TintaSiyasi.com -- Kasus korupsi makin hari ternyata makin menjadi-jadi. Tersedianya lembaga pemberantasan korupsi namun tak berarti membuat kasus korupsi mati. Mulai dari kasus korupsi kecil sampai kasus korupsi besar telah terjadi bahkan menyeret para pejabat tinggi.
Baru-baru ini, KPK melakukan OTT di Jakarta dan Semarang pada Rabu (21/9/2022) malam dan berhasil menjaring 10 orang yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka. Lima di antaranya adalah pegawai Mahkamah Agung (MA, 4 orang) dan seorang hakim agung, Sudrajad Dimyati.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menganggap bahwa fenomena mafia peradilan ini sudah menjadi rahasia umum. Feri mengungkapkan, bahkan jika investigasi atas mafia peradilan ini dilakukan lebih jauh, tak tertutup kemungkinan bakal terdapat "fakta-fakta yang lebih menakutkan" ketimbang yang terjadi dalam OTT KPK Rabu malam. Fakta-fakta yang lebih menakutkan itu, menurut dia, adalah permainan perkara di peradilan (Kompas.com, 25/09/2022).
Sungguh fakta yang mencengangkan. Tidak tanggung-tanggung, kasus korupsi yang menyeret hakim agung menjadi indikasi bagi kita betapa menggurita korupsi di negeri ini bahkan sudah menjangkiti penegak keadilan di tingkat tertinggi. Bahkan bukan baru kali ini kasus korupsi menjerat penegak keadilan tetapi sudah pernah terjadi sebelumnya. Padahal Lembaga peradilan adalah tempat untuk mengadili berbagai perkara. Maka jika tempat ini sudah darurat korupsi, maka kemana lagi kita akan mendapatkan keadilan?
Problem korupsi adalah problem sistem dan cacat bawaan sistem demokrasi yang diterapkan di negeri kita saat ini. Sistem demokrasi sekuler adalah sistem batil, rusak, dan merusak. Sehingga, aturan apa pun yang keluar dari sistem ini tentu menjadi aturan yang rusak karena didasarkan pada sistem yang rusak.
Untuk itu, tidak mungkin korupsi bisa diberantas dengan tuntas meski ada lembaga super anti korupsi sekalipun. Buktinya kita bisa menyaksikan kasus-kasus korupsi makin hari makin liar.
Sistem demokrasi sekuler yang memisahkan aturan agama dari kehidupan inilah yang menjadikan aturan manusia diterapkan di dalam kehidupan kita. Jika manusia membuat aturan maka sudah pasti aturan yang diberlakukan akan disesuaikan dengan kehendak masing-masing.
Maka, selama sistem demokrasi masih diterapkan selama itu pula akan menjadi peluang untuk terus ada kasus-kasus korupsi selanjutnya.
Selain itu, sanksi tegas juga tidak diberlakukan bagi para koruptor sehingga kasus ini terus berulang karena sanksi yang diberlakukan tidak memberi efek jera bagi pelakunya.
Untuk itu, sebagai umat yang cerdas kita harus berpikir perbaikan bagi kondisi buruk ini. Kita membutuhkan sistem yang mampu memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya. Itulah sistem Islam yang disebut dengan khilafah.
Khilafah akan menjadikan syariat Islam sebagai aturan yang diterapkan dalam kehidupan. Syariat Islam adalah aturan dari Allah SWT. Islam memandang kasus korupsi adalah perbuatan khianat dan tidak termasuk defenisi mencuri. Karena perbuatan tersebut adalah penggelapan uang yang diamanatkan kepada seseorang.
Di dalam hadis Nabi SAW, “Tidak diterapkan hukum potong tangan bagi orang yang melakukan pengkhianatan (termasuk koruptor), orang yang merampas harta orang lain dan penjambret” (HR. Abu Dawud).
Maka sanksi atas pelaku korupsi adalah hukuman takzir. Seorang hakim/qadhi akan memberi hukuman sesuai dengan level kejahatannya. Sanksi terendah dari seorang hakim bagi pelaku korupsi adalah teguran, bisa berupa penjara, denda, pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa, hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling tegas yaitu mati.
Sungguh luar biasa aturan Islam jika diterapkan pastinya tidak akan memberikan peluang sedikit pun bagi pelaku korupsi untuk berani berbuat. Untuk itu, sudah saatnya kita menggantikan sistem demokrasi sekuler ini dengan sistem Islam yang pasti akan membawa kebaikan bagi kehidupan kita dan negeri ini. Tidakkah kita merindukan kehidupan yang penuh keberkahan dari Allah SWT?
Wallahu a’lam bishshawab. []
Oleh: Pipit Ayu
Sahabat TintaSiyasi
0 Comments