhadap aturan hukum wajib berhijab yang mulai diberlakukan di Iran sejak tahun 1981. Sanksi diberlakukan bagi siapa saja yang melepas hijab di depan umum, bahkan dianggap sebagai perbuatan menantang pemerintah. 

Kalangan feminis Iran menganggap kewajiban hijab telah merampas kehidupan dan kebebasan wanita Iran. Mereka beranggapan hijab seperti gerbang penjara dan wanita adalah tahanan yang tidak terlihat, sehingga perlu dilawan. Bahkan akademisi feminis Nadje al-Ali menekankan perlunya mengangkat Isu pemaksaan perempuan untuk mengenakan hijab pada setiap diskusi tentang perjuangan perempuan yang lebih luas untuk kebebasan dan keadilan sosial. (The Conversation, 22/9.2022).

Hijab VS Paham Kebebasan

Kalangan feminis menjadi kelompok yang paling penentang kewajiban hijab, karena dianggap bertentangan dengan konsep kesetaraan gender, HAM, dan keadilan. Hijab yang hanya mandatori untuk muslimah dianggap bentuk ketidakberpihakan Islam pada kebebasan wanita. Kaum feminis bahkan secara provokatif menyerukan untuk membenci Islam karena menghambat kemajuan wanita dan mendiskriminasi mereka. Sehingga bentuk-bentuk pemaksaan hijab secara formil maupun non-formil perlu dilawan di berbagai tempat seperti sekolah, universitas, tempat kerja, dan lain sebagainya. Merekalah yang paling vokal tatkala muncul pelaporan pemaksaan hijab. Hijab bagi mereka adalah pilihan bukan kewajiban, wanita bebas untuk memilih mengenakan ataupun melepasnya. 

Pemikiran tersebut lahir dari pengaruh pemahaman liberalisme atau kebebasan. Liberalisme merupakan senjata untuk membunuh karakter kemuliaan umat Islam saat ini. Beberapa paham kebebasan yang diadopsi adalah kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan kepemilikan, dan yang paling merusak umat Islam khususnya Muslimah adalah kebebasan bertingkah laku. 

Melalui kebebasan bertingkah laku para Muslimah berhak menentukan apa yang ingin dilakukan atau tidak dilakukan, bebas memilih bentuk pakaian yang ingin dikenakan, dan memiliki hak otoritas atas tubuhnya sendiri. My body is mine adalah slogan kaum feminis yang cukup popular. Kita pun sering mendengarnya dalam tag line komersial “Rambutku Kata Aku” sebagai statemen penegasan kepemilihan atas tubuh. Kepemilikan bermakna kuasa penuh atas tubuh dan penggunaannya tanpa berhak untuk diintervensi oleh siapapun. Kekuatan wanita untuk mengontrol tubuhnya sendiri dianggap sebagai dasar untuk menikmati semua hak asasi lainnya, seperti hak atas kesehatan, hak terkait reproduksi, atau hak untuk hidup bebas dari kekerasan. 

Agenda Global Feminisme 

Kegigihan kaum feminis untuk menggaungkan kebebasan bagi Muslimah tak lepas dari agenda global yang telah dirancang jauh sebelumnya. Di tingkat global agenda kesetaraan gender menjadi isu utama yang digaungkan dalam rangka mengambil dukungan dari kaum Muslimah di negeri-negeri Muslim. Dukungan Muslimah diperlukan sebagai upaya membangun kelompok muslim moderat sebagai tandingan kalangan muslim yang dianggap konservatif. Mereka meyakini partisipasi perempuan khususnya Muslimah dalam isu kesetaraan gender berkorelasi positif dengan tingkat penerimaan masyarakat di dunia Islam terhadap demokrasi.

Sebagai proyek ambisius, ide kesetaraan gender telah diagendakan pasca pembentukan PBB (1945) melalui berbagai Konferensi Internasional, hingga terus berlanjut pada dekade 2000an melalui penetapannya sebagai tujuan ketiga dari 8 tujuan pembangunan (MDGs), yaitu Promote Gender Equality and Empower Women. Ide tersebut kembali dititipkan pada The 2030 Agenda for Sustainble Development (SDGs). Sementara pada 2010 Majelis Umum PBB mendirikan the United Nations Entity for Gender Equality and the Empowerment of Women (UN Women). UN Women secara progresif melakukan berbagai kampanye untuk mempercepat terwujudnya kesetaraan gender, dengan melibatkan kaum laki-laki, tokoh pemerintahan, universitas, dan perusahaan. Pada tahun 2020, diluncurkanlah kampanye baru “Generation Equality—Realizing women’s rights and an equal future”, yang melahirkan The Global Acceleration Plan for Gender Equality sebagai peta jalan transformatif mengusung enam isu penting yang mendukung kesetaraan gender, yaitu Kekerasan Berbasis Gender; Keadilan dan Hak Ekonomi; Otonomi Tubuh dan Hak dan Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR); Aksi Feminis untuk Keadilan Iklim; Teknologi dan Inovasi untuk Kesetaraan Gender; dan Gerakan dan Kepemimpinan Feminis.

Kerja keras mereka mulai membuahkan hasil, perubahan paradigma pada Muslimah muda mulai banyak terjadi. Tak hanya perkara jilbab, paham kebebasan lebih jauh lagi merangsek pada kebebasan tingkah laku lainnya. Betapa banyak kaum Muslimah yang terlibat dalam pergaulan bebas dan berujung pada kehamilan dan aborsi. Waithood dan childfree juga menjadi kombinasi popular di kalangan wanita modern. Waithood atau penundaan pernikahan bahkan menjadi tren di kalangan generasi muda. Fokus pada pendidikan, pekerjaan, ekonomi yang sulit, bahkan anggapan pernikahan membatasi ruang gerak wanita menjadi beberapa faktor pendorong wanita mengambil opsi ini. Padahal konsekuensi waithood berimplikasi langsung terhadap merebaknya pergaulan di luar nikah. Penundaan pernikahan pada usia produktif tak menjadikan naluri seksual menurun. Tuntutan penyaluran naluri ini justru semakin kuat di tengah masyarakat liberal di mana pornografi merebak dengan luas dan makin mudah diakses berbagai kalangan. 

Sementara childfree atau komitmen untuk tidak memiliki anak dalam pernikahan terbukti menurunkan angka kelahiran. Wanita Jepang dan Korea menjadi penganut childfree popular di Asia, angka kelahiran di kedua negara tersebut turun drastis, bahkan Korea Selatan mencapai angka kelahiran terendah di dunia pada 2022, yaitu 0,81 kelahiran per wanita (Kompas.com, 28/8/2022).
 
Akhirnya Muslimah terperangkap dalam jebakan ide kebebasan, yang sebenarnya menjerumuskan dirinya ke dalam kemaksiatan dan murka Allah SWT. Oleh karena itu seruan kepada kebebasan harus dengan tegas ditolak. Ide kebebasan tidak boleh menjadi landasaran berfikir dan bertingkah laku bagi wanita muslimah.

Kemuliaan Wanita Dalam Islam

Kesetaraan gender sejatinya hanyalah ilusi. Pemikiran ini berangkat dari anggapan terjadinya penindasan dan diskriminasi kaum wanita oleh agama, kultur, dan sosial. Menurutnya wanita akan lebih baik jika diberikan kebebasan untuk menentukan jalan kehidupannya sendiri. Namun tanpa mereka sadari Kapitalisme telah mengarahkan jalan baru yang akan dilewatinya. Di penghujung jalan, kapitalis telah bersiap merantai mereka agar menjadi bagian dari mesin ekonomi tanpa henti. Kebebasan yang diidamkan malah mendorongnya ke dalam wujud diskriminasi yang sebenarnya. Islam, terlebih khusus menjadi sasaran ide ini karena dinilai membahayakan kelangsungan kebebasan yang diusung Kapitalisme. 

Islam telah menempatkan wanita pada posisi yang mulia. Islam telah pula menetapkan seperangkat hukum untuk manusia dengan menganggapnya sebagai manusia, yaitu laki-laki dan wanita. Perbedaan keduanya bukanlah bentuk superioritas satu atas lainnya, dengan kekhasan masing-masing Islam juga menetapkan beberapa hukum spesifik berdasarkan kekhususan tersebut. Keduanya saling melengkapi untuk dapat menyempurnakan keberlangsungan kehidupan manusia. Sebagaimana firman Allah SWT:

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan),.....” (TQS An Nisa: 34).

Hukum-hukum spesifik untuk wanita dalam Islam, semata bertujuan melindungi dan menjaga fitrahnya sebagai wanita. Hukum tentang jilbab dan kewajiban bersama mahrom dalam safar misalnya, keduanya bukan membatasi ruang gerak wanita, namun lebih kepada penjagaan diri. Semua hukum syara akan jelas jika ditelaah dengan keimanan. Aqidah yang menjadi landasan kehidupan seseorang harus terlebih dulu diterima dengan kejernihan aqliyah, sehingga setiap diri akan menyadari tujuan penciptaannya, dan tujuan hidupnya di dunia. Ketundukan secara kaffah kepada semua bentuk hukum yang lahir dari aqidah aqliyah adalah muara terakhir dari manisfestasi keimanan. Meski kadang dari sudut pandangnya sebagai manusia menemukan ketidaksesuaian dengan hati dan hawa nafsu, namun aqidah menjadikannya tetap tunduk dan menerima. 

Banyaknya penolakan syariah, khususnya jilbab di kalangan Muslimah sendiri dikarenakan mereka belum memahami dengan benar dan utuh. Mereka juga terjebak dengan paham sekulerisme yang berkembang saat ini, yang menghadirkan alternatif lain untuk memaknai kewajiban jilbab menjadi hanya sebatas pilihan. Penanaman aqidah menjadi penting bagi Muslimah pra baligh, sehingga mereka akan siap menerima syariat jika telah memasuki masa baligh. Keimanan akan memberikan sudut pandang halal haram semata bersandar pada perintah Allah swt sebagai tempat kembali. Jika demikian, dalih kebebasan dan hak atas tubuh tidak relevan lagi ketika islam telah menggariskan batasan aurat wanita di kehidupan publik, dengan kewajiban jilbab dan khimar. Firman-Nya:

“Sehingga apabila mereka sampai ke neraka, pendengaran, penglihatan, dan kulit mereka menjadi saksi terhadap mereka tentang apa yang telah mereka kerjakan. Dan mereka berkata kepada kulit mereka, “Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami? Kulit mereka menjawab, “Allah yang menjadikan segala sesuatu pandai berkata telah menjadikan kami pandai (pula) berkata, dan Dialah yang menciptakan kamu pada kali pertama dan hanya kepada-Nya lah kamu dikembalikan.” Kamu sekali-sekali tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan, dan kulitmu kepadamu bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan.” (TQS. Fushilaat: 20-22).

Namun pelurusan aqidah dan pemahaman kaum wanita tidak akan berjalan dengan optimal tanpa lingkungan dan sistem yang mendukung. Maka Islam harus dikembalikan kepada posisinya sebagai sistem kehidupan. Ketika islam mewajibkan wanita menutup auratnya, islam menyediakan sarana dan prasarana yang mendukung pemakaian busana jilbab dan khimar di berbagai sektor kehidupan. Sehingga penggunaan jilbab dan khimar tak lagi membatasi ruang gerak Muslimah. Ketika islam menyerukan wanita kepada peran strategisnya sebagai ibu generasi, maka Islampun menjamin pemenuhan kebutuhan hidupnya dengan memfungsikan peran suami, para wali, sebagai jalan sampainya rizki kepada wanita. Meski tetap dibolehkan para wanita terlibat langsung dalam sektor ekonomi, dengan seperangkat aturan yang mengikuti. Semuanya  karena Islam memiliki mekanisme sempurna yang dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok setiap warganya. Penerapan Islam secara kaafah dalam seluruh aspek kehidupan adalah jaminan atas kemuliaan wanita. 

Referensi:




Oleh: Anidah, S.Si., M.T.Pn
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments