Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Jeritan Pilu Rakyat Menolak Kenaikan BBM Teredam Suara Pesta Wakil Rakyat

 
TintaSiyasi.com -- Kenaikan BBM masih menjadi polemik dan menerima respon negatif dari berbagai kalangan masyarakat. Contohnya, pada Selasa, 6 September kemarin, rakyat turun ke lapangan dalam aksi unjuk rasa menolak kenaikan BBM. Di balik aksi tersebut menyimpan sedikit cerita, salah satunya adalah paradoks sikap DPR atas rakyat. Rakyat menjerit pilu, sedangkan di dalam gedung parlemen DPR bersorak riuh mengucapkan ulang tahun kepada petinggi nomor 1 di DPR, yaitu Puan Maharani.  

Setelahnya, Puan disorot karena mendapat kejutan ulang tahun, justru ketika masyarakat berdemo menolak kenaikan harga BBM. Hal ini tentunya menuai kontroversi dan kecaman tajam dari rakyat. Namanya pun menjadi trending di media sosial Twitter pada Rabu (7/9/2022) dan dibicarakan lebih dari 33,3 ribu kali oleh warganet.

Dikutip CNNIndonesia.com (7/9/2022), Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, juga ikut menanggapi hal tersebut. Ia bahkan terang-terangan mengecam DPR karena dianggap sibuk berpesta ketika massa menolak kenaikan harga BBM. Lucius menilai, para anggota dan jajaran pimpinan DPR itu seperti sedang mengolok-olok rakyat. Menurutnya, tingkah laku para anggota dewan itu sangat memalukan. Lucius membandingkan kondisi anggota DPR yang berada di ruangan nyaman dengan para buruh dan mahasiswa yang harus berpanas-panas memperjuangkan harga BBM.

Ya, Puan wakil rakyat tampak semringah mendapat kejutan di hari ulang tahunnya. Tampak bahagia, seolah hilang empati dan rasa bersalah. Tersenyum di tengah tangisan rakyat yang kesulitan menjalani hidup.

Lagu ulang tahun menggema di ruang rapat paripurna sangat kontras dengan teriakan para demonstran yang berjuang kepanasan menuntut hak dan keadilan. Bagaimana bisa suara rakyat terdengar, sedangkan mereka sibuk bersorak riuh menjungjung sang puan wakil rakyat?

Sang Puan wakil rakyat jelas gagal sebagai wakil rakyat. Alih-alih menemui para demonstran, ia justru seperti lupa diri dengan kegembiraannya menyambut ucapan selamat ulang tahun dari para tuan dan puan di rapat paripurna.

Sungguh tampak jelas dan makin nyata, inilah wajah asli pemimpin dalam kapitalisme demokrasi. Paradigma demokrasi dalam aspek politik hanyalah sebatas kekuasaan untuk kepentingan para kapitalis, bukan untuk kemaslahatan bagi rakyat. Sekilas demokrasi seolah melegalisasi kebijakan atas nama rakyat dan mewakili rakyat, tetapi faktanya hanya untuk kepentingan kapitalis dan sekelompok rakyat elit saja.

Setiap kritik yang membela kepentingan rakyat dianggap sebagai ancaman bagi kepentingan para kapitalis. Tak heran jika penguasa hari ini tampak tidak memiliki empati saat rakyat dengan jelas menuntut hannya di hadapan mereka.

Sistem hari ini hanya mampu memunculkan celah bagi para petinggi untuk mengambil cuan sebanyak mungkin untuk mengganti modal dalam kontestasi politik demokrasi yang begitu mahal. Sehingga menjadikan para kandiditat berorientasi pada pengusaha karena merekalah yang memiliki modal dalam berpolitik. Maka menjadi wajar, saat menduduki kursi mereka akan sibuk melegalisasi hukum demi kepentingan pengusaha. Di samping itu, mereka juga akan sibuk untuk menggemukan kantong sendiri. Rakyat yang seharusnya mereka urusi menjadi terabaikan.

Oleh karena itu, slogan yang selalu dibanggakan di sistem demokrasi yaitu "dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat" nyatanya hanya sekadar ilusi saja dalam sistem politik demokrasi. Sebab faktanya, rakyat yang disebut bukanlah rakyat secara keseluruhan, melainkan segelintir orang yang terbilang sebagai rakyat elit.

Hal ini tentunya sangat berbeda dengan sistem Islam yang terbukti mumpuni dalam memimpin 2/3 dunia selama 13 abad. Bukan tanpa alasan bagaimana Islam dapat mengurus umat di kurun waktu lama dan menguasai luasnya daerah. Kejayaan tersebut tentunya terpatri dalam sejarah.

Islam menggunakan aturan yang bersumber dari Sang Pencipta manusia itu sendiri untuk menutup celah kerusakan akibat ulah manusia. Sebab dalam pandangan Islam, politik negara adalah meriayah urusan umat berdasarkan peraturan buatan Allah SWT demi kemaslahatan umat secara keseluruhan.

Meskipun segala aturan yang diterapkan adalah syariat dari Allah yang Mahasempurna, tetapi sang pelaksana tetaplah manusia biasa yang berpotensi kesalahan dan lupa. Untuk itu, sistem politik berasas Islam akan mencetak penguasa sebagai model yang mudah menerima masukan, karena kritik umat terhadap penguasa adalah sunah Rasul dan tabiat dalam Islam. Islam menilai bahwa kritik tersebut adalah wujud rasa cinta rakyat pada pemimpin agar tidak tergelincir pada hal yang dimurkai oleh Allah SWT.

Inilah yang menjadi dorongan utama pemimpin di sistem Islam untuk terus membenahi segala kebijakannya agar selalu sesuai dengan koridor syariat. Sebagai contoh, kritik untuk gambaran nyatanya adalah dalam peristiwa Khalifah Umar bin Khathab ra pada soal penetapan mahar.

Dikisahkan saat itu, Khalifah Umar bin Khathab ra menerima laporan bahwa kaum perempuan menetapkan mahar yang terlalu mahal. Kemudian Khalifah Umar ra langsung bertindak tegas menanggapi kritik tersebut dan berpidato di depan rakyatnya mengenai mahar pada zaman Rasulullah SAW dan Abu Bakar ra yang jumlahnya tidak lebih dari 400 dirham.

Dari sana akhirnya Khalifah Umar membatasi jumlah maksimal mahar yang diminta para wanita, yaitu tidak lebih dari 400 dirham agar mereka tidak berlebih-lebihan hingga menyusahkan kaum Muslim yang hendak menikah.

Meskipun kebijakan tersebut telah diambil secara hati-hati, tetapi ternyata beliau keliru. Ada salah satu perempuan Quraisy yang menyampaikan kepada Khalifah Umar ra, “Wahai Amirul Mukminin tidakkah engkau mengetahui Firman Allah SWT, "Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?" (QS. An-Nisaa’: 20).

Wanita itu benar, dan Khalifah Umar ra yang keliru. Lalu, beliau kembali naik ke atas mimbar untuk menyerukan bahwa ia tidak lagi melarang pemberian mahar lebih dari 400 dirham, dibolehkan bagi siapa saja yang berkehendak memberikan mahar lebih dari hartanya sesuai dengan keinginannya.

Seperti itulah gambaran sosok pemimpin dalam sistem politik Islam yang mudah menerima kritik bagi kepentingan rakyat. Apa pun yang menjadi keresahan bagi rakyat akan ditanggapi dengan segera tanpa menunggu waktu terlalu lama.

Pada akhirnya, kebijakan yang ditetapkan penguasa akan terbebas dari setiran pihak mana pun. Ditambah lagi, kepemimpinan dalam Islam tentunya akan mengemban sifat amanah karna sadar segala perbuatannya akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat kelak.

Sebab pemimpin yang seperti ini tidak akan ditemukan dalam sistem politik demokrasi hari ini yang berasas pada materi belaka, bukanlah iman dan takwa kepada Sang Pencipta. Tentunya, hanya sistem Islamlah yang mampu mewujudkan hal tersebut. Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Fajrina Laeli, S.M.
Pemerhati Masyarakat
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments