TintaSiyasi.com -- Ibarat tukang parkir, begitulah seharusnya kita dalam menyikapi harta yang telah dikaruniakan. Tak pernah merasa memiliki, namun begitu sepenuh hati dalam menjaganya. Bukan untuk sombong dan tinggi hati, bukan pula pamer unjuk gigi. Apalagi berniat merendahkan orang lain, terutama kaum duafa. Hingga hilanglah naluri kemanusiaan.
Memang perilaku unjuk kemewahan di tengah kemiskinan kini seolah menjadi gaya hidup. Mereka mempertontonkan mobil mewah, rumah megah, saldo ATM, outfit branded, perhiasan, berbagai perayaan dan pesta hajatan yang digelar dengan berbagai hiburan, dan segala kemewahan lainnya yang jika disedekahkan akan dapat meringankan kebutuhan jutaan rakyat miskin. Sistem kapitalis telah sukses mematikan naluri kemanusiaan orang-orang kaya sehingga tidak memiliki rasa empati terhadap orang miskin. Ketimpangan makin nyata di tengah banyaknya rakyat yang makin sempit hidupnya, segelintir orang malah dengan mudah dapat membeli mobil Range Rover baru yang harganya selangit.
Belum lama ini, Range Rover baru masuk ke Indonesia melalui PT JLM Auto Indonesia. Kendaraan tersebut rupanya berstatus limited dan hanya tersedia 50 unit di dalam negeri hingga akhir tahun. Menurut Direktur Pemasaran PT JLM Auto Indonesia, Irvino Edwardly saat peluncuran produk di Jakarta Selatan, Range Rover baru sudah dinanti-nantikan konsumen sejak lama, bahkan jauh sebelum diluncurkan. Bukan hanya itu, menariknya, tak sedikit dari mereka yang telah melakukan pemesanan sebelum melihat, menyentuh, apalagi menjajal unitnya secara langsung (detik.com, 27/09/2022).
Bagai bumi dan langit. Masyarakat Indonesia yang miskin dan rentan miskin justru semakin tertimpa kemalangan, angka kemiskinan tak terkendali. Potret kemiskinan Indonesia makin kelam pasca perubahan batas garis kemiskinan oleh Bank Dunia yang mengakibatkan muncul 13 juta warga miskin baru.
Mengutip World Population Review, Indonesia masuk dalam urutan ke-73 negara termiskin di dunia. Pendapatan nasional bruto RI tercatat US$3.870 per kapita pada 2020. Sementara, mengutip gfmag.com, Indonesia menjadi negara paling miskin nomor 91 di dunia pada 2022. Hal ini diukur dengan produk domestik bruto (PDB) atau gross domestic product (GDP) dan purchasing power parity (PPP) atau keseimbangan kemampuan berbelanja. Tercatat, angka PDB dan PPP RI sebesar US$14.535 (cnnindonesia.com, 30/09/2022).
Belum hilang dari ingatan ketika pandemi terjadi setahun yang lalu, ditemukan sebuah fakta bahwa orang kaya di Indonesia mengalami peningkatan selama pandemi COVID-19. Dibandingkan total 270 juta penduduk, jumlah orang kaya di Indonesia setara dengan 0,1% populasi (katadata.co.id, 21/7/2021).
Melansir data dari lembaga keuangan Credit Suisse, jumlah penduduk dengan kekayaan bersih 1 juta dolar AS atau lebih di Indonesia mencapai 171.740 orang pada tahun 2020. Angka tersebut melonjak 61,69 persen year on year (yoy) dari jumlah pada tahun 2019 yang berjumlah 106.215 orang. Lembaga tersebut juga mencatat, jumlah orang Indonesia sangat kaya atau dengan kekayaan tercatat lebih dari 100 juta dollar AS pada tahun 2020 mencapai 417 orang atau naik 22,29 persen dari tahun sebelumnya.
Akar terjadinya kesenjangan sosial ini adalah kapitalisme yang terbukti telah mewujudkan kemiskinan massal pada individu, keluarga dan negara. Kapitalisme mencetak kesenjangan permanen yang rentan melahirkan problem sosial yang begitu besar di masyarakat. Kemiskinan, kelaparan, kriminalitas, tingginya angka perceraian, stunting, kenakalan remaja, generasi putus sekolah, dan lain-lain.
Mekanisme pasar bebas yang menjadi tubuh sistem ekonomi kapitalisme menjadikan uang sebagai pengendali satu-satunya distribusi barang dan jasa. Mekanisme pasar bebas pulalah yang meniadakan peran negara dalam mengurusi rakyatnya. Negara menyerahkan seluruh kebutuhan rakyat pada swasta, akibatnya pelayanan diberikan sesuai dengan harga yang dibayarkan. Subsidi pada rakyat dianggap beban negara, sementara pajak dari rakyat malah dijadikan tumpuan dalam menjalankan roda pemerintahan.
Di sisi lain, kapitalisme malah memfasilitasi kerakusan pemilik modal untuk melipatgandakan kekayaan pribadinya. Sistem ekonomi kapitalisme yang berbasis riba, menjadikan kekayaan makin menumpuk hanya dengan penurunan suku bunga. Ditambah adanya jebakan utang negara makmur pada negara-negara berkembang menjadikan kebijakan dalam negeri disetir korporasi multinasional.
Hal ini sungguh berbeda dengan sistem Islam. Islam memandang bahwa penyebab utama terjadinya ketimpangan adalah pada buruknya distribusi kekayaan. Sedangkan distribusi kekayaan tak bisa dilepaskan dari peran pemerintah. Oleh karena itu, peran sentral pemerintah menjadi faktor kunci terselesaikannya permasalahan ini. Pemerintahlah yang memiliki kewajiban menjamin kebutuhan umat.
Kriteria miskin dalam Islam bukan dihitung rata-rata, melainkan dihitung satu per satu kepala, apakah sudah tercukupi kebutuhan primernya, yaitu sandang, pangan dan papan. Kepala keluarga yang menjadi pihak pencari nafkah pun akan dipermudah dan difasilitasi dalam bekerja, baik itu akses pada modal tanpa riba, pelatihan, hingga penyediaan lapangan kerja.
Jika kepala keluarga tidak mampu memenuhinya, yang wajib membatu adalah kerabatnya. Pendataan yang baik disertai perangkat pemerintah yang amanah akan meniscayakan pelaksanaan sensus tersebut. Jika seluruh kerabatnya tak mampu memenuhi kebutuhan si pulan maka kewajiban memberi nafkah jatuh kepada kas negara (Baitul Mal).
Anggaran yang digunakan negara untuk membantu individu yang tidak mampu, pertama-tama diambil dari pos zakat, sesuai dengan surah At-Taubah: 60. Apabila zakat tidak mencukupi, negara wajib mencarinya dari pos lainnya di Baitul Mal. Apabila pos lainnya pun kosong, kewajiban menafkahi orang miskin beralih pada kaum Muslim secara kolektif.
Secara teknis bisa dilakukan dengan dua acara: Pertama, cara langsung yaitu kaum Muslim secara individu membantu orang-orang yang miskin. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Tidaklah beriman kepada-Ku, siapa saja yang tidur kekenyangan, sedangkan tetangganya kelaparan, sementara dia mengetahuinya” (HR Ath-Thabrani).
Kedua, dengan skema dharibah (pungutan insidental) kepada orang laki-laki Muslim yang kaya, hingga kebutuhan umat terpenuhi. Jika sudah terpenuhi, pungutan tersebut tidak diperlukan lagi dan negara akan menghentikan skema ini. Allah SWT berfirman:
وَفِيْۤ اَمْوَا لِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّآئِلِ وَا لْمَحْرُوْمِ
“Dan pada harta benda mereka ada hak orang miskin yang meminta, dan orang miskin yang tidak meminta” (QS. Az-Zariyat 51: Ayat 19).
Oleh karena itu, kemiskinan akan bisa teratasi dan ketimpangan pun tak akan terjadi. Dalam masyarakat Islam, orang kaya akan bahu-membahu membantu masyarakat miskin untuk bisa memenuhi kebutuhannya. Negara pun sebagai pihak sentral, disertai dengan bank data yang akurat dan pejabat yang amanah, akan mampu menghimpun dana dari para agniya (orang kaya) jika Baitulmal defisit. Sehingga, tidak harus berutang apalagi pada negara kafir harbi fi’lan yang telah jelas menyebabkan mudaratnya.
Dalam sistem ekonomi Islam yang tangguh, mekanisme kepemilikannya akan mengharamkan Sumber Daya Alam (SDA) dikuasai asing. Hal ini menjadikan kas negara kuat dan stabil sehingga defisit anggaran akan jarang terjadi.
Terkait barang mewah, seorang Muslim boleh memilikinya, asalkan harta itu bersumber dari jalan yang halal dan untuk sesuatu yang halal. Islam menjaga agar naluri kemanusiaan tetap terjaga melalui berbagai kewajiban syariat yang telah ditetapkan, bahkan menjadikannya sebagai amal kebaikan. Bagi umat Islam, kekayaan digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Bukan untuk dipamerkan. Itulah sebabnya, orang kaya dalam Islam akan gemar bersedekah, berinfak fī sabīlillāh, dan berwakaf. Hal ini hanya akan terwujud ketika negara menjaga umatnya terikat dengan hukum syarak dan juga menerapkan syariat secara nyata dalam kehidupan.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Imas Royani, S. Pd.
Sahabat TintaSiyasi
0 Comments