TintaSiyasi.com -- Hampir semua orang terkejut dan geleng kepala, tidak habis pikir apa gerangan yang membuat sang petahana membuat kebijakan jauh dari kata “berguna” untuk slogan pulih lebih cepat bangkit lebih kuat. Di tengah kesulitan ekonomi dan kerumitan hidup rakyat saat ini, yang seharusnya mendapatkan pelayanan lebih agar bisa pulih dan bangkit pasca Covid-19, malah ditekan dengan kebijakan kenaikan BBM. Sungguh, makin nyata keberpihakan negara ada pada siapa. Mereka tidak sepenuhnya tulus bekerja untuk rakyat, tapi demi kepentingan dan manfaat bagi kelompok mereka semata.
Dengan dalih agar subsidi tepat sasaran, selisih kenaikan akan menambah dana bansos yang dibagikan, iming-iming BLT dengan hampir 1,5juta/bulan yang menurut pembuat kebijakan akan menjaga rakyat miskin dari efek kenaikan BBM. Benarkah demikian? Tidak! Coba kita lihat, rakyat tetap hidup dalam kesulitan karena efek domino yang ditimbulkan dari kenaikan harga BBM, dan yang ada hanyalah liberalisasi sempurna pada sektor migas, yang akhirnya kesejahteraan yang dijanjikan hanya akan tinggal janji tanpa bukti.
Rakyat tidak perlu bansos, tidak perlu BLT, tidak perlu kebijakan tipu-tipu, karena rakyat sudah paham bahwa itu sifatnya seperti obat bius. Yang rakyat perlukan adalah kembalikan harta mereka, berupa kekayaan alam yang saat ini dikuasai oleh koorporasi kapitalis. Kembalikan kedaulatan rakyat dengan menghentikan kerjaan negara yang suka berutang hanya untuk membuat kebijakan tak menyelesaikan masalah rakyat. Kembalikan hak rakyat untuk mendapatkan kehidupan yang layak seperti akses pendidikan, kesehatan, keamanan, keadilan, dan pelayanan masyarakat lainnya yang terbaik dengan mudah dan murah.
Dengan begitu, rakyat akan mandiri dan bisa membangun negeri ini tanpa harus menjadi korban terus menerus, selalu dijadikan tumbal dan selalu disalahkan. Sungguh malang, nasib rakyat dalam kapitalisme.
Tidak ada asap kalau tidak ada api. Semua yang kita lihat hari ini adalah asap, hasil dari penerapan kapitalisme dalam mengatur kehidupan umat hari ini. Dalam kapitalisme, kebebasan berkepemilikan adalah sah bahkan suatu keharusan, maka tidak heran kalau kekayaan alam negeri ini bisa dimilki oleh individu atau kooporasi. Untuk memuluskan jalannya maka dibuatlah regulasi undang-undang oleh negara agar kepemilikan mereka para kapitalis menjadi legal. Dalam kapitalisme yang diterapkan negeri ini telah melahirkan undang-undang migas yang sarat dengan kepentingan koorporasi, padahal produksi migas sebagai cabang produksi yang vital yang harusnya dikuasai oleh negara, menguasai hajat hidup orang banyak, dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sudah final. Namun, nyatanya hari ini? Ironi! Hampir semua dikuasai koorporasi.
Kepemilikan dalam Islam sangat tepat untuk dijadikan dasar aturan agar perekonomian negeri ini bisa membaik. Dalam Islam, ada tiga jenis kepemilikan, pertama kepemilikan individu, kedua kepemilikan umum, ketiga kepemilikan negara. Semua jenis kepemilikan ini punya batasan yang jelas. Selain itu, dalam Islam, sumber pemasukan berasal dari kepemilikan umum, zakat, kharaj dan jizyah, dan lain sebagainya yang dikelola dengan sangat baik dan sesuai syariat.
Migas adalah sumber daya alam yang termasuk ke dalam jenis harta milik umum. Harta milik umum adalah harta yang telah ditetapkan kepemilikannya oleh Allah bagi umat dan menjadikan harta itu milik bersama. Setiap orang berhak mendapatkan manfaatnya namun dilarang memilikinya secara individu. Rasulullah bersabda bahwa “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu, padang rumput, air, dan api” yang diriwayatkan Abu Dawud dan Ahmad. Harta milik umum harus dikelola oleh negara dan menjadi sumber pemasukan Baitul Mal, di mana khalifah akan mendistribusikan kepada umat sesuai ijtihadnya.
Barang tambang termasuk migas yang jumlahnya besar merupakan harta milik umum, maka negara tidak boleh mengizinkan perorangan atau perusahaan untuk memilikinya, mengeksploitasi atau apapun, negara dalam hal ini wajib menjadi wakil dari umat untuk mengelola harta milik umum ini kemudian hasilnya digunakan untuk memelihara urusan umat. Dengan aturan seperti ini, tentu kesejahteraan akan mewujud. Tak ada jalan lain, kecuali mengganti aturan yang mengatur pengelolaan kepemilikan ala kapitalisme menjadi sistem Islam dalam institusi negara khilafah. []
Oleh: Agustina, S.Pd.
Sahabat TintaSiyasi
0 Comments