Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Sengkarut Kenaikan Harga BBM Bersubsidi, Bisakah BLT Menjadi Solusi?


TintaSiyasi.com -- Wacana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada awal bulan September ini terus menjadi perbincangan. Sinyal kenaikan harga BBM jenis Pertalite dan Solar ini makin tak terelakkan lagi.

Selain sebagai penyesuaian mengikuti tren kenaikan harga minyak dunia, subsidi BBM tersebut dinilai lebih banyak dinikmati oleh orang kaya. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani saat konferensi pers Tindak Lanjut Kebijakan Subsidi BBM. Tambahnya lagi, subsidi dan kompensasi BBM dapat mencapai lebih dari Rp698 triliun sampai akhir 2022 dan ini membebani APBN (wartaekonomi, 26/8/2022).

Rupanya, pemerintah makin serius mengambil opsi mengurangi subsidi Pertalite dan Solar ini dengan mulai menyalurkan bantuan sosial (bansos) tambahan bagi masyarakat. Bantuan Langsung Tunai (BLT) ini mulai cair pada tanggal 31 Agustus 2022 dan diberikan kepada 20,6 juta masyarakat penerima manfaat dengan besaran total Rp 600.000. Apakah solusi BLT ini dapat mengimbangi dampak kenaikan BBM?


Efek Domino Kenaikan BBM

BBM merupakan salah satu komoditas pokok bagi masyarakat. Kenaikan BBM dapat memicu lonjakan inflasi. Harga barang-barang kebutuhan pokok bisa mengalami peningkatan. Hal ini bisa menghantam kembali daya beli dan konsumsi masyarakat yang sedang berada dalam pemulihan pascapandemi. Kenaikan harga BBM pun pada akhirnya akan mengganggu perekonomian nasional.

Selain itu, kalangan dunia usaha pun seperti sektor UMKM akan terkena imbas kenaikan harga BBM bersubsidi. Pun, terhadap usaha kecil informal yang seringkali tidak tersentuh program bantuan sosial pemerintah. Selama ini, usaha yang mereka jalankan sangat bergantung pada BBM bersubsidi.

Dengan kata lain, kenaikan BBM bersubsidi akan menciptakan efek domino di tengah masyarakat. Kolapsnya sektor usaha menengah ke bawah. PHK pun tak terelakkan. Pengangguran smakin meningkat. Angka kemiskinan makin parah. Pertumbuhan ekonomi nasional pun bisa melambat. 

Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat mengatakan bahwa penyaluran BLT yang dilakukan pemerintah dinilai tidak sebanding dengan besarnya dampak yang akan ditimbulkan. Paling hanya bisa meredam dampak yang timbul untuk waktu sementara dengan nilai yang tidak signifikan (wartaekonomi, 31/8/2022).

Jadi, dalih penghematan dari pengurangan subsidi BBM dinilai tidak sebanding dengan efek domino yang dihasilkan. Justru nyatanya rakyat akan makin menderita.


Liberalisasi Migas

Kenaikan harga BBM hanya tinggal menunggu waktu saja. Pemerintah mengiming-imingi masyarakat dengan bansos BLT untuk meredam gejolak di tengah-tengah mereka. Ini sudah menjadi jurus pemerintah sejak lama dalam mengatasi sengkarut kenaikan BBM selama ini.
Padahal, jika ditelaah secara mendalam, kenaikan harga BBM yang terus berulang terjadi disebabkan oleh adanya liberalisasi pada sektor minyak dan gas (migas). Dengan adanya Undang-Undang Migas, liberalisasi usaha migas dari hulu sampai ke hilir semakin masif. UU ini membuka akses bagi swasta maupun asing untuk masuk dalam pengelolaan migas, termasuk penjualan BBM kepada rakyat. Bermuncullah SPBU-SPBU asing non-Pertamina. Pertamina tak lagi menjadi pemain utama dalam pengelolaan industri hulu migas di Tanah Air. 

Di sektor hilir dilihat dari harga BBM yang sudah dilepas ke harga pasar. Ketika terjadi kenaikan harga minyak mentah dunia, akhirnya negara importir seperti Indonesia mengambil solusi menaikkan harga BBM juga, dengan dalih penghematan APBN. Alhasil, subsidi pun perlahan dicabut. Inilah kondisi yang diinginkan para investor asing. SPBU mereka akan bersaing secara bebas dengan SPBU Pertamina sehingga bisa mendapat keuntungan secara maksimal.

Beginilah akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang memberlakukan liberalisasi ekonomi dan persaingan bebas. Negara hanya bertindak sebagai regulator atas para kapitalis yang ingin mengeksploitasi kekayaan negeri ini. Sedangkan rakyat yang seharusnya mendapatkan pelayanan malah dijadikan objek dagang.


Kembali pada Tata Kelola Islam

Minyak dan gas merupakan kepemilikan umum. Dalam Islam, negara wajib mengelola minyak dan gas secara mandiri. Haram hukumnya jika pengelolaannya diserahkan kepada swasta ataupun asing.

Sebagaimana hadis Rasulullah SAW, "Kaum Muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, api, dan padang gembalaan" (HR. Abu Dawud).

Hasil pengelolaan sumber daya alam migas ini akan dikembalikan kepada rakyat untuk kemaslahatannya. Penyalurannya haruslah merata ke seluruh masyarakat baik kaya maupun miskin, baik Muslim maupun non-Muslim. Negara tidak boleh mengambil untung dari pengelolaan dan pendistribusian tersebut. Rakyat baik yang miskin dan kaya hanya memberikan harga atas minyak sesuai dengan biaya operasional (produksi).

Oleh karena itu, jika pengelolaannya diatur oleh sistem Islam (khilafah), niscaya sengkarut kenaikan BBM ini bisa diatasi. Rakyat akan mendapatkan kebutuhan energi dengan biaya yang murah bahkan gratis. 

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Lussy Deshanti Wulandari
Pemerhati Umat
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments