Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kejamnya Kapitalisme Sekuler hingga Merusak Akal


TintaSiyasi.com -- Tepatnya 10 Oktober yang lalu merupakan peringatan tahunan Hari Kesehatan Mental sedunia, namun menjelang peringatan hari kesehatan mental, publik tanah air digemparkan kabar bunuh diri TSR (18) seorang mahasiswa yang mengakhiri hidupnya dengan melompat dari lantai 11 Hotel Porta, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Insiden ini bukan saja menambah daftar deretan panjang kasus bunuh diri, namun juga menjadi bukti, bahwa darurat kesehatan mental di Indonesia. 

Perkara bunuh diri bukanlah semata-mata terkait angka, perlu sekali kesadaran membangun kesehatan jiwa seluruh pihak dalam upaya pencegahan dini, namun akibat lemahnya perhatian dan edukasi tentang kesehatan mental yang tidak semasif penyakit lain, sehingga
penerimaan dan respon masyarakat saat menemui kasus penderita gangguan mentalpun cenderung negatif. Padahal isu ini juga sangat penting karena menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia.

Gangguan kesehatan mental merupakan masalah yang kompleks dan bisa bermacam-macam bentuknya, seperti dijelaskan dalam klasifikasi penyakit internasional Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Dalam definisi itu, gangguan kesehatan mental mencakup banyak bentuk, termasuk depresi, kecemasan, bipolar, gangguan makan, dan skizofrenia.

Inilah kondisi kejiwaan yang melelahkan,
tak nampak secara kasat mata sebab penderita gangguan mental masih dapat menjalani kehidupan sehari-hari selayaknya orang normal. Namun, pada kondisi yang lebih buruk, tak jarang dapat memicu hasrat untuk menyakiti diri sendiri atau mengakhiri kehidupannya.

Sedangkan penyebab gangguan pada kesehatan mental, bukan hanya diperoleh dari garis keturunan, meski ada kombinasi faktor biologis, seperti faktor keturunan. Tapi ada faktor lain yang membuat gangguan mental jauh lebih buruk, yaitu faktor psikologi dan faktor lingkungan  

Sistem bobrok kapitalisme yang tidak mampu mensejahterakan rakyat, menjadi pemicu terjadinya himpitan ekonomi, kebutuhan hidup yang meningkat, memberi tekanan tersendiri bagi para orang tua dalam mencari nafkah dan kebutuhan keluarga, di tengah kondisi sulit namun harga semua kebutuhan naik drastis tak jarang pula memaksa seorang ibu ikut mencari penghasilan tambahan, sehingga terjadilah pengurangan interaksi dan kehangatan dengan anggota keluarga lainnya, khususnya dengan anak-anak. Peran orang tua dewasa ini seolah cukup sebagai penyedia (provider) terutama hal-hal yang bersifat fisik, Untuk perkara rohani mereka sebatas mewariskannya. Sehingga tak jarang meski secara materi dan finansial anak tercukupi, namun kebutuhan secara psikologis dan emosional anak tidak terpenuhi.

Kesulitan yang di jalani orang tua saat mencari nafkah juga, membuat orang tua sangat mendukung anaknya untuk lebih sukses dari mereka. Sayangnya, dukungan itu pun berorientasi pada sukses duniawi, tidak pada akhiratnya. Padahal di dalam konteks pendidikan agama, kewajiban mendidik anak mutlak dilaksanakan oleh orang tua, karena itu sangatlah penting membangun aqidah kokoh bagi anak- anaknya sedari dini, sebab akidah yang kokoh adalah benteng pertama dan utama yang memberi kemampuan merespon tepat setiap musibah dan ujian yang datang dengan bersabar dan bertawakal kepada Allah semata. Dan tentu, hasilnya pun berbeda dengan pemahaman akidah dan meyakininya begitu saja, atau sebatas warisan, hingga sangat rawan untuk diserang oleh kebimbangan.

Paham sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan, dan meletakkan agama dalam ranah pribadi, dianggap sebagai modernisasi akhirnya menjadi bumerang yang menyebabkan depresi paling besar. Di mana kebebasan merupakan atribut yang essensial, gaya hidup individualistik yang berujung pada materialistik dan lebih mengutamakan nafsu duniawi. Menciptakan gaya hidup hedon yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama. Merasa dirinya lebih penting daripada orang lain, bersikap diskriminatif sombong, egois, tidak peduli dengan lingkungannya kian merebak di tengah masyarakat, Alhasil kebahagiaan yang didapat justru hanya melahirkan sebuah kebahagiaan semu.

Sangat jauh berbeda dengan Islam yang menjunjung tinggi perilaku sosial antar umat manusia. Islam mendorong umatnya untuk saling perduli, tolong menolong dan mengasihi, bahkan terlebih kepada tetangga, karena tetangga memiliki hak-hak atas dirinya. Dalam hal ini, Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah beriman kepadaku orang yang kenyang semalaman sedangkan tetangganya kelaparan di sampingnya, padahal ia mengetahuinya" (HR At-Thabrani).

Islam juga mengajarkan bahwa tujuan hidup jangka panjang, yakni mendapatkan kebahagiaan di akhirat adalah lebih penting dan orang yang mengutamaan kehidupan jangka panjang masa depan, akan menggunakan dunia sebagai ladang amal untuk bekal di akhirat, hidupnya tidak akan diperbudak oleh harta benda. Serta perilaku yang bersifat menindas dan merendahkan martabat manusia, sangat dilarang dalam Islam, sebaliknya islam mengajarkan berkasih sayang yang lebih universal, tidak memandang dan berpihak hanya kepada golongan tertentu namun kepada umat manusia secara keseluruhan.

Negara yang sepatutnya turun tangan, tak punya nyali dalam melindungi akidah umatnya, demi memuaskan orientasi bisnis para kapitalis dan mengabaikan nilai moral dan syariah, negara membebaskan media yang meracuni pemikiran dan menghasilkan perilaku yang rusak, akibat tontonan yang tidak mendidik, baik dalam aplikasi ataupun program televisi, seperti film yang mengandung adegan kekerasan, penyimpangan seperti LGBT, seks bebas, porno atau hal-hal yang tidak realistis, sehingga begitu mudah diakses siapa saja, bahkan anak anak dan remaja.
Menjadi salah satu indikator kuat merusak kesehatan mental.

Di dalam Islam tugas negara adalah meriayah (mengurusi) umatnya. Maka campur tangan negara mutlak dibutuhkan untuk membatasi dan memberikan aturan yang tegas, terkait pemutaran film juga aplikasi-aplikasi yang berpeluang menimbulkan kemudharatan. Dan semua perlu dilakukan berlandaskan ketakwaan, bukan sekadar mencari keuntungan.

Namun inilah fakta yang terjadi di negara dengan sifatnya yang kapitalistik, bukan saja negara berlepas tangan atas kebutuhan, pendidikan, pangan dan keamanan warganya. Namun juga abai terhadap kesehatan mental warganya.

Islam yang bukan sekadar agama namun juga sistem yang sempurna dan paripurna, jelas tidak bisa dijauhkan dari kehidupan. Dalam Islam masalah kesehatan mental bukan masalah sepele, rasa depresi dan kecemasan berpusat pada akal. Itu sebabnya keterjagaan akal sangat fundamental dan menjadi salah satu tujuan syariah. Meski Islam tidak melarang manusia mencari materi, tapi Islam tetap meletakkan kekayaan materi pada proporsinya, mencari kekayaan materi dan menguasainya semata-mata untuk keduniaan, dikecam sebagai kebodohan yang nyata. Maka paradigma kapitalisme sekuler yang menganggap dunia, kebendaan dan kekayaan materi adalah tujuan hidup, merupakan realitas yang terendah dan harus segera disingkirkan.

Oleh karena sepatutnya manusia memahami makna dan tujuan hidup yang sebenarnya dan kembali kepada Al-Qur'an, sebab Al-Qur’an merupakan mukjizat yang abadi sepanjang masa, Al-Qur'an juga berfungsi sebagai asy-Syifa atau obat untuk menyembuhkan penyakit fisik maupun rohani. Di dalamnya terkandung berbagai aturan hidup bagi manusia, baik dari segi ibadah, hukum, sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan lain-lain. 

Bukan sebatas membacanya, tapi juga memahami dan menerapkannya secara kaffah di dalam kehidupan di bawah naungan Daulah Islamiah. Sehingga masalah kesehatan mental yang sistemis, bisa terselesaikan dengan solusi yang sistemis pula, sebab hanya ajaran Islam yang memberikan petunjuk kepada manusia agar senantiasa memiliki sikap dan pandangan hidup yang tepat dan benar, sehingga menyehatkan mentalnya serta membahagiakan hidupnya.

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Indri Wulan Pertiwi
Aktivis Muslimah Semarang
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments