TintaSiyasi.com -- Bunuh Diri Remaja
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh peneliti di Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan University of Queensland di Australia dan Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health di Amerika Serikat (AS) menemukan bahwa 1 dari 20 remaja di Indonesia terdiagnosis memiliki gangguan mental, mengacu pada Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental (DSM-V) keluaran American Psychological Association (APA).
Ini berarti, sekitar 2,45 juta remaja di seluruh Indonesia masuk dalam kelompok Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Penelitian ini termuat dalam makalah berjudul Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) yang bakal terbit pada 20 Oktober 2022 (kumparan.com).
Selain potensi menjadi ODGJ, remaja yang mengalami gangguan mental (mental illness) tak sedikit yang melakukan upaya bunuh diri. Belum lama ini, pada awal Oktober lalu, seorang mahasiswa UGM Yogyakarta di temukan tewas bunuh diri dengan menjatuhkan diri dari lantai 11 sebuah hotel. Menurut keterangan setempat, diduga korban mengalami gangguan kesehatan mental atau depresi. Ini bukan kasus pertama dan terkahir bunuh diri di kalangan remaja.
Pada tahun 2012, WHO mengungkapkan bunuh diri merupakan penyebab kematian nomor dua terbanyak pada kelompok usia 15-29 tahun (WHO, 2016). Di Indonesia belum ada data secara nasional mengenai kejadian bunuh diri pada anak dan remaja. Namun berdasarkan data pada tahun 2012, WHO memperkirakan kejadian bunuh diri di Indonesia adalah 4,3% per 100.000 populasi (WHO, 2012). Kemudian Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI pada tahun 2014 melakukan penelitian ekstrapolasi dan menunjukkan angka kejadian bunuh diri di Indonesia adalah 1,77 per 100.000 penduduk (Depkes, 2016). Komisi Nasional Perlindungan Anak (KPAI) pada tahun 2014 melaporkan ada 89 kasus bunuh diri pada anak dan remaja. Sembilan kasus pada rentang usia 5 sampai 10 tahun. Sementara 12 hingga 15 tahun ada 39 kasus. Sedangkan yang berusia di atas 15 tahun ada 27 kasus (Afrina Z. dan Nining F., 2018).
Kapitalisme Mencetak Generasi Pesakitan
Fenomena kasus bunuh diri di kalangan remaja bukan pohon tanpa akar, bukan pula tempe tanpa proses fermentasi. Fanomena ini adalah efek domino dari penerapan kapitalisme yang memang meniscayakan lahirnya manusia-manusia yang rusak dan merusak. Kapitalisme merupakan sebuah ideologi atau cara pandang kehidupan yang berasaskan materi. Semua standar dan tolak ukur perbuatan dilihat dari nilai intrinsik materi. Dalam kapitalisme, semua bernilai baik dan benar jika dapat menghasilkan keuntungan manteri/finansial, begitupula sebaliknya semua dipandang buruk ketika tidak mendatangkan keuntungan materi. Untuk meraih materi tersebut, kapitalisme menghalalkan berbagai cara. Sehingga, orientasi materi inilah yang membuat manusia dalam kapitalisme berlomba-lomba meraih keuntungan materi sebanyak mungkin, tanpa memperdulikan lagi cara-cara yang ditempuhnya.
Atmosfer kehidupan yang kental dengan nuansa materialisme – kapitalistik ini membawa generasi muda (remaja) pada posisi yang terjepit. Mereka mendapat tekanan dan intimidasi dari berbagai sudut. Dalam kehidupan keluarga di rumah, ia mendapat dari tekanan orang tua agar menjadi orang yang sukses secara materi. Ia dididik orang tua supaya memperoleh pendidikan yang bagus di tempat pendidikan formal yang bagus pula sehingga kedepan ketika sudah lulus, ia bisa mendapatkan karir yang bagus di tempat kerja (perusahaan) yang bonafit. Dalam kehidupan masyarakat di luar, ia mendapat gesekan dari teman atau lingkungan sekitar yang memiliki gaya hedonis. Jika ia tidak bisa menyamai standar lingkungannya dengan pola konsumsi yang hedonis tersebut maka ia terkucilkan dari teman dan lingkungannya. Di sekolah/kampus, ia dituntut harus lulus tepat waktu dengan indeks yang telah ditentukan di tengah kurikulum pendidikan yang melelahkan. Belum lagi setelah lulus, ia harus mencari karir yang bagus di tengah sempitnya lapangan pekerjaan. Semua ini tentu akan mejadi masalah yang kompleks dalam kehidupan remaja ketika dia tidak memiliki bekal keimanan yang cukup. Masalah tersebut akan bergeser menjadi penyakit dan mengganggu bahkan merusak kejiwaan seseorang jika tidak segera disembuhkan.
Kendati upaya pencegahan gangguan kesehatan mental telah banyak dilakukan baik oleh LSM dalam skala organisasi, pemerintah dalam skala nasional seperti Komnas HAM, dan dunia dalam skala global seperti WHO dan WFMH, namun hasilnya nihil. Bahkan, tren gangguan kejiwaan dan bunuh semakin meningkat setiap tahunnya. Artinya, sistem kehidupan kapitalisme hari ini memang meniscayakan lahirnya generasi pesakitan tersebut.
Kapitalisme Sumber Penyakit yang Harus Diamputasi
Kapitalisme ini ibarat manusia yang lahir secara cacat bawaan. Mau di obati dengan obat paling ampuh pun tidak akan mampu menghilangkan kecacatannya. Kapitalisme adalah sistem rusak dan merusak. Setiap aturan yang keluar dari sistem ini, sudah dipastikan akan menghasilkan kerusakan. Ini sebuah aksioma. Mulai dari ekonomi kapitalisme dengan asas materialismenya, terbukti kapitalisme telah melahirkan elit manunia 1% yang kekayaannya melebihi kekayaan polulasi manusia miskin 99%. Adalah suatu kepastian jika terjadi ketimpangan ekonomi dan sosial di tengah masyarakat. Segelintir elit 1% mereka menguasai kekayaan alam yang tidak ada habisnya, di saat yang sama ratusan juta penduduk miskin mati kelaparan. Ini hanya terjadi dalam kapitalisme.
Di bidang politik pemerintahan, kapitalisme mengadopsi sistem demokrasi. Demokrasi inilah yang berhasil menaikkan pemimpin-pemimpin korup untuk memanggul amanah kepemimpinan. Apa yang terjadi? Korupsi menggurita, menjangkiti seluruh lapisan aparat pemerintahan. Bahkan, lembaga anti rasuah (KPK) dan hakim nya terlibat kasus korupsi.
Di bidang pendidikan, kurikulum pendidikan yang tentatif membuat pusing satuan pendidikan dan pelajar. Secara periodik, kurikulum harus berganti mengikuti kebijakan Menteri Pendidikan yang silih berganti. Di dunia pendidikan tidak ada kerangka capaian (kurikulum) yang pasti dan jelas, sehingga outputnya pun tidak jelas. Karena fokusnya hanya memperbaiki kurikulum, kualitas generasi (pelajar) menjadi kurang diperhatikan. Sehingga timbul generasi tak berkarakter dan generasi gagal yang salah memilih lingkungan. Generasi tak berkarakter, mereka belajar hanya untuk memperoleh indeks prestasi yang tinggi demi tujuan pragmatis agar kelak menjadi orang yang sukses secara materi, bisa jadi mereka inilah cikal bakal pemimpin korup. Sedangkan generasi gagal, mereka terjebak dalam kehidupan rusak pergaulan bebas, narkoba dan kenakalan remaja.
Di kehidupan sosial, kerusakan yang terjadi tak kalah mengerikan. Hanya perkara perut bisa berujung maut. Sengketa horizontal terjadi dimana-mana, pemicunya fanatisme kesukuan. Pun hilangnya rasa kepedulian terhadap sesama manusia, membuat masyarakat bersikap individualisme. Tidak ada keharmonisan dalam kehidupan sosial masyarakat, yang ada hanyalah rasa saling curiga satu sama lain, saling menjatuhkan dan persaingan sosial.
Atmosfer kotor yang diciptakan kapitalisme telah menggeser manusia dari fitrahnya yang membuat mereka menjadi pesakitan sehingga harus dihilangkan/dilenyapkan.
Islam sebagai Solusi untuk Mengatasi Komplikasi
Kapitalisme telah menjadi sumber penyakit komplikasi dalam tubuh (kehidupan) manusia. Sehingga ia harus dihilangkan/dilenyapkan dari sistem kehidupan manusia. Artinya, manusia wajib meninggalkan segala peraturan yang berasal dari ideologi kapitalisme ini dan menggantinya dengan sistem kehidupan yang lain. Sistem kehidupan yang telah teruji dan diyakini mendatangkan kebaikan kepada manusia, alam dan kehidupan tidak lain dan tidak bukan adalah sistem (syariat) Islam. Syariat Islam adalah seperangkat aturan yang diturunkan oleh Sang Pencipta Kehidupan, Allah azz awa jalla. Aturan ini bebas dari kecacatan, kekurangan dan tidak mendatangkan kerusakan. Berbeda dengan kapitalisme yang lahir dari keterbatasan akal manusia. Sebagai agama yang sempurna dan paripurna, syariat Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Islam mengatur aqidah (ibadah), ekonomi, pendidikan, sosial (muamalah), politik dan pemerintahan.
Dalam Islam, mustahil muncul fenomena generasi pesakitan sebagaimana dalam kapitalisme. Islam telah membina setiap manusia sejak kecil dengan penanaman akidah yang kokoh termasuk di jenjang pendidikan. Pendidikan Islam bertujuan membentuk manusia berkarakter/berkepribadian Islam (manusia bertakwa) yang menjadikan ridha Allah sebagai orientasi hidup. Islam menuntun manusia memahami hakikat kehidupan; darimana manusia berasal, untuk apa manusia diciptakan di dunia, dan akan ke mana manusia setelah hidup di dunia? Manusia yang beriman juga memahami bahwasannya mereka hidup dalam 2 (dua) domain : domain ikhtiar (wilayah yang dikuasai manusia) dan tawakkal (wilayah yang dikuasai Allah). Manusia yang memahami dengan benar hakikat kehidupan ini, ia akan memiliki prinsip hidup yang jelas. Ia tidak akan mudah risau terhadap masalah-masalah yang dihadapinya.
Di samping itu, adanya individu yang bertakwa juga didukung oleh sistem kehidupan yang kondusif. Yakni sistem kehidupan yang menerapkan hukum-hukum Islam dalam mengatur ekonomi, sosial, politik, sanksi hukum dan kebijakan dalam dan luar negeri.
Adanya penerapan ekonomi Islam jelas akan menciptakan kesejahteraan masyarakat. Ekonomi Islam dijalankan untuk mengatur harta/kekayaan supaya kembali ke tangan yang berhak memilikinya sesuai ketentuan syariat. Tidak sebagaimana ekonomi kapitalisme yang membuat kekayaan hanya berputar di tangan orang-orang kaya saja.
Dalam kehidupan sosial, Islam menciptakan massyarakat yang memiliki karakter mulia dengan saling mengasihi terhadap sesame, memiliki kepedulian, saling tolong-menolong dan memilliki motivasi berlomba-lomba dalam kebaikan, bukan persaingan sosial sebagaimana dalam kapitalisme.
Sedangkan eksistensi politik Islam sejatinya adalah untuk mengatur urusan rakyat agar terpenuhi hajat mereka secara makruf (baik), bukan untuk berebut kursi kekuasaan sebagaimana demokrasi. Sistem kehidupan yang terintegrasi dengan hukum-hukum Islam ini akan menciptakan atmosfer kehidupan yang sehat dan bersih; individu yang bertakwa, adanya control masyarakat untuk saling amar makruf nahi mungkar, juga peran negara yang menjamin terpenuhinya hajat hidup masyarakat, baik hajat dharuri seperti sandang, pangan dan papan, maupun hajat asasi seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Oleh karena itu, generasi pesakitan hari ini hanya bisa diobati dengan Islam, yakni dengan menerapkan syariat Islam di seluruh aspek kehidupan. []
Oleh: Tri Handayani
Aktivis Muslimah
0 Comments