Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Wabah Eksploitasi Anak di Kota Layak Anak (KLA)


TintaSiyasi.com -- Korban penyekapan dan eksploitasi anak di bawah umur berinisial NAT (15 tahun) tidak mengetahui bahwa pekerjaan yang ditawarkan terlapor EMT adalah pekerja seks komersial (PSK). Korban hanya dijanjikan penghasilan besar dan dijebak dengan alasan memiliki utang (Beritasatu.com, 18/09/2022).

Setelah menaikkan status kasus penyekapan dan eksploitasi seksual anak di bawah umur ke tahap penyidikan Polda Metro Jaya akan melakukan gelar perkara pada, Senin (19/9/2022). Dalam kasus ini remaja putri berinisial NAT (15 tahun) mengaku disekap dan dijadikan pekerja seks komersial selama 1,5 tahun (Republika.co.id, 19/09/2022). 

Sungguh ironi, kasus eksploitasi dan kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur masih terjadi di negeri ini padahal pemerintah telah mengantisipasi kualitas anak melalui program Kota Layak Anak (KLA). Kota Layak Anak semakin banyak diangkat dan dijadikan prioritas pembangunan daerah sebagai suatu cara untuk memenuhi hak anak. Namun pada faktanya kekerasan terhadap anak tidak kunjung menurun malah makin beragam modus dan makin bertambah pula korbannya. Hal ini mengindikasikan kegagalan negara dalam melindungi anak dan kemandulan program KLA untuk memberi jaminan sistem lingkungan yang dibutuhkan anak.

Menurut Peraturan Menteri (Permen) PPPA 13/2011, KLA didefinisikan sebagai kabupaten atau kota yang mempunyai sistem pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha; yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program, dan kegiatan untuk menjamin pemenuhan hak dan perlindungan anak. Adapun hak anak adalah mengacu pada konveksi hak anak yaitu hak sipil dan kebebasan, lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, kesehatan dan kesejahteraan dasar, pendidikan dan pemanfaatan waktu luang, kegiatan budaya serta perlindungan kasus anak. Predikat KLA akan diraih jika memenuhi 31 cakupan indikator yang sudah ditetapkan. KLA dimaksudkan untuk memutus mata rantai kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak agar pada 2030 terwujud Indonesia Layak Anak (Idola).

Namun mirisnya fakta diberbagai daerah peraih predikat KLA masih saja terjadi tindak kekerasan hingga eksploitasi terhadap anak. Hal ini membuktikan bahwa predikat KLA tidak mampu menjamin terwujudnya lingkungan anak, seolah jaminan perlindungan anak semata-mata di atas kertas sekedar syarat agar lolos mendapatkan predikat KLA. Terlihat jelas solusi yang diadopsi tidak mumpuni untuk mencegah kekerasan dan eksploitasi terhadap anak. Sungguh, sudah cukup banyak regulasi yang ditujukan untuk mewujudkan perlindungan anak. Perlindungan anak dari kekerasan merupakan bagian dari perlindungan khusus. Namun, masih banyak anak Indonesia mengalami kekerasan sepanjang hidupnya, termasuk kekerasan seksual.

Gagalnya berbagai regulasi yang diadopsi di negara ini sejatinya menunjukkan bahwa persoalan mendasar kekerasan terhadap anak bukan pada kurangnya regulasi, melainkan solusi-solusi yang diadopsi berdasarkan nilai-nilai sekuler Barat yang jauh dari aturan agama. Sekularisme tidak menumbuhkan rasa takut, orientasi kehidupan hanya pada materi dan pemenuhan hawa nafsu yang membutakan mata dan hati. 

Maka dari itu selama tata kehidupan masih berlandaskan pada kebebasan akal manusia sebagaimana pada sistem sekuler kapitalisme, korban-korban eksploitasi anak terus bemunculan dengan beragam modus. Kekerasan terhadap anak bahkan kekerasan seksual tidak lagi dianggap sebagai perbuatan tercela dan keji. Sungguh, penambahan regulasi tanpa memperbaiki akar masalah tidak akan memberikan arti. Masyarakat membutuhkan solusi menyeluruh untuk menyelesaikan persoalan anak secara tuntas dan solusi itu ada pada Islam.

Islam memandang bahwa anak adalah amanah yang harus dijaga. Selain itu anak adalah calon pemimpin masa depan, aset bangsa yang sangat berharga. Maka sudah seharusnya anak dapat tumbuh dan berkembang optimal agar menjadi generasi penerus yang mumpuni. Dalam hal ini Islam memiliki serangkaian aturan dan sistem yang mampu menyelesaikan persoalan anak dan memenuhi kebutuhan akan rasa amannya. Islam juga satu-satunya agama yang tak hanya mengatur ritual atau aspek ruhiyah. Selain itu Islam merupakan akidah siyasih yaitu akidah yang memancarkan seperangkat aturan untuk setiap aspek kehidupan. Penerapan aturan Islam ini terbebankan pada negara.

Rasulullah SAW bersabda: “Imam adalah pengurus dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyat yang diurusnya” (HR Muslim dan Ahmad).

Upaya perlindungan negara dalam sistem Islam agar anak tidak menjadi pelaku maupun korban kekerasan seksual dan eksploitasi merupakan perlindungan terpadu yang utuh dalam semua sektor.

Wallahu a'lam. []


Oleh: Hajrah Ramli
BMI Unhas
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments