TintaSiyasi.com -- Di tengah harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi, gaji guru terancam berkurang signifikan. Sebabnya, pasal Tunjangan Profesi Guru (TPG) dikabarkan hilang dari RUU Sisdiknas yang sedang diajukan masuk Prolegnas Prioritas Perubahan 2022 ke DPR RI. Padahal, selama ini TPG dianggap cukup membantu perekonomian para guru. Kemendikbud Ristek mengakui sudah tidak memakai istilah tunjangan profesi guru pada RUU Sisdiknas, tetapi istilah tersebut diganti dengan pasal penghasilan atau pengupahan bagi para pendidik.
Walhasil, pemerintah mengklaim bahwa RUU Sisdiknas justru merupakan satu upaya agar semua guru mendapat penghasilan yang layak (Detik, 30/08/2022). Namun demikian, banyak pihak yang meminta pemerintah mengkaji ulang RUU Sisdiknas tersebut. Sejumlah organisasi guru, seperti Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), turut memberikan catatan kritis terhadap RUU itu. Bahkan, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menolak keras disahkannya RUU Sisdiknas versi Agustus 2022.
RUU Sisdiknas berusaha untuk mengintegrasikan dan mencabut UU yang berkaitan dengan pendidikan, yaitu UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen, dan UU 12/2012 tentang Pendidikan tinggi. RUU ini menuai banyak penolakan sebab draf terbaru (Agustus 2022) tidak mencantumkan penjelasan tunjangan profesi guru.
P2G menjabarkan, setidaknya terdapat enam catatan kritis terkait RUU Sisdiknas selain hilangnya pasal TPG.
Pertama, RUU ini minim melibatkan stakeholders Pendidikan, misalnya saat uji publik pada Februari 2022 yang terkesan hanya sebatas formalitas. Pasalnya, organisasi yang diundang hanya diberikan lima menit untuk menyampaikan komentar dan masukan. Padahal, partisipasi publik dalam pembentukan suatu UU itu seharusnya memenuhi hak untuk didengar, dipertimbangkan, dan mendapat penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.
Kedua, UU ini masih belum memasukkan semua UU lainnya yang berkorelasi dengan sistem pendidikan, mengingat sifatnya yang omnibus. Lebih dari 10 UU terkait yang belum masuk, seperti UU Pesantren, UU Pendidikan Kedokteran, dan lainnya sehingga P2G menganggap RUU ini sebagai omnibus law setengah hati.
Ketiga, nasibnya dikhawatirkan sama dengan UU IKN dan UU Cipta Kerja yang dikebut pembuatannya, tetapi prosesnya tidak memenuhi prasyarat partisipasi publik. RUU Sisdiknas ibarat “RUU Roro Jonggrang”, yaitu RUU dengan sistem kebut semalam langsung jadi.
Keempat, seharusnya Kemendikbud Ristek membuat Peta Jalan Pendidikan Nasional (PJPN) yang memuat rancangan besar rencana dan pengelolaan pendidikan nasional Indonesia, sebelum RUU Sisdiknas diajukan. Dengan demikian, posisi RUU Sisdiknas sekadar sebagai salah satu bagian turunan dari PJPN sebagai induknya.
Kelima, masih banyak persoalan pendidikan dan guru yang lebih urgen dibenahi ketimbang UU Omnibus ini. Contohnya, pemulihan pembelajaran pascapandemi dan learning loss. Sebanyak 50% siswa belum mencapai batas minimum kompetisi dalam literasi. Data survei Bank Dunia (2020) mengatakan bahwa pengetahuan guru dalam bahasa Indonesia dan matematika, rendah. Seharusnya penyelesaian persoalan ini diprioritaskan, sedangkan RUU Sisdiknas layak ditunda.
Keenam, RUU ini belum memberi solusi konkret untuk permasalahan guru honorer, swasta, dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Ratusan ribu guru honorer diupah tidak manusiawi, nominalnya jauh di bawah UMP/UMK. Sementara itu, tidak satu pun ada pasal yang membahas klausul tentang upah minimum guru non-ASN.
Dari catatan kritis RUU Sisdiknas, bisa kita ambil kesimpulan bahwa RUU ini masih belum menjawab persoalan mendasar pendidikan di tanah air. Prosesnya yang “kebut semalam” dan minimnya partisipasi publik menjadikan UU ini mirip UU Cipta Kerja yang makin mengikis kesejahteraan warganya. Padahal, nasib anak bangsa berada di tangan para pendidiknya. Jika pendidiknya tersibukkan dengan kerja sampingan untuk menutupi kebutuhan hidupnya, niscaya optimalisasi proses belajar mengajar akan sulit terpenuhi. Padahal, kesejahteraan bagi para guru akan sangat berpengaruh terhadap kualitas pendidikan.
Seperti kita ketahui, di tengah APBN yang terus defisit, pemerintah berupaya memangkas anggaran belanja negara. Tidak menutup kemungkinan itu pun terjadi pada sektor pendidikan. Misalnya, pemerintah sedang mengotak-atik dana pensiun PNS yang dianggap membebani APBN. Begitu pun hilangnya pasal tunjangan profesi guru pada beleid ini, bukan mustahil sebenarnya untuk mengurangi anggaran.
Terlebih, hal-hal yang menyangkut gaji atau kesejahteraan di RUU ini mengalami beberapa perubahan. Bukan hanya pasal TPG saja yang hilang, kepastian gaji honorer yang sudah lama diajukan pun malah tidak dicantumkan. Pemerintah seperti tidak mau rugi dengan memberikan gaji yang memadai pada guru yang tulus mendidik generasi. Sistem ekonomi kapitalistik menjadikan ikatan antara penguasa dan rakyatnya sebatas untung/rugi. Guru atau pendidik sekadar dimaknai sebagai buruh yang melaksanakan tugasnya, yaitu mengajar.
Pemerintah bak perusahaan besar yang mengupah para PNS sesuai prinsip swasta, yakni profit oriented. Walhasil, upahnya harus minimum agar menghasilkan profit yang maksimum. Namun, sungguh sayang, pemangkasan anggaran sepertinya tidak merata. Pada saat negara menaikkan BBM dengan dalih “subsidi adalah beban negara” atau saat tunjangan guru dihilangkan dan hak guru honorer diabaikan, pada saat yang sama, gelontoran dana untuk pejabat dan proyek-proyek mubazir malah makin melangit.
Misalnya, proyek IKN yang terus mendapat suntikan dana dari APBN, ataupun proyek penggantian gorden gedung DPR yang jumlahnya fantastis. Mirisnya, mereka tidak pernah disebut sebagai beban negara. Inilah jika kebijakannya dikendalikan korporasi. Alokasi dana yang besar hanya diperuntukkan bagi kemaslahatan korporasi dan oligarki. Saat jalan tol terus dibangun, kita turut menyaksikan fasilitas sekolah (terutama di pedesaan) jauh dari kata layak. Sudahlah upah gurunya tidak sepadan, fasilitas sekolahnya tidak memadai, kurikulum pun berbasis keinginan korporasi.
Sungguh hanya sistem pendidikan Islam yang terbukti mampu menyelaraskan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dengan target membangun peradaban cemerlang. Sebuah peradaban yang menyejahterakan sekaligus memelihara nilai-nilai luhur kehidupan. Belasan abad, umat Islam menjadi prototipe umat terbaik. Menjadi pelopor kemajuan hakiki yang menebar rahmat ke seluruh alam. Kerahmatannya tidak hanya dirasakan oleh entitas umat Islam, tetapi juga oleh umat non-Muslim, bahkan seluruh semesta alam. Keberkahan terus melingkupi kehidupan sebagaimana hujan dari langit yang membawa kebaikan.
Sistem pendidikan Islam tegak di atas pilar akidah yang kukuh. Yakni keimanan kepada Allah, Rabb Pencipta Alam. Asas inilah yang mengarahkan visi dan misi pendidikan sebagai jalan mewujudkan misi penciptaan manusia. Yakni menjadikan manusia sebagai sebaik-baik hamba Allah sekaligus khalifah di muka bumi. Pendidikan Islam bukan hanya tampak pada nama atau penyebutan nomenklatur, tetapi tampak pada seluruh aktivitas yang dilakukannya.
Islam memandang guru sebagai profesi mulia sehingga layak mendapat apresiasi yang tinggi atas pengabdiannya. Dalam buku Fikih Ekonomi Umar bin Khaththab karangan Dr. Jaribah bin Ahmad al-Haritsi dikisahkan bahwa Umar bin Khaththab memberi upah pada guru sebanyak 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas) setiap bulannya. Jika dikalkulasikan dengan harga emas saat ini, setiap bulannya setiap guru mengantongi lebih dari Rp60 juta.
Bukan hanya nominalnya yang besar, gaji ini pun dibagikan tanpa memandang status pegawai negeri atau bukan, di perkotaan atau perdesaan. Seluruh guru memiliki hak dan tugas yang sama, yaitu mendidik generasi. Negara akan menghitung dengan cermat kebutuhan guru dalam negaranya sehingga jumlah guru benar-benar disesuaikan dengan kebutuhan mengajar, bukan berdasarkan anggaran.
Bukan hanya gaji guru, para pegawai sekolah yang turut berjasa dalam proses pengajaran juga akan mendapat upah setimpal. Fasilitas sekolah akan negara berikan sesuai kebutuhan tanpa memandang desa ataupun kota. Dana riset juga akan digelontorkan demi mewujudkan generasi cerdas yang siap memimpin dunia. Tentu sistem pendidikan yang berkualitas ini ditopang oleh sistem lainnya yang diterapkan kaffah dalam bingkai khilafah. Sistem ekonomi Islam akan menjadikan Baitul Mal (kas negara) menjadi kuat.
Kurikulum, metode pembelajaran, sarana prasarana, kualifikasi guru atau pendidik, dukungan kelembagaan dan perundang-undangan, sokongan pendanaan, semuanya selaras untuk mendukung tujuan hakiki pendidikan Islam. Wajar jika pendidikan mampu menjadi pilar peradaban. Negara berparadigma Islam akan menerapkan seluruh aturan Islam secara kaffah. Mulai dari sistem politik Islam, ekonomi dan moneter Islam, pergaulan Islam, informasi dan perihal media massa Islam, hukum dan sanksi Islam, hankam, dan sebagainya. Penerapan aturan yang komprehensif inilah yang juga akan mendukung tercapainya tujuan hakiki pendidikan.
Tidak heran jika saat sistem Islam ditegakkan, peradaban Islam demikian cemerlang. Pada masa itu, lahir profil-profil generasi terbaik dan bertakwa yang bukan hanya mumpuni dalam satu dua bidang ilmu pengetahuan, tetapi memiliki multi kepakaran. Kontribusi mereka dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, juga peradaban manusia, diakui oleh kawan maupun lawan hingga pada masa sekarang.
Oleh karenanya, jangan berharap sistem pendidikan negeri ini kuat jika APBN saja masih defisit. Jangan pula berharap APBN bisa surplus dan bebas utang jika sistemnya masih kapitalisme demokrasi. Urgen untuk membuang sistem kufur tersebut dan menggantinya menjadi sistem Islam agar kesejahteraan guru dan masyarakat pada umumnya benar-benar terealisasi.
Alhasil, kehadiran RUU Sisdiknas jangan hanya dipandang sebagai penyingkiran lembaga pendidikan Islam. Kehadiran RUU sekuler ini semestinya memunculkan kesadaran bahwa dominasi sistem sekuler tidak bisa dibiarkan. Sistem rusak ini bukan hanya tidak menghendaki Islam mengatur urusan kehidupan, tetapi juga menjauhkan umat dari jalan kebangkitan. []
Oleh: Nor Faizah Rahmi, S.Pd.I
Praktisi Pendidikan & Pemerhati Remaja
0 Comments