Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

OTT Hakim Agung, ke Mana Lagi Mencari Keadilan dan Tempat Berlindung?


TintaSiyasi.com -- Tugas KPK di Nusantara tercinta sepertinya masih amat berat. Bagaimana tidak, predikat Hakim Agung yang notabene pemilik keputusan tertinggi di Mahkamah yang katanya Agung saja tak elak terkena jerat nikmat haramnya korupsi. Bukankah sudah seharusnya di tangannyalah rakyat berharap keadilan ditegakkan melalui ketuk palu kebijaksanaannya? 

Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap Hakim Agung Sudrajad Dimyati adalah kasus pertama sepanjang sejarah Indonesia berdiri. Yang lebih mengagetkan, Sudrajad Dimyati ditetapkan sebagai tersangka bersama sembilan orang lainnya dalam kasus dugaan suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA)

Menilik harian kompas.com, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyebutkan hakim agung yang terseret operasi tangkap tangan (OTT) KPK bisa jadi lebih dari satu orang. “Ada hakim agung yang katanya terlibat kalau enggak salah dua, itu harus diusut, dan hukumannya harus berat juga,” ujar Mahfud di Malang, Jawa Timur, dikutip siaran Kompas TV pada Sabtu (24/9/2022).

Bahkan Menurut Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, kasus seperti di atas ibarat gunung es yang sebenarnya jika di kuak, bisa jadi banyak kasus serupa yang terjadi. Hanya saja, belum ter-ekspos atau naik ke permukaan. Fakta-fakta yang lebih menakutkan itu, menurut Feri, adalah permainan perkara di peradilan.

Fenomena korupsi seperti suap dan penggelembungan dana proyek pembangunan umum seolah menjadi hal yang lumrah dalam tatanan sosial saat ini. Dan sudah menjadi hal umum, korupsi dan suap menjadi salah satu jalan ninja pejabat daerah hingga pusat untuk melicinkan kepentingan dan keuntungan bagi mereka. 


Kapitalisme Biangnya

Tentu masih lekat dalam benak kita tentang kasus penegak hukum lainnya, yakni Ferdi Sambo yang dengan tega dan sengaja menghabisi nyawa koleganya sendiri. Sungguh ironis memang, tatkala penegak hukum malah terjerat hukum. Namun, inilah realitas pahit yang harus disaksikan oleh masyarakat yang hidup dalam sistem sekuler kapitalisme, bahwa korupsi dan tindakan kriminal lainnya di Indonesia masih sangat subur. 
    
Selain itu, sudah menjadi rahasia umum bahwa pemilihan pemimpin ala kapitalisme membutuhkan dana yang sangat besar, maka sebenarnya inilah akar pangkal budaya busuk yang menggurita dan membudaya. Tidak hanya itu, gaya hidup hedonisme ala kaum kapitalisme sekuler yang menganggap harta adalah sumber kebahagiaan, dan aturan agama dipisahkan dari kehidupan, makin memperparah penyakit sistematis ini.

Alih-alih menjalankan amanah mereka untuk melayani umat, para penguasa justru sibuk mengembalikan modal kampanye dan kebutuhan partai, bahkan masa kekuasaan mereka pun digunakan sebaik mungkin untuk memaksimalkan kampanye kepentingan mereka ke depan, yang akhirnya banyak mengadakan proyek yang urgensinya dipertanyakan dan sering kali berakhir mangkrak. Bahkan, tak sedikit yang menghalalkan segala cara demi memenangkan tender.

Dalam sistem sekuler kapitalisme, ranah hukum yang seharusnya menjadi tempat mencari peradilan, menjadi jauh dari harapan. Nyatanya uanglah yang menjadi penentu kemenangan. Para kapitalis rakus sekuat tenaga membeli kebenaran dan kemudahan bagi kepentingan mereka, maka tak ayal, suap dijadikan jalan memuluskan rencana dan strategi mereka. Para penegak hukum mereka bungkam dengan uang. Sedangkan para pemimpinnya sibuk dengan kekuasaan, dan kebijakan yang justru banyak merugikan wong cilik.

Tentu kondisi ini akan sangat berbeda ketika sistem Islam yang digunakan. Dalam sistem peradilan Islam, lembaga peradilan bertugas menyampaikan keputusan hukum yang mengikat, tidak ada mahkamah-mahkamah banding ataupun mahkamah istimewa. Tugas mereka menyelesaikan perselisihan di antara anggota masyarakat serta mencegah hal-hal yang dapat membahayakan hak jamaah. Tidak hanya itu, lembaga peradilan dalam Islam juga bertugas untuk mengatasi perselisihan yang terjadi antara rakyat dengan penguasa atau pegawai negeri, khalifah atau selain khalifah.

Tidak hanya sistem peradilan, Islam juga memiliki sistem sanksi yang berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Untuk tersangka korupsi Islam menetapkan hukuman yang tegas dan keras, bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati. Dengan demikian, orang lain yang bukan pelanggar hukum tercegah untuk melakukan tindak kriminal yang sama dan bagi pelanggar hukum sanksi tersebut sebagai penebus dosanya. Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Sri utami
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments