Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pangkal Korupsi Adalah Sistem Demokrasi


TintaSiyasi.com -- Remisi koruptor menjadi sorotan setelah 23 narapidana koruptor bebas bersyarat. Beberapa di antaranya mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari; mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah; mantan Menteri Agama, Suryadharma Ali; mantan Hakim MK, Patrialis Akbar; dan Gubernur Jambi, Zumi Zola. Selain itu, terdapat juga mantan Dirut Jasa Marga, Desi Arryani; dan Mirawati Basri. 

Perlu dipahami bahwa remisi koruptor adalah remisi yang diberikan kepada narapidana korupsi. Remisi koruptor memiliki aturan sendiri apabila narapidana telah memenuhi syarat syarat tertentu akan mendapatkan remisi alias masa pengurangan jabatan sebagai narapidana korupsi. 

Indonesia Corruption Watch (ICW) tidak habis pikir 23 koruptor mendapatkan remisi 
hingga akhirnya bebas bersyarat. ICW menyebut pemberian remisi itu semakin menunjukkan kejahatan korupsi adalah kejahatan biasa. Ketua ICW menyoroti kasus Mantan Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang sebelumnya divonis 10 tahun penjara, banding 4 tahun, namun faktanya ia di penjara 1 tahun 1 bulan dan kini bebas, padahal kasus yang menjeratnya tergolong besar. 

Menurut Koordinator Ditjen Pemasyarakatan Rika Apriani, pembebasan bersyarat ini 
merupakan salah satu hak bersyarat yang diberikan kepada seluruh narapidana tanpa terkecuali dan nondiskriminasi, tentunya yang sudah memenuhi persyaratan administratif dan substantif. Ia pun mengatakan persyaratan tersebut sesuai dengan Pasal 10 UU Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. 

Pada pasal tersebut persyaratan administratif dan substantif yang dimaksud ialah sudah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai keputusan pengadilan, juga berkelakuan baik, aktif dalam program pembinaan, dan secara waktu telah memenuhi persyaratan sudah melewati 2/3 masa pidana atau minimal 9 bulan, dan mereka sudah memenuhi persyaratan semua. 

Peneliti Penegak hukum ICW menganjurkan agar kejaksaan dan KPK bisa mengajukan tuntutan terhadap narapidana koruptor selain penjara dan denda pengganti juga mencambut hak-hak terpidana korupsi dan tidak bisa lagi dengan mudah remisi dan pembebasan bersyarat, karena polemik di tengah publik semakin besar tatkala eks napi koruptor boleh mendaftarkan diri menjadi caleg (calon legislatif) dalam pemilu 2024. Keputusan ini juga terdapat dalam putusan Mahkamah Agung nomor 46P/HUM/2018. 

Semua kondisi ini menunjukan bahwa penegakan hukum atas pelaku korupsi sangat lemah. Pasalnya koruptor dibebaskan tanpa alasan yang cukup kuat ke publik, sedang pemerintah berdalih ini sudah sesuai aturan. Juga mantan koruptor yang tidak kehilangan hak mencalonkan diri dalam kontestasi politik semakin menegaskan bahwa sistem demokrasi sangat ramah terhadap koruptor dan memberi kesempatan agar koruptor tetap bisa punya kedudukan tinggi di mata publik. 

Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar 
menilai pemberian remisi kepada para koruptor bukanlah hal yang aneh, lantaran di era pemerintahan Jokowi, ia menilai semangat pemberantasan korupsi telah jauh melemah. Terbukti pada pidatonya Jokowi tidak pernah menyinggung kata korupsi, padahal pada era kepemimpinannya makin menjamur para koruptor dan diberikan hukuman yang sama sekali tidak memberikan efek jera. 

Indonesia yang menjadikan demokrasi sebagai bentuk pemerintahan negaranya, pada 
faktanya tidak mendahulukan kepentingan rakyat tapi malah mementingkan hal lain yang bukan sebuah urgensi mendahulukan kepentingan rakyat, salah satunya memberikan remisi kepada koruptor yang jelas-jelas menghianati rakyat. Belum lagi, pembangunan fasilitas secara terus menerus seperti proyek IKN, kereta cepat, juga kenaikan harga BBM yang makin menyusahkan rakyat. 

Kondisi ini wajar terjadi dalam negara sekuler demokrasi, karena penerapan sistem sekuler (pemisah agama dari kehidupan) membuat politik kering dari nilai agama, orientasi untuk menjabat bukan karena Allah dan ibadah namun meraih keuntungan materi dan kekuasaan. Hal ini karena kedudukan demokrasi sangatlah mahal dan membutuhkan banyak iklan hingga sogok untuk membeli suara rakyat. Rata-rata dari mereka di sokong pemilik modal yang berharap mendapat keuntungan setelah mereka menjabat. 

Tidak heran sistem ini kekuasaan banyak disalahgunakan dan menimbulkan konflik kepentingan salah satunya lewat korupsi. Kondisi ini jauh berbeda dengan sistem politik khilafah Islam, syariat Islam adalah pijakan bagi seorang khalifah dalam mengeluarkan kebijakan. Syariat Islam kaffah menunjukkan cara mencegah hingga mengatasi korupsi yaitu: 

Pertama, sistem penggajian yang layak, peran pemerintah dan khalifah akan memberi gaji dan tunjangan yang layak walaupun gaji besar tidak menjamin seseorang tidak korupsi tapi setidaknya persoalan gaji tidak menjadi pemicu korupsi. 

Kedua, larangan menerima suap dan hadiah karena hadiah yang diberikan kepada aparat pemerintah pasti mengandung maksud tertentu agar aparat itu memberi keuntungan terhadap pemberi hadiah. Suap dan hadiah juga memberi mental buruk pada pemerintah, mereka pasti tidak bekerja sesuai mestinya. Sistem peradilan nantinya juga tidak adil dan cenderung memberi keuntungan bagi pemberi hadiah. 

Ketiga, perhitungan kekayaan karena orang yang melakukan korupsi tentu memiliki 
jumlah kekayaan yang terus bertambah dengan cepat, walaupun yang cepat kaya tidak harus dengan korupsi. Tetapi pembuktian kekayaan dan perhitungan terbalik pernah dilakukan Khalifah Umar Bin Khattab menjadi cara baik untuk mencegah korupsi. 

Keempat, teladan pemimpin karena pemberantasan korupsi hanya akan berhasil bila 
seorang pemimpin negara bersih dari korupsi. Seorang pemimpin melaksanakan tugasnya secara amanah jika didorong ketakwaan pada Allah sebab ia yakin bahwa Allah pasti mengetahui semua aktivitas dan akan diminta pertanggungjawaban di akhirat kelak. Ketakwaan inilah yang harus ditanamkan khalifah kepada seluruh pegawai pemerintah tanpa kecuali. 

Kelima, sanksi yang tegas karena hakikatnya manusia akan takut menerima risiko yang akan mencelakakan dirinya termasuk jika ditetapkan hukuman setimpal pada koruptor, khilafah menerapkan sanksi tegas berdasarkan aturan Islam yang akan berfungsi sebagai jawazir/pencegah dengan hukuman takzir, penyitaan harta, kurungan penjara hingga hukuman mati. Karena hukum dalam Islam merupakan penebusan dosa. 

Keenam, pengawasan masyarakat. Masyarakat bisa berperan menyuburkan atau 
menghilangkan korupsi. Masyarakat yang mentalnya instan akan cenderung menempuh jalan pintas dalam urusan keuangan juga tidak segan memberi suap dan hadiah. 

Alhasil, pencegahan korupsi akan hanya berhasil dalam sistem Islam yakni Khilafah Islam. Islam memberikan solusi yang membuat jera kepada perilaku korupsi bagi setiap masyarakat yang terlibat melakukan upaya untuk menjadikan kekuasaan dan kepercayaan dari rakyat untuk keuntungan pribadinya. 

Oleh karenanya, sistem demokrasi kapitalisme yang tumbuh subur di negeri ini, sudah saatnya diganti agar tidak terus menerus menzalimi rakyat. Saatnya Islam hadir untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya. []


Oleh: Hana Sheila
Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments