TintaSiyasi.com -- "Kalau bisa, jangan menyerang!" Kalimat ini disampaikan Kominfo pada hacker bernama Bjorka yang menjual data pribadi masyarakat Indonesia yang berjumlah 1,3 miliar. Melalui pesan ini kominfo berharap agar hacker tersebut berhenti melakukan aksinya layaknya teriakan Dora kepada Swiper. Dalam animasi Dora the Explorer, Dora sering mengatakan, "Jangan mencuri!" untuk menghentikan aksi pencurian swiper (suara.com, 5/9/2022).
Seperti yang banyak diberitakan, telah terjadi kebocoran data SIM Card. Data tersebut diperjualbelikan di forum melalui seorang pengguna bernama Bjorka. Data yang disebut bocor berukuran 87 GB dengan berisi 1,3 miliar pendaftar. Kebocoran data diduga terjadi sejak 2017 (money.kompas.com, 1/9/2022).
Pada Oktober 2017, pemerintah dalam hal ini Kementerian Kominfo mewajibkan kepada pelanggan seluler lama, khususnya prabayar untuk melakukan pendaftaran. Menggandeng Dukcapil, pelanggan diwajibkan mendaftarkan nomor seluler yang divalidasi dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan nomor Kartu Keluarga (KK).
Alih-alih bertanggung jawab penuh dalam memperketat keamanan data registrasi SIM card prabayar, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) justru meminta masyarakat menjaga data pribadi masing-masing agar tidak bocor. Pengamat keamanan siber mengkritisi pernyataan tersebut. "Dalam kasus kebocoran data registrasi nomor seluler jelas masyarakat tidak bisa disalahkan. Dari mana para peretas mendapatkan data jutaan sampai miliaran, kan tidak mungkin meretas satu persatu penduduk Indonesia," ujar Chairman CISSReC Pratama Persadha (inet.detik.com 8/9/2022).
Dugaan kasus kebocoran data tidak hanya sekali ini terjadi. Sebelumnya, telah terjadi kasus kebocoran data masyarakat. Pada 19 Agustus lalu, data pengguna PLN sebanyak 17 juta bocor. Kemudian, dugaan kebocoran data IndiHome pada 21 Agustus. Yang terbaru adalah bocornya 1,3 miliar data registrasi SIM card prabayar. Ini artinya dalam sebulan terjadi 3 kasus kebocoran data. Bila merunut ke belakang, 10 kasus kebocoran data telah terjadi dalam dua tahun terakhir ini (grafis.tempo.co, 8/9/2022).
Angka tersebut bukanlah sedikit. Apalagi data pribadi masyarakat adalah sesuatu yang penting dan tidak untuk konsumsi publik. Tentu ini bukanlah sesuatu hal yang bisa dianggap wajar. Kementerian yang menghabiskan anggaran belasan triliun ini ternyata tidak bisa menjamin penjagaan data masyarakat. Sungguh menyedihkan!
Kepercayaan masyarakat pada lembaga pemerintahan ini sudah hilang. Lini masa media sosial dibanjiri oleh celetukan warganet yang kesal dengan pernyataan Kominfo dalam merespon kebocoran data masyarakat. Banyak di antara warganet yang justru berpihak pada para hacker dibanding berpihak pada Kominfo. Di antara mereka bahkan menyarankan jika yang dibutuhkan hacker adalah uang, maka curilah data koruptor. Mereka juga menyarankan agar hacker mencuri data-data kenegaraan yang lain agar pemerintah juga pusing dan bukan hanya rakyat yang dibikin pusing.
Pemerintah seolah lepas tangan. Dengan meminta masyarakat menjaga data pribadinya masing-masing menunjukkan bahwa negara lalai dalam menjalankan tugasnya melindungi seluruh rakyatnya. Negara harus bertanggung jawab terhadap keamanan seluruh rakyat, termasuk data pribadi mereka. Negara harus bergerak cepat mencari pelaku dan memberikan hukum yang tegas agar pelanggaran semacam itu tidak terus berulang.
Penjagaan negara terhadap jaminan keamanan data masyarakat harusnya berjalan secara optimal. Karena data pribadi masyarakat yang bisa didapatkan dengan mudah akan menimbulkan pemanfaatan-pemanfaatan yang tentu merugikan si pemilik data. Data pribadi tersebut dapat dimanfaatkan untuk membobol rekening keuangan, penyalahgunaan berbentuk penipuan pinjaman online (pinjol) ilegal, digunakan untuk memetakan profil pemilik data (misalnya untuk keperluan politik atau iklan di media sosial), dan juga bisa digunakan untuk berbagai modus pemerasan secara online.
Tidak mengherankan bila ini banyak terjadi dalam sistem yang sekuler seperti sekarang. Paradigma kapitalisme yang lebih mementingkan materi menjadikan manusia abai terhadap aturan agama. Menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan adalah standar bakunya. Akibatnya, pelanggaran terhadap norma, khususnya agama pun terjadi.
Ini bertolak belakang dengan sistem Islam. Dalam Islam, negara betul-betul menjaga keamanan data rakyatnya. Lewat Departemen Keamanan Dalam Negeri, kerahasiaan data individu akan dijaga ketat. Negara akan memfasilitasi hal ini dengan sistem keamanan yang canggih dan mekanisme yang andal sehingga data tersebut aman dari serangan siber. Membocorkan data pribadi adalah bentuk kejahatan layaknya mencuri yang akan ditindak tegas oleh negara. Terlebih jika data tersebut dimanfaatkan untuk merampas harta orang lain, bahkan sampai menghilangkan nyawa. Pelaku yang membocorkan atau menjual data pribadi seseorang akan mendapatkan sanksi hukum yang ditetapkan oleh kadi.
Negara tidak akan main-main dalam menjamin keselamatan dan keamanan rakyatnya. Setiap celah yang memungkinkan terjadinya kejahatan siber dan kriminal lainnya akan ditutup oleh negara. Dengan sistem hukum yang tegas, setiap tindak kejahatan akan diberi sanksi yang setimpal sesuai syariat. Negara berada di garda terdepan dalam penegakan hukum Islam secara adil. Dengan begitu, rakyat akan merasa bahwa negara benar-benar memberikan perlindungan dan penjagaan sehingga kepatuhan pada aturan yang berlaku dapat terwujud. Mereka yakin bahwa aturan yang diterapkan dapat dipercaya dan membawa kebaikan untuk seluruh rakyat.
Inilah yang terjadi jika negara berjalan dengan aturan Islam sebagai dasarnya. Negara Khilafah Islamiah yang menerapkan syariat Islam secara kaffah akan menjadi pelindung dan pengurus seluruh urusan rakyatnya. Negara seperti inilah yang diperintahkan oleh Allah dan disabdakan oleh Rasulullah SAW karena ada keberkahan luar biasa di dalamnya. Kita tentu mengharapkan kebaikan darinya bisa terwujud. Maka, berjuang untuk menegakkannya kembali adalah sebuah cita-cita yang agung dan kewajiban yang mulia.
Wallahu a’lam bishshawab. []
Oleh: Zakiyaturrohmah
Sahabat TintaSiyasi
0 Comments