TintaSiyasi.com -- Korupsi bukanlah hal baru di sistem kapitalis negeri ini. Bahkan dianggap sebagai hal yang biasa dan lumrah bagi yang melakukannya. Bukannya diputus rantainya justru kesannya semakin dipupuk dan dibudidayakan supaya semakin subur. Wajar saja jika korupsi di tanah air kita semakin merajalela.
Tidak tanggung-tanggung, korupsi telah melibatkan banyak pihak, dari masyarakat biasa sampai para penegak hukum. Karena sudah membudaya, sehingga individu yang melakukan korupsi sudah hilang rasa dosa dan malu. Bahkan mereka mampu berkelit dengan ribuan alasan.
Masih ingat dengan pemberian remisi kepada para tahanan koruptor yang diberikan kepada enam orang secara berjamaah pada tanggal 6 September lalu. Remisi yang diberikan ini sungguh mencederai keadilan negeri dan menghilangkan efek jera. Hasilnya pasti akan menimbulkan kesempatan bagi yang lain untuk melakukan tindak pidana korupsi.
Benar saja, baru-baru ini KPK telah menjaring 10 orang dalam kasus OTT dan termasuk seorang hakim agung. Fakta bahwa hakim agung tertangkap OTT sebenarnya menjadi indikasi korupsi sudah menggurita. Padahal pengadilan adalah tempat untuk memberi keadilan untuk berbagai perkara. Namun, jika tempat ini justru darurat korupsi, lantas keadilan harus dicari kemana lagi?
Dalam sistem kapitalis, pemegang kekuasaan adalah orang yang paling banyak diuntungkan. Karena mereka bisa membuat kebijakan yang sangat menggiurkan. Maka benar jika disebutkan bahwa tujuan terbesar mereka adalah mencari manfaat yang sebesar-besarnya. Salah satu hasilnya mereka juga dapat mengontrol perputaran dana yang bisa dijadikan sebagai ladang bisnis dan korupsi berjamaah. Jadi wajar saja orang yang korupsi dibutakan hati nuraninya.
Meskipun para koruptor tertangkap OTT dan diadili, namun ternyata hukuman para koruptor tidaklah membuat para pelaku menjadi jera, karena mereka merasa akan mendapat remisi dan cukup dengan membayar dendanya saja.
Inilah sistem peradilan yang merusak citra negara. Maka tidak mungkin ada keadilan selama negara masih menganut sistem kapitalis demokrasi yang rusak dan merusak. Harus ada sistem baru yang diadopsi negara sehingga bisa benar-benar menerapkan keadilan yang menyeluruh. Sistem itu adalah sistem Islam yang bersumber dari Allah Sang pembuat hukum yang adil.
Dalam Islam, kedudukan hakim amatlah penting. Ia diperintahkan Allah untuk menjadi wakil hukum di dunia. Maka, ada sejumlah syarat yang harus diperhatikan. Pertama, jabatan hakim hanya diisi oleh orang-orang alim dan benar-benar bertakwa. Kedua, hakim hanya mengadili dengan hukum Islam saja. Ketiga, hakim diwajibkan menerapkan hukum secara adil sesuai ketetapan syariat. Tidak ada kata banding, apalagi remisi hukum. Keempat, Khalifah sebagai kepala negara akan mengawasi dan mengaudit kekayaan para hakim dan pejabat lainnya. Jika ada kenaikan kekayaan yang tidak wajar, maka negara berhak merampasnya dan dibagi dua untuk dimasukkan ke baitul mal.
Oleh karena itu, hanya sistem peradilan Islamlah yang bisa membuat para pelaku korupsi menjadi jera, karena hukum Islam itu dari Allah dan bukan buatan manusia yang bisa ditarik ulur sesuai dengan kepentingan saja. Cara Islam memberikan hukuman itu sangatlah adil bagi para pelakunya tanpa memandang nasab, harta, status atau yang lainnya.
Wallahualam bissawab
Oleh: Serlina
Jembrana-Bali
0 Comments