Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kota Layak Anak Makin Banyak, Mengapa Kekerasan terhadap Anak Tetap Terjadi?

TintaSiyasi.com -- Miris, Kota Layak Anak (KLA) makin banyak diangkat. Namun faktanya kekerasan terhadap anak tak kunjung turun. Malah makin beragam modus dan makin banyak korban. Baru-Baru ini terjadi penyekapan dan eksploitasi anak di bawah umur. NAT (15 tahun) sebagai korban disekap selama 1,5 tahun dipekerjakan sebagai pekerja seks komersia (PSK). Dijebak dengan alasan memiliki hutang sebesar 35 juta Rupiah.(beritasatu.com, 18/09/22).

Di Banda Aceh dalam sehari dua anak menjadi korban pencabulan tukang parkir (Serambinews.com, 13/09/22 ). Tidak hanya itu, di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, ada 32 kasus kekerasan terhadap anak yang ditangani oleh lembaga Save The Children (tempo.com, 13/09/22).

Kemenpppa juga melakukan Survei Pengalaman Hidup Anak dan Remaja. Hasilnya, ada 4 dari 100 laki-laki usia 13-17 tahun dan 8 dari 100 perempuan usia 13-17 tahun di perkotaan pernah mengalami kekerasan seksual. Sementara itu, 3 dari 100 laki-laki usia 13-17 tahun dan 8 dari 100 perempuan usia 13-17 tahun pernah mengalami kekerasan seksual sepanjang hidupnya (Kompas.com, 24/03/2022).

Mengapa kekerasan terhadap anak masih saja terus mewabah? Padahal sudah banyak kota-kota yang mendapat predikat kota layak anak. Tahun 2022 saja, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) kembali menganugerahi Penghargaan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) kepada 320 kabupaten/kota. Penghargaan itu diberikan kepada 8 daerah di kategori Utama, 66 Nindya, 117 Madya, dan 121 Pratama. 

Namun kota layak anak ini hanya sekedar slogan saja, tidak benar-benar diwujudkan. Faktanya, kita melihat daerah-daerah hanya ingin meraih prestasi, kebanggaan, dan gengsi, tanpa melihat realita yang terjadi. Berfokus pada urusan administratif agar menang lomba dan mendapatkan penghargaan KLA. Bukan fokus untuk melindungi anak. Sedangkan upaya  perlindungan anak berbanding terbalik dengan penghargaannya.

KLA ini sudah lama sekali di rintis sejak tahun 2006 pada tahun 2009, terbit Permen PPPA 2/tahun 2009 tentang Kebijakan KLA yang diujicobakan di 10 kabupaten/kota. Pada 2010, ada revitalisasi untuk lebih mempercepat capaiannya dan terinternalisasi ke seluruh pelosok tanah air. Tujuan akhir yang hendak tercapai adalah pada 2030 Indonesia mencapai kondisi Indonesia Layak Anak. Namun telah beberapa tahun berlalu kekerasan pada anak tetap saja terjadi.

Padahal sudah ada peraturan yang dikeluarkan pemerintah untuk melindungi anak. Seperti Keppres 36 tahun 1990 tentang  pemenuhan hak anak dan perlindungan anak sesuai Konvensi Hak Anak ke dalam konstitusi. Kemudian ada Amandemen kedua UUD 1945 memasukkan Pasal 28B Ayat (2) yang berbunyi, “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” 

Dan juga ada UU 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan dua pilar utama, yaitu pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak. UU ini telah dua kali diubah melalui UU 35/2014 dan UU 17/2016.

Ditambah lagi UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah, negara mengamanatkan setiap daerah untuk melakukan berbagai upaya pemenuhan hak anak dan perlindungan anak.

Namun hasilnya nihil, karena persoalan utama bukan tidak adanya peraturan yang mengatur perlindungan terhadap anak. Tapi asas pembuatan peraturan tersebut yang salah yakni sekulerisme. Sekulerisma adalah konsep kehidupan yang memisahkan agama dan kehidupan. Melahirkan aturan-aturan yang menjauhkan dari agama. Menciptakan konsep liberalisme yang dianut masyarakat. Sehingga inilah yang menjadi sumber timbulnya  titik awal kekerasan terhadap anak. Individu dan masyarakat yang berorientasi materi dan pemenuhan hawa nafsu. Kekerasan terhadap anak termasuk kekerasan seksual tidak dianggap lagi perbuatan keji dan tercela.

Kehidupan yang menganut paham liberalisme menciptakan individu-individu yang bebas bertingkah laku. Tak heran kita melihat  wanita yang hidup di negara sekuler berpakaian terbuka yang mengundang syahwat para pria. Para prianya pun karena tidak memiliki pemahaman dibenaknya tentang menundukkan pandangan, bebas melayangkan pandangan.

Media dan teknologi juga sangat berperan membangkit  syahwat. Kemudahan dalam mengakses konten-konten porno dan banyaknya media-media yang mengumbar syahwat, menjadi perangsang. Ketika tidak ada tempat pemenuhannya, mereka penuhi kepada siapa saja yang ditemui, termasuk anak-anak. Anak-anak dengan posisi lemah dan kepolosan  kerap menjadi korban kekerasan seksual.

Kehidupan yang sempit dan menghimpit juga menjadi faktor penyumbang kekerasan terhadap anak. Para mucikari mencari uang dengan cara menjual anak-anak. Para anak pun yang telah lelah hidup dalam kesusahan, tergiur dengan iming- iming para mucikari.

Semakin mudah melenggang para pelaku kekerasan terhadap anak karena hukum yang dibuat tidak memberikan efek jera kepada pelaku. Hukum sanksi yang diberlakukan ringan dan mudah membuat para tersangka melakukannya berkali-berkali tanpa ada rasa takut dan bersalah.
Berbeda halnya dengan sistem Islam yakni Khilafah. Sistem kehidupan yang mengatur setiap aspek bertujuan memanusiakan manusia dan mensejahterakan manusia. Pada aspek pendidikan, ditanamkan sedari kecil pada setiap anak yang kelak juga akan menjadi orang dewasa, ketaatan dan ketaqwaan kepada Allah. Seperti Allah perintahkan menutup aurat tidak mengumbarnya dan yang pria menjaga mata. Ketika melihat aurat, menundukan pandangannya. Tidak ada istilah kebebasan bertingkah laku semua terikat dengan hukum syariat.

Pada pengaturan media dan teknologi negara berperan menjaga warga negaranya dari konten-konten negatif dan porno. Setiap unsur kemaksiatan yang membangkitkan syahwat akan diblokir oleh negera. Di sistem ekonomi negara menyediakan lapangan pekerjaan kepada pria, memberikan modal dan melatih skill. Menjamin setiap kebutuhan rakyat, sekolah dan kesehatan sehingga tidak ada warga negara yang hidup dalam ketidaksejahteraan yang akan mudah di iming-imingi para mucikari.

Warga negara Khilafah takut melakukan kemaksiatan atau kekerasan terhadap anak. Ada sanksi berat menanti jika tetap dilakukan. Sanksi berat ini membuat para pelaku jera untuk mengulangi perbutan yang sama. Masyarakat yang melihat takut untuk melakukan kejahatan yang serupa. Untuk yang melakukan kekerasan seksual yang sudah menikah akan di rajam sampai mati dan yang belum menikah akan dicambuk seratus kali.

Kebersinambungan dalam pengaturan setiap aspek kehidupan ini menciptakan suasana aman dan nyaman bagi anak. Tidak adalagi ketakutan yang mengingtai. Khalifah akan melindungi setiap warga negaranya lewat penerapan syariat-syariat Islam. Jadi, perlindungan hakiki terhadap anak hanya pada sistem Islam yakni Khilafah rasyidah ala minhajin nubuwwah.

Oleh: Ayu Syahfitri
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments