Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Menyoal Kota Layak Anak dan Kasus Kekerasan terhadap Anak (Dalam Perspektif Islam)


TintaSiyasi.com -- Sebanyak 320 kabupaten atau kota di Indonesia pada tahun 2022 ini mendapatkan penghargaan sebagai Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA). Penghargaan tersebut diberikan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). Selain itu, penghargaan juga diberikan kepada delapan provinsi yang berhasil mewujudkan Provinsi Layak Anak (PROVILA). Menteri PPPA berharap bahwa adanya KLA dapat memastikan pemerintah daerah memenuhi hak-hak anak. Seperti hak untuk hidup, tumbuh kembang, mendapatkan perlindungan dari kekerasan, diskriminasi dan perlakuan buruk lainnya.

Adanya penghargaan kepada keberadaan KLA nampaknya tak menjamin bahwa anak-anak di negeri ini mendapatkan haknya. Hal itu karena faktanya kasus kekerasan dan ekploitasi terhadap anak masih terus terjadi. Seperti yang baru ini terjadi di Jakarta. Polda Metro Jaya Senin lalu melakukan penyelidikan atas kasus kekerasan, penyekapan dan ekploitasi seksual yang menimpa seorang remaja putri berinisial NAT yang berusia 15 tahun. Selain itu, Dinas Sosial Kabupaten Tebo, Jambi mencatat terdapat 25 kasus tindak kekerasan terhadap anak hingga September 2022. Hal serupa juga terjadi di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT). Terdapat 32 kasus kekerasan yang menimpa anak. 

Jika adanya KLA tidak menutup tindak kekerasan terhadap anak, lalu bagaimana Islam memandang perkara ini? Bagaimana pula Islam menyelesaikan permasalahan tindak kekerasan terhadap anak?

Permasalahan tindak kekerasan terhadap anak bukanlah permasalahan daerah semata. Ini merupakan permasalahan sistemis yang merupakan efek dari penerapan sistem demokrasi yang berbasis sekuler. Di mana sistem ini merupakan sistem pemerintahan dari ideologi kapitalisme yang menjadikan pemisahan agama dengan kehidupan sebagai landasan berpikirnya. Sehingga semua aturan kehidupan di tengah-tengah masyarakat dibuat berdasarkan akal manusia yang serba terbatas dan lemah. 

Akibatnya, aturan yang diterapkan akan menimbulkan pertentangan, perselisihan, pertingkaian bahkan menimbulkan kesengsaraan hidup manusia. Akidah sekuler, juga menjadikan standar perbuatan seseorang hanya untuk mengejar keuntungan materi semata. Sehingga anak, dalam kacamata kapitalis merupakan aset yang dapat dijadikan untuk mencari keuntungan. Oleh karena itu, ekploitasi terhadap anak baik dalam faktor ekonomi, sosial ataupun yang lainnya selalu terjadi di setiap negara pengemban ideologi kapitalisme ini.

Hal ini berbanding terbalik dengan pandangan Islam terhadap anak. Dalam kacamata Islam, anak merupakan amanah yang harus dijaga dan dididik sesuai dengan fitrah penciptaan manusia. Yaitu untuk beribadah kepada Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT, "Dan tidaklah aku ciptakan manusia dan jin kecuali untuk beribadah kepada-Ku" (QS. Adz Dzariyat : 56). Oleh karena itu, anak harus di didik sesuai dengan aqidah Islam agar menjadi Muslim yang memiliki kepribadian Islam. Yaitu memiliki pola pikir dan pola sikap Islam.

Islam menyerahkan amanah pendidikan anak tidak hanya kepada keluarga. Namun juga kepada masyarakat dan negara. Dalam lingkungan masyarakat, Islam mewajibkan seluruh Muslim untuk melakukan amar makruf nahi mungkar. Harus ada kontrol di lingkungan masyarakat serta menciptakan suasana keimanan dan kondisi yang baik. Terlebih lagi di lingkungan negara. Negara wajib menjamin semua warga negara untuk mendapatkan hak syar'i manusia. Hal ini meliputi jaminan akan terjaganya akidah, akal, jiwa, harta, kehormatan, dan keamanan. Negara juga harus menerapkan semua sistem berdasarkan syariat Islam.

Dalam sistem ekonomi, negara wajib menjamin semua pencari nafkah untuk mendapatkan pekerjaan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya dan juga keluarganya. Islam memandang bahwa perempuan tidak wajib untuk bekerja sehingga ia harus menjalankan perannya sebagai ibu dan pendidik generasi. Di dalam sistem pendidikan, kurikulum pendidikan negara harus berdasarkan akidah Islam. Dalam dunia pendidikan, semua warga negara harus dipastikan mendapatkan pemahaman terkait semua syariat Islam. Dalam sistem hukum, adanya sistem sanksi yang tegas dan mengikat seluruh warga negara turut mempengaruhi ketaatan warga terhadap penerapan syariat Islam. Sistem sanksi dalam Islam berfungsi sebagai jawabir (pencegahan) dan jawazir (penghapusan dosa). Dalam sistem sosial, kewajiban menutup aurat, pemisahan antara laki-laki dan perempuan, keberadaan dakwah turut ambil andil dalam membentuk karakter anak agar menjadi generasi yang peduli terhadap bangsa.

Tak kalah penting adalah adanya sistem politik dan pemerintahan Islam mewajibkan negara mengurusi seluruh urusan rakyat berdasarkan syariat Islam. Negara tidak boleh menyerahkan urusan rakyat khususnya anak kepada pemimpin daerah atau lembaga kemanusiaan. Sebab negara yang dipimpin oleh seorang kepala negara merupakan penanggung jawab atas segala urusan rakyat. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Imam (kepala negara) adalah pemimpin. Dia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya" (HR. Muslim). Semua itu hanya bisa tercapai jika Islam diterapkan secara keseluruhan oleh institusi negara Islam yakni khilafah. Walhasil, permasalahan tindak kekerasan terhadap anak tidak bisa diselesaikan secara tuntas hanya dengan keberadaan KLA. 

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Firda Umayah
(Aktivis Muslimah)
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments