TintaSiyasi.com -- Kerusuhan usai pertandingan sepakbola di Indonesia kerap kali terjadi. Kini, tragedi itu kembali terjadi di stadion Kanjuruhan, Malang, setelah peluit panjang mengakhiri laga Arema FC vs Persebaya Surabaya.
Laga Arema FC vs Persebaya ini termasuk dalam pekan ke-11 Liga 1 musim 2022-2023 yang berlangsung di Stadion Kanjuruhan, Sabtu (1/10/2022) malam WIB (Kompas.com, 2/10/22).
Dari sumber yang sama dikabarkan dalam tragedi tersebut menyebabkan 129 tewas, dua di antaranya adalah anggota kepolisian.
Tragedi kelam di Stadion Kanjuruhan ini juga menjadi sorotan media-media olahraga dunia. Dalam koran mereka mengomentari terkait penanganan kepolisian yang menggunakan gas air mata untuk membubarkan massa.
Salah satunya dari Surat kabar Amerika Serikat, The New York Times, yang menyorot pemakaian gas air mata sebagai cara untuk membubarkan massa.
Padahal berdasarkan peraturan FIFA, organisator sepak bola dunia, ada aturan yang melarang penggunaan gas air mata di dalam stadion. Aturan itu tertuang dalam regulasi FIFA terkait pengamanan dan keamanan stadion atau FIFA Stadium Safety and Security Regulations, tepatnya pasal 19 poin b.
Bunyi dari aturan itu adalah : "No firearms or 'crowd control gas' shall be carried or used" (senjata api atau 'gas pengendali massa' tidak boleh dibawa atau digunakan)
Tragedi itu juga ditanggapi oleh seorang Sosiolog, Mohammad Ghofur S.Sos, M.Sc. Ia menyatakan bahwa kasus rusuh atau ricuh yang terjadi baik antar-suporter, atau antar suporter-pihak penyelenggara, dan lain sebagainya saat pertandingan, ada banyak sekali cara yang bisa dilakukan yang sesuai dengan kejadiannya.
Kemudian dia menyarankan, untuk mencegah terjadinya ricuh para suporter saat pertandingan sepak bola, Ghofur merekomendasikan beberapa hal yang bisa ditempuh ;
Pertama, pihak penyelenggara harus bisa memperkirakan jumlah suporter yang hadir ke stadion untuk setiap laganya. Hal ini perlu dilakukan, agar pihak penyelenggara bisa menyesuaikannya dengan jumlah panitia pelaksana, petugas yang bekerja sebelum, selama dan sesudah pertandingan.
Kedua, pihak penyelenggara harus rutin memeriksa infrakstruktur dalam pelaksaan ajang pertandingan sepak bola tersebut.
Ketiga, memperlakukan suporter secara manusiawi. Suporter harus diperlakukan seperti manusia. Pantia penyelenggara tidak boleh hanya melihat para suporter dengan potensi jumlahnya yang besar, sebagai ladang kampanye atau marketing ekonomi pasar saja.
Secara teknik mungkin pendapat ini bisa dilakukan, tapi apakah menjamin kericuhan tidak terulang kembali? Sementara pemicu kericuhan tersebut tidak diselesaikan secara tuntas?
Padahal terjadinya kericuhan usai pertandingan itu selalu dipicu oleh rasa fanatisme kesukuan pada masing-masing suporter. Inilah yang seharusnya diurai terlebih dahulu bukan permasalahan teknisnya.
Akar dari Kerusuhan Antar Suporter
Sejatinya jika menilik lebih dalam lagi akar dari semua kerusuhan itu adalah dipeliharanya rasa kesukuan atau dalam bahasa arab disebut ashobiyah di tengah-tengah masyarakat.
Liga demi liga sengaja diorganisir agar rasa ashobiyah itu tetap terjaga, meskipun jargon yang selalu didengungkan adalah untuk mempererat persatuan tapi pada faktanya tidaklah demikian.
Sepakbola sendiri sebenarnya salah satu kegiatan olah raga yang bisa membugarkan tubuh dan ini suatu hal yang dibolehkan tapi ketika kegiatan yang dibolehkan ini dirubah orientasinya bukan semata-mata untuk kesehatan apalagi untuk melanggengkan rasa ashobiyah maka ini yang perlu dikritisi.
Apalagi Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam maka semua memiliki kewajiban untuk terikat dengan hukum-hukum syariat salah satunya adalah Islam melarang mengagung-agungkan ashobiyah alias kesukuan.
Sejatinya, pertandingan sepakbola yang marak di seluruh negara termasuk Indonesia merupakan trik sistem kapitalisme di negeri-negeri muslim untuk melanggengkan penjajahannya, agar umat Islam di seluruh dunia tidak bisa bersatu maka harus disekat atas nama kesukuan atau rasa ashiboyah tadi.
Masing-masing diri bangga atas suku dan keturunannya serta menganggap kecil suku yang lain. Perasaan ini sengaja disemai oleh para penjajah kapitalisme hingga tak terasa oleh umat Islam. Akhirnya umat Islam disibukkan oleh urusan internalnya sendiri dan memperebutkan hal-hal yang sepele seperti halnya perbandingan sepakbola ini.
Pada akhirnya umat Islam tergiring pada fanatisme kesukuan sehingga lupa bahwa sesama muslim itu bersaudara. Bahkan ikatan aqidah itu lebih kuat daripada ikatan darah.
Islam Mengharamkan Ashobiyah
Oleh karena itu fanatisme terhadap kelompok, golongan ataupun kesukuan diharamkan dalam Islam karena lahirnya seseorang itu menjadi suku A, B atau C bukan dalam kendali manusia, Allah-lah yang telah mentakdirkan seseorang itu lahir pada suku yang mana.
Allah Swt telah berfirman dalam surat Al Hujurat ayat 10 :
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu.”
Demikian pula hadits dari Rasulullah Saw yang dengan tegas melarang umatnya untuk bersikap ashobiyah atau fanatik golongan, sebagaimana sabdanya :
"لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ قَاتَلَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ
“Bukan termasuk umatku orang yang mengajak pada Ashabiyah (Fanatisme Golongan), dan bukan termasuk umatku orang yang berperang atas dasar Ashabiyah (Fanatisme Golongan), dan bukan termasuk umatku orang yang mati atas dasar Ashabiyah (Fanatisme Golongan).” (HR. Abu Dawud).
Problem inilah yang sebenarnya tengah terjadi dalam tubuh umat Islam saat ini. Mereka lebih fokus kepada sesuatu yang sepele yaitu sebuah permainan tanpa mereka sadari bahwa mereka tengah disetir oleh kapitalisme.
Umat Islam telah dipalingkan dari hal-hal urgen yang seharusnya menjadi pusat perhatian. Ketidakpahaman mereka terhadap syariat Allah seharusnya menjadi fokus perhatian mereka sehingga umat Islam tidak mudah disetir oleh peraturan hidup yang bukan berasal dari Allah Swt.
Semoga tragedi di stadion Kanjuruhan menjadi ibroh bagi umat Islam bahwa betapa berbahayanya mengagung-agungkan fanatisme kesukuan.
Oleh : Emmy Emmalya
Analis Mutiara Umat Institute
0 Comments