TintaSiyasi.com -- Hidup tak pernah lepas dari ujian sebab Allah menurunkan ujian justru demi kebaikan hamba-Nya. Sebaik-baiknya orang beriman adalah mereka yang selalu memasang kuda-kuda dan bersiap menyongsong ujian hidup yang datang kapan saja.
Saya mengenal baik seorang perempuan tangguh yang hidupnya penuh airmata macam sinetron.
Sejak bayi merah, dia harus menerima kenyataan perceraian kedua orang tuanya. Ketika masing-masing orang tua menikah lagi dan membina keluarga baru, dia lebih banyak tinggal bersama sang nenek.
Saat remaja dan memasuki dunia perkuliahan, cita-citanya menjadi nakes terpaksa kandas. Kuliahnya di tempat lain pun tak selesai hingga akhirnya memutuskan menikah muda lalu merantau ikut suami.
Namun fakta masa kecil yang kurang bahagia dan kegagalan yang dialami tak lantas membuat kehidupan pernikahan menjadi mudah untuknya. Jauh dari orang tua, harus beradaptasi dengan lingkungan baru, situasi ekonomi yang belum stabil dan pernikahan sulit adalah kenyataan-kenyataan pahit baru yang harus ditelannya.
Saat hidupnya mulai merasakan sedikit kesenangan, takdir tidak mengenakkan kembali menghantam. Ujian-ujian berat bergantian datang tapi dia mampu tetap berdiri. Tak gentar. Saat harus memilih pilihan sulit antara kebahagiaan dirinya atau anak-anaknya, dia dengan mantap memilih anak-anak meski dihadapkan dengan situasi pahit.
Ternyata, Allah menempanya dari usia begitu muda agar bahunya kuat, agar mentalnya tangguh sebab jalannya ke depan tidaklah mudah. Jika saja kehidupan awalnya mudah, mungkin saja dia akan jadi lembek dan gampang menyerah. Allah menjadikan hatinya kuat demi melindungi masa depan anak-anaknya saat keadaannya sendiri terpuruk.
Dan aku tak setangguh wanita itu meski merupakan keturunannya. Meski bukan berasal dari keluarga yang hangat dan berada, kehidupan saya sejak kecil hingga dewasa adalah kehidupan yang lurus dan cukup mudah dilalui.
Meski harus kehilangan ayah saat kuliah, aku mendapati kehidupan yang dipermudah mulai dari sekolah yang cukup berprestasi hingga kuliah dibiayai pemerintah dan langsung tembus CPNS di tahun yang sama ketika lulus kuliah.
Tentu, kemudahan-kemudahan itu adalah berkah dan kasih sayang Allah yang sayangnya bikin diri ini lalai dan terlena. Aku terlalu merasa aman dan nyaman sehingga lupa memperbaiki diri, memperbaiki keimanan, memperbaiki tujuan hidup yang ternyata selama ini begitu duniawi.
Saat memasuki dunia pernikahan, barulah aku dihadapkan pada situasi yang tidak terduga, sulit, dan menguras emosi. Ya, meski menikah pada usia matang, faktanya aku tidak cukup siap secara mental untuk menjalani pernikahan. Kurang ilmu, kurang iman, bikin aku kelimpungan dan gampang meledak-ledak saat diuji masalah. Jangan tanya seberapa banyak aku menangis, jangan tanya seberapa sering aku terpikir untuk menyerah saja.
Sampailah di satu fase aku menyadari, betapa mental diri ini begitu rapuh. Kemudahan-kemudahan yang diberikan Allah sebelumnya jadi bumerang buat saya karena tak pandai bersyukur. Saking seringnya situasi berjalan mulus seperti harapan, saya jadi angkuh, jadi sombong dan merasa tidak pantas, tidak layak mengalami hal buruk dan diuji sedemikian rupa.
Padahal, siapalah diri ini? Dibandingkan Rasulullah dan para nabi yang mulia tetapi masih Allah berikan ujian berat dan berdarah-darah. Dibandingkan Sumayyah, wanita beriman yang harus menggadaikan nyawa demi memegang teguh keimanannya?
Aku hanyalah perempuan akhir zaman yang lemah, bodoh, terbatas, dan penuh dosa.
Yang dengan sombongnya tak pernah mendekat kepada Allah dan meminta pertolongan di saat-saat sulit.
Allah tahu aku lemah dan bermental rapuh, maka diberikanlah ujian agar lebih kuat dan berhati lapang. Allah tahu saya penuh dosa, maka diberikanlah ujian agar saya aku menebus dosa yang menggunung itu. Allah ingin aku jadi lebih baik, lebih mulia, maka diberikanlah ujian untuk mengangkat derajat.
Allah memberikan ujian yang bagi saya sulit agar aku hanya lari kepada-Nya untuk meminta pertolongan. Allah menguji karena sayang, agar aku tak lagi lalai, menjauh, dan lupa kepada-Nya seperti yang sudah sudah.
Betapa baiknya Allah, mengingatkan dengan ujian sebelum aku dipanggil pulang. Lalu, masih punya hak-kah aku ini untuk merutuki kasih sayang-Nya? Rabb, ampuni hamba. []
Oleh: Virlyana Azhari Uswanas
Voice of Muslimah Papua Barat
0 Comments