Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Anak Butuh Perlindungan, Bukan Pelecehan


TintaSiyasi.com -- Virus HIV bersarang di tubuh seorang anak, sebagai hadiah pelecehan seksual terhadapnya. Nasib malang ini dialami oleh anak berinisial JA yang baru berumur 12 tahun. Kisah pilunya baru terbongkar setelah tenggorokan JA berjamur dan tidak kunjung sembuh. Ternyata tenggorokan JA bukan sakit biasa. JA dinyatakan positif HIV (liputan6.com, 16/09/2022).

JA hanya satu dari sekian banyak anak-anak korban kekerasan seksual. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) melaporkan, ada 797 anak yang menjadi korban kekerasan seksual sepanjang Januari 2022 (kompas.com, 4/3/2022). Ini artinya setiap jam ada 1 – 2 anak yang mengalami pelecehan seksual. Data ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Indonesia benar-benar dalam kondisi darurat kekerasan seksual terhadap anak.

Anak-anak kerap kali dipilih untuk dijadikan korban kekerasan seksual, karena berbagai faktor. Ada faktor internal dari anak dan faktor eksternal. Faktor internal dari anak, sebagaimana dinyatakan oleh Ketua Bidang Sosial Kesehatan dan Kesejahteraan Keluarga Kongres Wanita Indonesia (Kowani), Susianah Affandy, yakni: Pertama, anak sangat mudah terpengaruh dengan iming-iming yang diberikan pelaku maupun pelaku yang memiliki hubungan keluarga atau dari lingkungan pendidikan. Kedua, anak tidak bisa mengekspresikan apa yang sedang dialaminya dengan bahasa verbal. Ketiga, anak menggantungkan hidupnya pada pelaku, karena sebagian besar pelaku adalah orang terdekat anak tersebut. Keempat, lambatnya korban melaporkan kekerasan yang dialami kepada kepolisian (republika.com, 17/01/2015).

Adapun faktor eksternal diungkapkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) ada tiga faktor, antara lain: Pertama, kurangnya pengawasan dari orang tua. Di zaman yang semakin modern seperti ini, tingkat pengawasan dari orang tua terhadap anak justru makin berkurang. Apalagi yang berhubungan dengan pengawasan dalam penggunaan gadget, media sosial, dan informasi yang membuat anak terpengaruh. Kedua, tingkat kepedulian masyarakat dan lingkungan sekitar yang sangat rendah. Hal itulah kenapa predator anak dapat dengan leluasa mencari korban. Data KemPPPA tahun 2020 menyebutkan lebih dari 60% kasus, pelakunya adalah kerabat dekat korban. Ketiga, hukum tanpa efek jera. Penegakan hukum yang tidak efektif dan tidak memberikan efek jera bagi pelaku, bahkan banyak kasus pelecehan dan kekerasan seksual baik umum maupun pada anak-anak khususnya, sering kali proses hukumnya tak ada kejelasan. Hal tersebut membuat kasus-kasus tindak asusila terkesan dipandang sebelah mata (justika.com, 28/7/2022).

Dari penjabaran para ahli tentang faktor penyebab kekerasan seksual anak, jelaslah bahwa anak butuh perlindungan. Anak-anak belum sempurna akalnya, fisiknya belum sekuat orang dewasa, serta belum memiliki banyak informasi tentang segala hal, tidak bisa dibiarkan begitu saja tanpa bimbingan. Pemerintah pusat yang berasas kapitalis liberal telah berupaya untuk memberikan perlindungan terhadap anak dengan berbagai cara. Mulai dari membuat kementrian khusus, yakni Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) sejak 2009 yang merupakan pengembangan dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan (KPP). KPPPA menjadi pihak yang merumuskan dan menetapkan kebijakan yang berhubungan dengan perempuan dan anak. Selain itu, dibuatkan Undang-Undang perlindungan anak. Pemerintah menetapkan hari keramat untuk anak, yaitu Hari Anak Nasional (HAN) yang diperingati setiap 23 Juli. Bahkan, untuk lebih merealisasikan perlindungan terhadap anak, pemerintah pusat mendorong pemerintah daerah untuk mewujudkan kota layak anak (KLA). Demi memotivasi daerah dalam mewujudkan KLA yang sempurna, pemerintah pusat membuat peringkat-peringkat hingga iming-iming penghargaan.  

Namun segala upaya itu tidak membuahkan hasil. Buktinya kekerasan terhadap anak, terutama kekerasan seksual terus bertambah dari tahun ke tahun. Data ini dapat dilihat di SIMFONI–PPPA (kekerasan.kemenpppa.go.id). Pelakunya beragam, dari orang tidak dikenal hingga ayah kandung mereka sendiri. Dilakukan di tempat umum, di sekolah, hingga di kamar mereka sendiri. Tidak ada lagi tempat aman bagi mereka. Bahkan yang seharusnya melindungi juga turut melecehkan. Undang-Undang perlindungan anak hanya basa-basi melindungi namun tanpa solusi. KLA hanya berupa fasilitas bermain di setiap pojok ruang publik yang kemudian rusak bahkan sebelum disentuh anak-anak. Di sisi lain pemerintah terus membuka keran kebebasan yang mampu mengalirkan hasrat seksual yang mendorong untuk dipenuhi. Walhasil, kasus kekerasan seksual terhadap anak terus terjadi tanpa henti. Kapitalisme liberal yang dianut Indonesia terbukti gagal melindungi anak-anak.

Sesuai dengan penyebab internal dan eksternal yang dipaparkan para ahli di atas, sebenarnya Islam sudah memiliki solusinya sejak 14 abad yang lalu. Islam mewajibkan untuk mengajarkan pendidikan seksual yang benar sejak dini. Bukan mengajarkan pacaran apalagi tentang hubungan intim. Tetapi pendidikan seksual adalah pendidikan tentang perbedaan antara perempuan dan laki-laki, yang mencakup perbedaan batasan aurat, perbedaan peran di antara keduanya. Tidak ketinggalan edukasi tentang aturan pergaulan antar lawan jenis dan sesama jenis. Edukasi ini dilakukan oleh orang tua di rumah dan oleh negara melalui kurikulum di sekolah berdasarkan akidah Islam. Sebagaimana firman Allah SWT:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allâh terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS. at-Tahrîm: 6).

Negara harus memastikan orang tua sekolah melakukan edukasi ini. Karena negara bukan sekedar regulator, tetapi negaralah yang bertanggungjawab atas pendidikan anak-anak dan seluruh rakyatnya, sesuai sabda Rasulullah SAW:

Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).

Selain itu negara juga akan membendung segala hal yang dapat memotivasi seseorang melakukan kekerasan seksual terhadap anak. Seperti memblokir situs-situs porno, tayangan-tayangan yang mengandung kekerasan seksual, dan lain-lain. 

Jika masih ada juga yang melanggar, maka negara akan memberikan sanksi yang sesuai kekerasan seksual yang dilakukan. Tindakan pengadilan/qadhi dilakukan tanpa perlu menunggu laporan dari korban. Ketika cukup bukti dan saksi, akan segera diproses oleh qadhi. Solusi kasus kekerasan yang lengkap dari hulu hingga hilir ini hanya dimiliki oleh Islam. Aturan Islam hanya dapat diterapkan secara kafah di bawah naungan khilafah.

Wallahu a'lam. []


Oleh: Vinci Pamungkas
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments