Seperti diketahui, hasil tambang nikel Indonesia 2019 adalah 730.000 ton, sehingga mencapai peringkat pertama dalam produksi tambang nikel. Jika saja nikel tidak diekspor ke Cina, maka Indonesia bisa menjadi produsen logam nikel terbesar di dunia. Namun, dalam Permen ESDM nomor 11 Tahun 2019 diberlakukan aturan larangan mengekspor biji nikel. Biji nikel harus diolah dahulu menjadi logam di perusahaan smelter, padahal Indonesia kekurangan smelter.
Sesungguhnya kebijakan hilirisasi nikel ini membuat Indonesia justru berada dalam posisi lemah. Karena dari 23 smelter yang ada di negara ini, 21 di antaranya milik Cina. Inilah yang menjadikan Cina mempunyai kendali penuh atas ekspor nikel di Indonesia. Saat dibukanya keran investasi beberapa tahun lalu, Cina masuk dan mendirikan banyak smelter di Indonesia dengan teknologi Rotary Kiln-Electric Furnace (RKEF). Penggunaan teknologi ini lebih banyak menghasilkan nikel kelas dua yang hanya diperuntukkan untuk membuat baja tahan karat.
Ketika penjualan besar-besaran kendaraan listrik semakin meningkat, perusahaan Cina berbondong-bondong membangun pabrik smelter nikel dengan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL). Sementara di Indonesia satu-satunya smelter yang menggunakan teknologi HPAL adalah perusahaan Cina milik Harita Grup di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Provinsi Maluku. Hal inilah yang menyebabkan ketergantungan Indonesia pada Cina di pertambangan nikel.
Sebagai gambaran eksklusifnya smelter milik Harita Grup ini adalah perlakuan spesial pemerintah Indonesia terhadapnya sejak Mei 2019. Smelter ini didapuk menjadi obyek vital nasional oleh kementerian ESDM. Hal ini mengakibatkan diperketatnya pengamanan bersenjata oleh TNI/Polri di kawasan Pulau Obi. Aparat TNI/Polri hanya bisa keluar dan masuk Pulau Obi lewat jalur laut dengan kapal yang disediakan perusahaan. Sementara orang umum tidak bisa masuk ke kawasan tersebut tanpa diselidiki identitas dan tujuan ke sana.
Di sisi lain, pencemaran laut akibat limbah tailing nikel yang dibuang oleh Harita ke laut, menjadi hal yang tidak terekspos ke publik selama ini. Air laut di sekitar Pulau Obi akan terlihat berwarna coklat kemerah-merahan manakala tertimpa air hujan. Hal ini terjadi akibat limpahan ore nikel ke laut. Limbah nikel ini juga mengakibatkan ekosistem di perairan Pulau Obi menjadi rusak. Tentu saja ekosistem menjadi rusak, terbukti dari pekatnya kandungan nikel di pesisir Sungai Todoku yang mencapai 9,43 miligram per liter. Ini jauh melewati ambang batas normal 0,5 miligram per liter.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Universitas Kairun Ternate membuktikan bahwa pada ikan-ikan di perairan Pulau Obi telah mengalami nekrosis (kematian sel pada insang, usus dan otot). Polusi logam berat di perairan Obi terakumulasi pada fisiologis ikan-ikan yang dijadikan sampel. Menurut Dr. M. Aris, Peneliti dari Universitas Khairun, rantai makanan yang sudah tercemar limbah tailing nikel terjadi di laut.
Hal ini mengakibatkan di dalam tubuh ikan-ikan besar yang dikonsumsi manusia telah terakumulasi logam berat yang berbahaya. Ketika ikan-ikan yang tercemar ini dimakan oleh manusia, maka akan terjadi biomagnifikasi yang berpotensi menyebabkan kerusakan sel dan terganggunya fungsi organ tubuh. Padahal seperti diketahui, perairan Obi dan Maluku Utara adalah lumbung ikan nasional. Ikan tuna dan cakalang yang menjadi konsumsi rakyat Indonesia dan di ekspor ke luar negeri terkenal dihasilkan dari perairan ini.
Anehnya, meski faktanya telah terjadi pencemaran, pemerintah ternyata memberikan izin bagi perusahaan Harita untuk membuang limbah tailing nikel ke laut dalam perairan Obi. Saat muncul protes dari sejumlah elemen masyarakat, Harita kemudian meminta izin untuk membebaskan sejumlah wilayah hutan. Di hutan ini rencananya akan dibangun bendungan bagi limbah tailing. Namun, anehnya lagi, mengapa izin ini baru diproses pada akhir 2021? Padahal Harita sudah beroperasi sejak 2018. Jadi ke mana limbah tailing dibuang sejak 2018?
Sementara itu, Harita ternyata telah menandatangani perjanjian jangka panjang dengan GEM dan CATL, dua perusahaan baterai listrik dari Cina. GEM dan CATL ini menguasai 30 persen pasar baterai global. Artinya, nikel dari Pulau Obi akan digunakan untuk mobil listrik merk ternama di Cina dan Eropa. Sehingga di masa depan, saat kota-kota di Cina dan Eropa semakin hijau karena terhindar dari polusi dengan penggunaan mobil dan motor listrik. Sementara, nasib kawasan Pulau Obi justru memerah akibat pencemaran yang luar biasa merusak.
Saat banyak fakta kerusakan telah berbicara, semestinya pemerintah Indonesia segera mawas diri dan berbenah. Bukankah seharusnya pemerintah negara ini peduli dengan kondisi wilayahnya dan nasib warganya? Pemerintah seharusnya menjadi pengurus dan penjaga wilayah negara dan warga negaranya (menjadi ra’in dan junnah), sebagaimana diingatkan oleh Rasulullah SAW dalam hadits-hadits beliau. Sudah saatnya pemerintah menyadari dan memiliki itikad untuk mengurus dan membela negaranya, bukan menjadi kaki tangan dan membela korporat Cina, Amerika dan Eropa.
Sayangnya, yang ditampakkan oleh pemerintah negara ini adalah wajah yang berpihak kepada para korporat Cina, Amerika dan Eropa. Sehingga walaupun mengorbankan nasib wilayah dan warga negaranya, seolah tidak menjadi masalah. Entah apa yang ingin dicapai oleh pemerintah negara ini dengan mengorbankan negara dan warganya sedemikian rupa.
Padahal Rasulullah SAW telah mengingatkan, “Barang siapa yang diangkat oleh Allah menjadi pemimpin bagi kaum Muslim, lalu ia menutupi dirinya tanpa memenuhi kebutuhan mereka, (menutup) perhatian terhadap mereka, dan kemiskinan mereka. Allah akan menutupi (diri-Nya), tanpa memenuhi kebutuhannya, perhatian kepadanya dan kemiskinannya.” (Diriwayatkan dari Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abu Maryam).[]
Oleh:
Dewi Purnasari
Aktivis Dakwah
Politik
0 Comments