Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pembajakan Potensi Pemuda oleh KapitalismeAtas Nama ‘Pembangunan’ di Era RI 4.0


TintaSiyasi.com -- Narasi pelibatan pemuda dalam pembangunan telah disuarakan lebih dari satu dekade sebelumnya. PBB di tahun 2010 membentuk Youth 20 (Y20) guna menfasilitasi para pemuda sebagai pemimpin masa depan untuk meningkatkan kesadaran terhadap permasalahan global, bertukar ide, berargumen, bernegosiasi, hingga mencapai konsensus. Sejak tahun tersebut hingga hari ini, keterlibatan pemuda dalam pembahasan berbagai isu dunia senantiasa marak. Sebut saja yang terbaru di KTT Youth 2022 Indonesia, ada 4 isu strategis yang diangkat, yaitu ketenagakerjaan pemuda, transformasi digital, planet yang berkelanjutan (perubahan iklim) serta keberagaman dan inklusi.

Perhatian PBB atas pemuda rupanya didasari pada potensi demografi kaum muda yang akan mengalami surplus dari 2020-2030. Dalam dokumen PBB mengenai Youth 2030 dinyatakan bahwa 90% dari total 1.8 miliar pemuda dunia, berada di negara berkembang. Untuk Indonesia sendiri, -berdasar prediksi Mckinsey Global Institute- akan memiliki bonus demografi pada tahun 2030 nanti, dimana penduduk usia produktif akan berjumlah dua kali lipat dari penduduk usia tua atau usia bayi. Hal ini berkebalikan dengan yang terjadi di Amerika Serikat, Australia, negara-negara Eropa, serta negara-negara maju lainnya. 

Kehadiran kaum muda di tengah disrupsi teknologi yang begitu luar biasa, menemukan momentum. Sebagai subyek dengan literasi teknologi lebih dibanding generasi pendahulunya, banyak pihak menyatakan bahwa era ini adalah eranya pemuda. Presiden Jokowi 4 tahun silam ketika membuka Acara Young on Top National Conference 2018, di Jakarta telah  meminta para pemuda mengikuti perkembangan teknologi yang bergerak sangat cepat ini agar bisa mengambil banyak peluan. Pemuda didorong produktif berkarya, memiliki ide-ide brilian atau gagasan besar untuk kemajuan pembangunan. Akankah pemuda semakin berdaya di era revolusi industri 4.0? 


Indonesia Menuju Industri 4.0

Awal April 2018, Presiden Jokowi telah meluncurkan Making Indonesia 4.0 sebagai sebuah roadmap (peta jalan) yang terintegrasi untuk mengimplementasikan sejumlah strategi dalam memasuki era industri 4.0. Menperin menjelaskan selain sebagai inisiatif strategi, peta jalan tersebut juga menjadi agenda nasional, yang salah satu tujuannya untuk merevitalisasi sektor manufaktur nasional melalui pemanfaatan teknologi industri 4.0. Langkah ini diyakini membuat produksi industri semakin efisien dan berkualitas sehingga bisa lebih berdaya saing global.

Di tahun 2025, industri ditargetkan mampu berkontribusi pada PDB nasional sebesar USD133 miliar. Sasaran ini akan di dukung dengan 185 juta penduduk yang telah memiliki akses internet, terbesar ke-4 di dunia. Disamping itu, Indonesia merupakan pemain ekonomi digital dan industri 4.0 tercepat di Asia tenggara. Apalagi, saat ini Indonesia memiliki sebanyak 2.193 startup, kelima terbesar di dunia. Dari jumlah tersebut, Indonesia telah memiliki lima unicorn dan satu decacorn. Menperin menuatakan hal Ini adalah bagian dari kekuatan Indonesia dalam menuju industri 4.0 yang berbasis riset dan inovasi.

Saat pembukaan Hannover Messe 2021 Digital Edition, Presiden Jokowi menegaskan tiga hal utama dalam mengimplementasikan peta jalan Making Indonesia 4.0.

Pertama, penguatan SDM industri 4.0. Indonesia akan memiliki bonus demografi yang perlu dioptimalkan agar mampu menghadapi teknologi masa depan, seperti big data, artificial intelligence, dan internet of things. Untuk meningkatkan kompetensi SDM Indonesia, beberapa strategi-nya melalui pengembangan pendidikan vokasi, penguatan riset, dan penguatan universitas berbasis teknologi. Indonesia telah merombak kurikulum pendidikannya dengan lebih menekankan pada Science, Technology, Engineering, Arts, dan Mathematics (STEAM), menyelaraskan kurikulum pendidikan nasional dengan kebutuhan industri di masa mendatang dan sekaligus memperbaiki program mobilitas tenaga kerja global untuk memanfaatkan ketersediaan SDM dalam mempercepat transfer kemampuan.

Kedua, menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi industri 4.0. Salah satunya melalui penerbitan UU Cipta Kerja yang akan mempermudah izin usaha dan memberikan kepastian hukum.

Ketiga, investasi pada pembangunan hijau. Menurut World Economic Forum, potensi ekonomi hijau atau pembangunan hijau sangat besar. Peluang bisnisnya sebesar USD10,1 triliun dan menciptakan sebanyak 395 juta lapangan pekerjaan baru hingga tahun 2030. Menurut Kepala Negara, terkait pembangunan hijau, berbagai terobosan telah dilakukan di Indonesia. Misalnya, pembangunan Bio atau green diesel dari kelapa sawit dan pemasangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap di sektor rumah tangga. Di saat yang sama, lanjut Presiden, Indonesia siap berkontribusi pada energi masa depan dengan mengembangkan pengolahan biji nikel menjadi baterai lithium sebagai komponen utama baterai ponsel maupun mobil listrik.


Revolusi Industri 4.0: Alat Penjajahan Kapitalisme

Sebagaimana telah terbukti pada Revolusi Industri 1, 2, dan 3 sebelumnya, bahwa negara berkembang tak banyak menjadi pemain. Teknologi negara berkembang merupakan teknologi “second” jika dibandingkan dengan negara–negara maju. Tak heran jika sebagian besar negara berkembang hanya menjadi objek pasar produk negara-negara maju karena adanya monopoli teknologi. Jika daya tarik investasi negara berkembang hanya dari buruh murah dan pangsa pasar, maka selamanya kemajuan teknologi akan menjadi alat penjajahan gaya baru negara maju terhadap negara berkembang. 

Industri 4.0 diprediksi akan mampu meningkatkan produktivitas di bidang manufaktur karena kecepatan teknologi yang dapat menggantikan kinerja manusia dengan eror yang kecil. Ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan, dampak negatifnya juga telah membayangi banyak negara terutama negara berkembang. Krishnamurthy Ramanathan, a former director of the Asian and Pacific Center for Transfer of Technology (APCTT), mengatakan bahwa banyak bagian dari negara berkembang saat ini tidak memiliki kapasitas produksi yang memadai dan bergantung pada tenaga kerja murah untuk menarik investasi asing. Hal ini berarti akan banyak dari negara-negara berkembang, yang sudah berjuang dengan manufaktur dan sangat bergantung pada pekerjaan yang dialihdayakan, akan jatuh lebih jauh ke belakang. 

Sebuah laporan baru dari Citi dan Oxford Martin School yang dipublikasikan pada tahun 2015 menyatakan tentang berbagai dampak yang akan terjadi sebagai akibat dari otomatisasi pekerjaan di negara-negara dan kota-kota di seluruh dunia, dalam waktu dekat dan beberapa dekade mendatang. Dalam laporan tersebut dijelaskan bahwa risiko otomatisasi kerja di negara berkembang, diperkirakan berkisar dari 55% di Uzbekistan hingga 85% di Ethiopia, dengan sebagian besar pekerjaan berada di tingkat tinggi. Risiko otomatisasi di negara-negara berkembang utama termasuk Cina dan India (masing-masing 77% dan 69%). Dampak otomatisasi mungkin lebih mengganggu bagi negara berkembang, karena tingkat permintaan konsumen yang lebih rendah dan jaring pengaman sosial yang terbatas. Dengan otomatisasi dan perkembangan dalam pencetakan 3D yang cenderung mendorong perusahaan untuk memindahkan manufaktur lebih dekat ke rumah, negara-negara berkembang berisiko 'de-industrialisasi dini'.

