Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Menuntaskan Korupsi dalam Demokrasi, Hanya Mimpi

TintaSiyasi.com -- "Bagai mimpi di siang bolong." Ungkapan tersebut tepat ditujukan pada harapan tuntasnya persoalan korupsi di negeri ini. Bagaimana tidak? Berharap bila korupsi akan terselesaikan di alam demokrasi ini hanyalah sebatas angan dan asa yang tak berkesudahan. Korupsi makin hari makin menggurita akibat  penerapan sistem demokrasi yang masih mencengkeram negeri ini. 

Dalam sistem demokrasi, penyelesaian korupsi tidak akan menuju sasaran yakni akar permasalahannya tidak tersentuh sedikit pun. Hanya sanksi tidak tegas yang tidak menyebabkan kapok para pelakunya. 

Bahkan koruptor yang sedang menjalankan hukuman justru ada yang mendapatkan remisi atau pengurangan masa tahanan. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut 23 koruptor mendapatkan remisi hingga akhirnya bebas bersyarat. ICW menilai pemberian remisi bagi koruptor menunjukkan kejahatan korupsi merupakan kejahatan biasa (detiknews.com, 7/9/2022).

Tak hanya itu, eks napi korupsi atau koruptor ternyata masih bisa mencalonkan diri menjadi calon anggota legislatif (caleg) di DPR maupun DPRD pada pemilu 2024 nanti. Hal dikarenakan ada regulasi yakni UU Pemilu tidak melarang eks koruptor untuk kembali menjadi caleg. Pada Pasal 240 ayat 1 huruf g, hanya mengatur seorang mantan napi yang hendak mendaftarkan diri, wajib mengungkapkan ke publik kalau dirinya pernah dipidana serta telah selesai menjalani hukumannya (beritasatu.com, 28/6/2022).

Sungguh lemah hukum kasus korupsi di negeri penganut sistem demokrasi ini. Jelas nyata korupsi merupakan kejahatan besar, masih saja para pelakunya diberi keringanan hukuman bahkan diperbolehkan menjadi calon wakil rakyat. 

Memang sistem demokrasi merupakan sistem politik yang lemah dan rusak. Dikarenakan sistem ini buah dari kebijakan yang dibuat manusia sendiri. Sistem yang menggunakan kedaulatan rakyat dalam mengambil kebijakan. Padahal manusia merupakan makhluk yang lemah dan tak sempurna. Tak layak membuat aturan kehidupan bermasyarakat. Alhasil kebijakan-kebijakan yang diambil selalu merugikan masyarakat sendiri. Alih-alih sistem demokrasi dianut untuk meraih manfaat bagi para pengambil kebijakan, nyatanya yang didapat hanya mudharat bagi masyarakatnya. 

Dan akan sangat merugikan bila sistem demokrasi ini masih dianut. Koruptor makin merajalela. Negara akan makin mengalami kerugian akibat ulah koruptor. Dan lagi-lagi rakyatlah yang kena imbasnya. 

Oleh karena itu, sudah saatnya sistem demokrasi tidak lagi dianut. Sistem ini telah mencampakkan hak-hak Allah sebagai pembuat aturan kehidupan. Demokrasi telah menyuburkan korupsi berjamaah. Pelaku tidak takut melakukannya. 

Ketika manusia merasa dirinya berhak membuat aturan kehidupan, maka jangan heran bila gelombang demi gelombang kejahatan pun datang silih berganti. Aturan yang dibuat manusia sengaja untuk menguntungkan segelintir orang, penjajahan, eksploitasi, korupsi, peperangan, dan keburukan lainnya. 

Demokrasi tidak akan memberikan kebaikan apapun kecuali kerusakan dalam segala hal. Pelan tapi pasti sistem ini akan menghancurkan negeri-negeri Islam termasuk Indonesia. Maka, masihkah kita berharap pada sistem ini? 

Sistem yang fasad tersebut sudah seharusnya diganti dengan sistem yang jauh lebih baik. Sistem sempurna yang berasal langsung dari Allah. Sistem yang tentu saja sudah teruji kehebatannya dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan termasuk korupsi. Sistem tersebut menggunakan kedaulatan berasal dari hukum syarak yang ditentukan oleh Allah SWT. Tak ada campur tangan manusia sedikit pun. 

Sistem itu adalah sistem Islam. Sistem yang menjadikan akidah Islam sebagai landasan. Ketaatan kepada Allah menjadikan manusia memiliki rasa takut akan murka Allah bila melakukan kejahatan termasuk korupsi. 

Islam menilai korupsi sebagai kejahatan besar karena bisa merugikan rakyat dan negara. Sanksinya pun tak main-main. Tentunya sanksi yang bisa membuat jera pelakunya. Bahkan berniat akan melakukannya pun sudah tak berani. 

Islam menggolongkan korupsi sebagai ghulul, baik berupa pengambilan harta yang bukan haknya dari uang negara, suap menyuap (riswah), hadiah untuk pejabat, dan keluarganya (gratifikasi). Semua itu haram. 
Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja yang kami beri tugas melakukan sesuatu pekerjaan dan kepada dia telah kami berikan rezeki (gaji), maka yang diambil oleh dia selain itu adalah kecurangan (ghulul)” (HR Abu Dawud). 

Islam sangat tegas dalam menindak pelakunya korupsi. Tak peduli itu pejabat ataupun orang berduit. Rasulullah bersabda, “Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya” (HR Bukhari dan Muslim). 

Islam mencegah terjadinya korupsi dengan memilih para pejabat dari orang-orang yang bertakwa. Sebelum dan sesudah menjabat, negara melakukan perhitungan terhadap harta pejabat. Bila ada kenaikan yang tak wajar, negara akan menelisiknya. Para pejabat harus bisa memberikan pembuktian sumber hartanya, apakah berasal dari jalan benar atau sebaliknya. Bila terbukti terdapat harta ghulul, mereka akan mendapatkan sanksi tegas. 

Kejahatan korupsi termasuk kategori takdir, yaitu uqubat (sanksi-sanksi) yang dijatuhkan atas kemaksiatan yang tidak ada hadiah dan kafarat di dalamnya. Kadar sanksi takzir yang menentukan khalifah sebagai kepala negara berdasarkan ijtihad. 

Sanksi koruptor bisa sampai berupa hukuman mati apabila ijtihad khalifah menentukan demikian. Koruptor juga bisa mendapatkan sanksi berupa pengumuman (tasyir), dan sanksi ekonomi berupa pemiskinan. 

Sanksi yang diterapkan tersebut sangat tegas, tidak ada pilih kasih bagi pejabat maupun orang yang dekat dengan penguasa. Pada masa kepimpinan Khalifah Umar bin Khattab pernah terjadi fenomena harta para pejabat bertambah. Khalifah Umar mengirim utusan untuk menemui pejabat tersebut. Dan Umar pun membagi harta mereka menjadi dua, separuh diberikan kepada negara, dan separuhnya diserahkan kepada mereka. 

Kenyataan inilah menunjukkan bahwa sistem Islam tidak ada toleransi dengan kejahatan korupsi. Kasus korupsi akan diusut tuntas dan pelakunya akan dikenakan sanksi tegas. Dengan sistem Islamlah keadilan dan kesejahteraan rakyat bisa terwujud. Sungguh sebuah sistem yang sangat kita harapkan. 

Wallahu a'lam. []


Oleh: Alfiana Prima Rahardjo, S.P.
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments