TintaSiyasi.com -- Seperti inilah kondisi masyarakat saat diterapkan sistem sekuler. Individu-individunya terbentuk menjadi individu yang egois dan nirempati. Bukankah Indonesia menganut sistem demokrasi Pancasila? Apapun variannya, demokrasi tetaplah anak dari sekularisme. Berbagai kebijakan dilahirkan atas pertimbangan untung rugi. Sistem sekuler pula yang menganggap subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) membebani APBN hingga wajib dihapus. Mungkin, para elit di negeri ini menganggap rakyat Indonesia begitu kuat dan tahan banting.
Aksi unjuk rasa menolak kenaikan harga BBM di kawasan Patung Kuda Arjuna Wijaya, Jakarta Pusat pada Kamis (8/9/2022) berujung kecewa. Massa gabungan dari Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) tersebut menerobos kawat berduri di Jalan Merdeka Barat. Mereka merangsek maju menuju kawasan Istana Merdeka hendak menemui Jokowi. Sayangnya, Presiden RI tersebut justru pulang melalui pintu belakang. Mungkin, Presiden Jokowi tak lagi rindu didemo.
Tawa di Atas Luka
Dikutip dari megapolitan.kompas.com, Deputi Bidang Protokol, Pers dan Media Sekretariat Presiden Bey Machmudin mengatakan, apa yang dilakukan Jokowi merupakan bentuk penghormatan peserta aksi demonstrasi. Presiden Jokowi memilih jalan yang tidak digunakan untuk aksi unjuk rasa (9/9/2020). Narasi tampak terbalik. Tidakkah pihak istana berpikir, sikap mereka berarti ingin menutup telinga dan menghindari massa? Apatah lagi, tidak ada satupun perwakilan istana yang menemui peserta aksi.
Sehari sebelumnya, viral anggota DPR RI beserta undangan Rapat Paripurna semringah memperingati hari kelahiran Ketua DPR RI, Puan Maharani (7/8/2022). Lagu ‘Selamat Ulang Tahun’ dari dalam Gedung DPR RI akhirnya menggema seantero jagad maya. Di saat bersamaan, gedung DPR RI dikepung para demonstran memprotes kenaikan harga BBM. Di dalam gedung justru memutar musik ala Jamrud yang disambut tepukan tangan dan tawa ria. Sungguh, ulah para pejabat negeri ini terasa nirempati merespon adanya aksi demonstrasi.
Padahal, publik sempat tersenyum melihat aksi walk out fraksi PKS sebagai bentuk protes kenaikan harga BBM. Setidaknya, hal tersebut memunculkan asa, masih ada wakil rakyat yang peduli nasib wong cilik. Namun, senyum itu tiba-tiba sirna melihat aksi nirempati anggota DPR RI yang lain dari dalam gedung. Tidakkah mereka berpikir, apa yang mereka lakukan sedang mengolok-olok rakyat? Sungguh tega, mereka masih bisa tertawa renyah di saat rakyat menahan perihnya luka yang tak berdarah.
Netizen pun heboh membandingkan reaksi Ibu Puan saat kenaikan harga BBM di era SBY. Saat itu, ia menangis. Kini, ia masih bisa tertawa saat harga BBM naik hingga 30%. Padahal, sebagai Ketua DPR RI bisa saja menghentikan perayaan tersebut kemudian mendatangi peserta demo. Bahkan, jika itu dilakukan, bisa booming dan menaikkan elektabilitas. Seperti diketahui, Puan Maharani akan bertarung dalam perhelatan Pilpres 2024. Namun, hal tersebut tidak dilakukan. Tampaknya, ada hal yang lebih besar dibanding menaikkan elektabilitas.
Meski Puan tidak menemui para demonstran, Puan mengaku mendengar aspirasi masyarakat. Ia pun meminta kepada pemerintah agar jangan membuat kebijakan yang menyusahkan rakyat. Sebelumnya, Jokowi juga sempat mengatakan, tidak akan ada kenaikan harga BBM sampai akhir tahun 2022. Jika benar, DPR dan pemerintah tidak menginginkan kenaikan harga BBM, siapa kiranya pihak yang menghendaki kebijakan tersebut?
Pulih Lebih Lambat
Sikap-sikap yang ditunjukan pejabat negeri ini seolah mengonfirmasi, keputusan menaikkan harga BBM bersifat final dan tak bisa diganggu gugat. Rasanya, tema HUT RI ke-77 ‘Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat’ cuma slogan semata. Baru saja rakyat Indonesia memperingati HUT Kemerdekaan RI. Pemerintah justru memberi kado pahit yang menjadikan kondisi ekonomi rakyat ‘Pulih Lebih Lambat’. Terbersit sebuah pertanyaan, seberapa besar rasa cinta para pejabat negeri ini kepada rakyatnya?
Keputusan pemerintah mencabut subsidi dan menaikan harga BBM sangat melukai hati rakyat. Saat ini, kondisi ekonomi rakyat masih labil. Meluapnya pengangguran akibat pandemi urung teratasi. Rasanya, baru kemarin rakyat bergulat dan berpeluh menghadapi polemik kenaikan harga minyak goreng. Para emak semakin kesulitan mengatur keuangan agar dapur tetap mengepul. Disaat bersamaan, banyak Usaha Kecil Menengah (UKM) terpaksa gulung tikar menghadapi situasi ini. Tidakkah kondisi ini dilihat oleh pemerintah?
BBM merupakan salah satu kebutuhan vital bagi rakyat. Menaikan harga sedikit saja bisa mempengaruhi harga kebutuhan pokok lainnya. Apatah lagi, menaikkan harga sampai 30%? Para emak yang berjualan online kian lesu karena jasa pengiriman barang naik. Angka pengangguran dan tingkat depresi meningkat. Sementara rakyat ingin healing menghilangkan depresi, ongkos transportasi umum sudah naik yang pada akhirnya turut meningkatkan angka kriminalitas. Sementara yang mengalami penurunan adalah daya beli dan pendapatan masyarakat.
Sebaik-baik Pemimpin
Jika pemerintah tak lagi mampu menjalankan fungsi menjamin kebutuhan rakyat, maka berharap kepada siapa rakyat ini? Empati para pejabat negeri ini sepertinya terkikis. Mereka tampak manis di depan kamera, tapi begitu banyak kebijakan yang semena-mena. Kebijakan yang lahir bukan demi kesejahteraan rakyat tapi demi kesejahteraan konglomerat. Kondisi saat ini menunjukan, banyaknya partai tak berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat. Banyak partai cenderung memilih berkoalisi mengamankan ‘kursi’. Sementara rakyat cukup gigit jari.
Menjadi penguasa ataupun pejabat negara itu tak mudah. Ada beban berat di pundak mereka yaitu mengurus hajat hidup seluruh rakyat. Anehnya, banyak manusia justru berlomba-lomba, saling sikut dan menjatuhkan orang lain demi duduk di ‘kursi panas’. Saat hendak pemilihan presiden ataupun pemilihan legislatif, bermunculan sosok-sosok yang tampak terdepan membicarakan nasib rakyat kecil. Namun, pada akhirnya mereka terjerat dengan tipu daya oligarki dan menjadikan rakyat terkhianati.
Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik pemimpin adalah mereka yang kamu cintai dan mencintai kamu, kamu berdoa untuk mereka dan mereka berdoa untuk kamu. Seburuk-buruk pemimpin adalah mereka yang kamu benci dan mereka membenci kamu, kamu melaknati mereka dan mereka melaknati kamu” (HR Muslim).
Layakkah penguasa negeri ini disebut sebaik-baik pemimpin? Seberapa besar cinta rakyat Indonesia kepada pemimpinnya? Sebaliknya, seberapa besar cinta pemimpin dan pejabat negeri ini kepada rakyatnya? Miris. Cinta pemimpin dan pejabat negeri ini belum tampak. Satu per satu kebijakan yang digulirkan justru menciptakan tangis rakyat. Sebaliknya, rakyat mulai sering memaki serta mendoakan keburukan kepada penguasa rezim. Lalu, bagaimana negeri ini bisa beberkah jika tak ada cinta antara penguasa dan rakyatnya?
Kondisi saat ini tidak akan terjadi jika Islam diterapakan menyeluruh. Kita bisa melihat sejarah, bagaimana Islam berhasil melahirkan pemimpin-pemimpin yang sangat tawadhu tapi sangat memperdulikan urusan umatnya. Para Khulafaur Rasyidin merupakan sosok pemimpin setelah Nabi Muhammad SAW yang paling takut kepada hari pembalasan. Hingga kebijakan yang dibuat selalu mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah. Semoga akan muncul lagi sosok seperti mereka yang siap menerapkan Islam secara kaffah. Amin.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Ikhtiyatoh, S.Sos
Pemerhati Sosial dan Politik
0 Comments