Organisasi Buruh Internasional (ILO) memproyeksikan Indonesia, Filipina, Thailand, Vietnam dan Kamboja akan memindahkan 56% pekerjaan ke otomatisasi pada beberapa dasawarsa mendatang. Sedangkan 54% pekerja Malaysia terancam kehilangan pekerjaan. Semuanya tampak suram.


Pemuda Muslim dalam Jeratan Industrialisasi Kapitalis

Bonus demografi yang terjadi di negeri-negeri Muslim merupakan pangsa pasar menggiurkan sekaligus pasokan tenaga kerja melimpah. Dalam kacamata kapitalisme, tentu saja setiap peluang yang ada akan dipandang sebagai penguat ekonomi dan eksistensi ideologinya. Apabila dua tiga pulau bisa terlampaui dengan sekali dayung, mengapa tidak? Pemberdayaan pemuda terutama pemuda Muslim dalam industri 4.0 tidak bisa dilepaskan dari grand strategy yang mereka rancang agar sejalan dengan kepentingan kapitalisme. Setidaknya, terdapat 3 jeratan kapitalisme dengan desain industrialisasi yang semakin menjauhkan pemuda Islam dari identitasnya yaitu:

Pertama. Serangan life style (gaya hidup) dan eksploitasi sumber daya ekonomi.

Hukum Pasar Say, yang merupakan pemikiran Jean-Baptiste Say mengatakan penawaran menciptakan permintaan. Karena itulah kenapa industri menjadi serakah untuk selalu berproduksi baik siang ataupun malam. Agar produk tersebut laku maka dibuatlah iklan yang masif dalam seluruh bentuk media untuk menarik minat konsumen. Dari sinilah bermula gaya hidup konsumerisme. 

Pemuda dengan keberaniannya, penuh inisiatif, kreativitas, serta melek teknologi merupakan sumber daya ekonomi potensial. Dengan seluruh potensi yang dimiliki, pemuda dapat menjadi pelaku ekonomi kreatif, penghasil karya sekaligus bisa mempromosikan dan memasarkan karyanya di berbagai media terutama media sosial. Pemuda juga dapat menjadi influencer sekaligus mengedukasi antar sesamanya tentang trend fashion, pergaulan, hingga visi hidup. Fenomena “Citayam Fashion Week” (CFW) tampaknya cukup mewakili potret serangan life style, pemikiran liberal dan eksploitasi pemuda atas nama ekonomi.

Kedua. Pemuda aset  industri (tenaga kerja).

Pemuda butuh pekerjaan untuk memenuhi gaya hidup ala kapitalisme. Jenis profesi dan di perusahaan apa bekerja juga menjadi gengsi dan indikator keberhasilan seorang pemuda. Adanya komersialisasi pendidikan yang berdampak pada biaya pendidikan yang mahal membuat para pemuda berorientasi meraih gaji yang tinggi sebagai pengganti biaya pendidikan. Namun konsep gaji kapitalisme luput dari perhatian para pemuda. Kapitalisme memandang tenaga kerja adalah input produksi, maka berlaku hukum biaya sekecil mungkin. Sehingga gaji yang diterima pekerja pun hanya standar UMR. Kalaupun menurut mereka besar, maka itu hanya sekedar mencukupi nafsu konsumerisme.

Ketiga. Pemuda menjadi conveyor belt (sabuk penguat) industrialisasi.

Agar barang-barang yang sudah diproduksi bisa laku terjual, maka korporasi mendesain pemasaran yang mampu "menyihir" masyarakat untuk membeli. Bahkan korporasi telah menggandeng intelektual melahirkan terobosan baru agar pemasaran dan iklan bisa efektif. Yaitu dengan Neuromarketing yang merupakan sebuah ide revolusioner dalam ilmu ekonomi yang menggabungkan beberapa disiplin ilmu seperti ilmu saraf, psikologi dan ekonomi (khususnya pemasaran). Hal itu dimanfaatkan oleh korporasi untuk endorsement produk mereka. Industri memanfaatkan popularitas dan fanatisme untuk menciptakan kesadaran semu bahwa kebahagiaan dan kenyamanan mampu didapatkan dari produk-produk yang mereka iklankan.


Pemberdayaan Islam terhadap Pemuda 

Sungguh, paradigma penguasa dan pembangunan sekuler kapitalistik telah menjauhkan pemuda dari posisi strategisnya sebagai motor peradaban. Bahkan paradigma ini telah membajak potensi pemuda untuk kepentingan mengukuhkan penjajahan kapitalisme global, khususnya di dunia Islam. Mereka hanya diarahkan menjadi sekrup mesin pemutar roda industri kapitalis, sekaligus menjadi objek pasar bagi produk yang dihasilkan. Fesyen, barang-barang konsumsi, produk hiburan dan permainan, semua dipropagandakan sebagai alat meraih kebahagiaan dan prestasi. Hal ini sejalan dengan pengarusan produk pemikiran yang mengubah mindset kaum muda menjadi kian cinta dunia. Hingga pada saat yang sama hilanglah kecintaan akan agama dan perjuangan membangkitkan umatnya. Padahal dalam konteks perang peradaban yang senyatanya sedang terus berjalan, kondisi ini tentu sangat diharapkan oleh musuh-musuh Islam.

Oleh karena itu, para pemuda harus segera diselamatkan. Namun, berharap pada penguasa sekuler dan sistem yang diterapkannya tentu bukan pilihan. Justru keduanya bertanggung jawab atas hilangnya kekuatan dan potensi yang ada pada kaum muda. Padahal, melalui tangan merekalah peradaban cemerlang diharapkan bisa kembali ke pangkuan umat Islam. Langkah penyelamatan yang bisa kita lakukan: 

Dakwah mengubah mindset tentang hidup dan hakikat Islam sebagai solusi shahih bagi seluruh problem kehidupan. Tentu bukan hanya menyasar kepada kalangan pemuda, tetapi kepada semua kelompok masyarakat agar mereka siap menerima Islam dengan penuh keyakinan, sekaligus siap memperjuangkan hingga menuntut perubahan tegaknya kehidupan Islam dibawah naungan khilafah yang meriayah. 

Melakukan kontak-kontak masif kepada keluarga muslim, para pemuda dan tokoh berpengaruh yang bersentuhan dengan pemuda tentang mindset pemberdayaan pemuda secara shahih berdasar Islam, sekaligus menanamkan kewaspadaan akan bahaya arah pemberdayaan pemuda yang diaruskan hari ini. 

Menyiapkan dan memperkuat profil keluarga pengemban dakwah sebagai pusat pemikiran Islam sekaligus promotor dan influencer cara pandang dan cara hidup Islam melalui mekanisme yang dapat dilakukan oleh qiyan fikr; jamaah dakwah. 

Memperkuat kualitas syakhsiyah Islam para pengemban dakwah melalui pembinaan sehingga melahirkan outcome yang kuat dan tangguh serta ikhlas dalam menapaki jalan perjuangan mengembalikan kemuliaan Islam. 

Secara spesifik, kaum Muslim terutama pengemban dakwah dipahamkan pula mengenai pandangan yang lurus tentang perkembangan dan kemajuan teknologi termasuk revolusi industri sehingga dapat bersikap secara tepat. Pada saat khilafah tegak, revolusi teknologi akan dikendalikan sebagai penguat peradaban Islam, bukan malah menjadi sumber kehancuran umat. Hasbunnallah wa ni'mal wakil ni'mal maula wa ni'mannashiir. []


Oleh: Yuyun Pamungkas
Aktivis Muslimah
 
Referensi:
- https://muslimahnews.net/2022/07/19/8984/ 
- https://muslimahnews.net/2022/01/11/625/ 
- https://www.kemenperin.go.id/artikel/22466/Industri-4.0-Wujudkan-Indonesia-Jadi-Top-10-Ekonomi-Global-Tahun-2030
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments