Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kepemilikan Umum Dikomersialisasi, Rakyat Dijadikan Alasan Beban Negara Lagi




TintaSiyasi.com -- Kata beban memang sering lalu lalang di berita saat ini. Masyarakat bukan hanya menjadi pelaku beban subsidi BBM. Kini masyarakat menjelma menjadi beban baru bagi APBN negara, yaitu beban subsidi LPJ yang 3 kg. Seperti yang dikutip dari (kumparan.com, 17/9/2022) Kementerian ESDM menegaskan akan mengurangi LPG 3 kg dan diganti dengan kompor listrik. Alasannya karena beban pemerintah sangat besar untuk subsidi tabung gas melon, sementara penyalurannya tidak tepat sasaran.

Namun setelah dilihat, agaknya persoalannya bukan hanya karena negara terbeban subsidi LPJ, terdapat faktor lain yang membuat pemerintah mengganti kompor gas dengan kompor listrik. Seperti yang dikutip dari (cnbcindonesia.com, 22/9/2022) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut PT PLN (Persero) saat ini tengah didera isu kelebihan pasokan listrik. Kondisi tersebut lanjutnya, akan berdampak pada kondisi keuangan perusahaan. 

Hal ini juga disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana. Menurutnya, hingga akhir tahun persoalan kelebihan pasokan listrik terus berlanjut, kelebihannya yaitu sekitar 6 GW (over supply listrik) kalau akhir tahun ini. Namun Rida juga menyampaikan bahwasanya yang paling  mengetahui tentang hal ini adalah PLN. Rida juga menyebutkan bahwa kelebihan daya listrik secara umum terjadi di semua wilayah. Namun yang paling signifikan khususnya terjadi di Pulau Jawa.

Kelebihan daya listrik ini membuat penguasaan putar otak untuk mengatasi masalah kelebihan pasokan listrik di Indonesia. Salah satunya adalah menaikkan daya listrik bagi masyarakat. Daya listrik diusulkan naik dari 450 VA ke 900 VA dan dari 900 VA menjadi 1.200 VA. Seperti yang dikutip  berita kompas.com, 13/9/2022, Wacana ini diusul oleh salah satunya, Ketua Banggar DPR RI Said Abdullah dalam rapat panja pembahasan RAPBN 2023 di gedung DPR RI. 

Tidak berhenti sampai disitu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif juga blak-blakan menjelaskan alasan penguasa menggenjot penggunaan kompor listrik dan kendaraan listrik belakangan ini. Arifin menjelaskan bahwa, hal  tersebut tak lepas dari upaya mengatasi kondisi kelebihan pasokan daya atau surplus listrik yang dialami PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN. (Tempo.co, 22/9/2022)

Terlepas dari wacana yang dikatakan solusi tersebut, ada beberapa hal yang mengganjal dalam pikiran, jika dilihat lebih dekat, walaupun listrik di negara ini katanya berlebih namun PT PLN (Persero) mencatat bahwa sebanyak 4.700 Desa di wilayah terluar, terdepan, tertinggal (3T) belum menikmati listrik dari perusahaan. Alasannya karena perusahaan sulit mengakses listrik disana dan kurangnya biaya untuk membangunnya. Mengapa hal ini bisa terjadi? Bukankah listrik merupakan kebutuhan pokok yang wajib disediakan dan diberikan kepada seluruh masyarakat? Mengapa harus disubsidi jika punya daya listrik yang berlebih? Bukankah seharusnya listrik dapat dinikmati gratis oleh masyarakat karena masyarakat berhak atas sumber daya alam yang ada di negaranya sendiri?

Yang lebih miris,  Saat satu sisi subsidi jadi beban negara, namun di sisi lain malah negara mampu memberikan mobil dinas yang bahkan wacananya akan digantikan mobil listrik secara bertahap, karena apa? lagi- lagi agar bisa menyerap kelebihan daya listrik tadi. 

Jika kita lihat, sebenarnya PLN bisa saja menyimpan daya listrik, seperti yang dikutip dari antara.com, 23/2/2022, PT PLN (Persero) akan membangun energy storage system atau sistem penyimpanan energi untuk mengatasi kelebihan daya listrik yang sekarang sedang terjadi di Indonesia. Namun permasalahannya terletak pada kontrak yang dilakukan PLN dengan pengembang listrik swasta, hal ini disampaikan oleh Menteri ESDM Arifin Tasrif yang dikutip dalam cnbcindonesia.com, 22/9/2022 bahwa kontrak jual beli listrik dengan pengembang listrik swasta (Independent Power Producer/ IPP), PLN menggunakan skema 'Take or Pay' (TOP). Maksudnya, PLN harus mengambil pasokan listrik dari pengembang sesuai dengan jumlah yang tertuang dan disetujui di dalam kontrak. Bila tidak diambil, maka PLN akan dikenakan sanksi atau membayar penaltinya. Dalam kontrak jual beli ini, salah satu yang diatur adalah mengenai denda. PLN diwajibkan mengambil seluruh pasokan listrik terkontrak atau membayar denda bila tidak mengambil sesuai dengan volume terkontrak, atau biasa disebut skema 'Take or Pay' (TOP) ini.

Fakta diatas agaknya cukup untuk menggambarkan bahwasanya penguasa telah dicengkeram oleh pihak-pihak oligarki atau para pengusaha rakus yang telah menguasai sumber daya alam yang ada di negeri ini. PLN sebagai perusahaan listrik yang dimiliki negara nyatanya tidak bisa berkutik dari keinginan para oligarki tersebut. Apa kabar dengan negara? Negara dalam sistem kapitalisme sekuler hanya menjadi regulator bagi masyarakat. Dalam sistem kapitalisme asas yang dipegang kuat oleh penguasa adalah asas untung rugi. Alhasil interaksi yang terjadi antara negara dan masyarakat adalah seperti pedagang dan konsumennya. Bagaimana masyarakat tidak menjadi beban, jika negara hanya melihat masyarakat sebagai konsumen, jelas pemberian diskon (subsidi) akan menjadi beban bagi si penjual (baca:negara). Ditambah lagi para korporasi sudah mencengkram erat negara ini, sehingga masyarakat menjadi tumbal yang harus mengikuti permainan para korporasi tersebut.

Sistem kapitalisme telah membuat para korporasi bisa bebas mengeruk kekayaan alam yang ada di negara ini, tidak terkecuali batu bara sebagai salah satu sumber energi. Jika saja negara yang mengelola sumber daya alam sendiri maka seharusnya negara bisa memperkirakan kebutuhan listrik yang dibutuhkan masyarakat dan mengambil secukupnya saja tanpa berlebihan yang berakibat merusak alam. Namun karena kerakusan para korporasi mereka mengeruk kekayaan alam tanpa ampun untuk memenuhi kantong mereka. Tentu para korporasi tidak memperdulikan akibatnya, yang penting mereka untung, mau baik atau buruk halal atau haram tidak ada dalam kamus mereka.

Dalam sistem kapitalisme, sumber daya alam yang memegang hajat orang banyak dapat dengan bebas dimiliki oleh individu, seharusnya ini tidak boleh terjadi. Karena dari sinilah masalahnya. Batu bara misalnya, nah ini tidak boleh dimiliki oleh individu karena jika baru bara dimiliki individu maka mereka jelas akan menjual hasilnya. Tidak mungkin diberikan kepada masyarakat secara cuma-cuma. Pasti  dijual, apa yang terjadi jika individu tersebut yang memiliki sebagian dari pertambangan batu bara? Pasti akan dinaikkan harganya. Ditambah lagi batu bara merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui dan salah satu sumber energi yang murah dibandingkan sumber energi lainnya.

Pertanyaannya siapa yang dapat menghentikan kerakusan para korporasi? Negara? Para pengusaha? Agaknya mustahil menghentikan mereka dalam sistem ini, negara tidak dapat berbuat apapun. Penguasa juga sama saja dalam sistem kapitalisme ini,  mereka tak lain adalah seperti pelayannya para korporasi bahkan terkadang para korporasi bersembunyi dibalik topeng penguasa.

Mungkin sekarang akan timbul pertanyaan apakah tidak ada solusi atas permasalahan ini? Jika ada, apa solusi agar listrik dapat dinikmati dengan biaya murah dan bahkan gratis? 

Jawabannya pasti ada, jika sumber daya alam dikelola sendiri oleh negara. Sumber daya alam yang menjadi hajat orang banyak tidak boleh dikelola oleh individu, namun negara yang harus mengambil, mengolah dan membagikankan secara gratis untuk masyarakat jikalau pun harus membayar maka sangatlah murah. Karena uang hasil pembayaran itu hanya untuk menggantikan biaya produksinya yang membutuhkan banyak tenaga. Jadi bukan bayar untuk hasil alamnya seperti yang terjadi dalam sistem kapitalisme. 

Kemudian pengambilan sumber daya alam yang dibutuhkan masyarakat akan diambil secukupnya tidak berlebihan karena dapat merusak alam. Jadi tidak ada yang namanya kelebihan energi kemudian minta masyarakat untuk menambah daya listrik, kalaupun berlebih maka negara akan menyimpan energi tersebut tanpa takut harus bayar denda karena tidak terikat dengan korporasi manapun.

Solusi di atas hanya bisa diterapkan oleh negara yang menerapkan Islam secara kafah, tidak mungkin dalam sistem yang berasas manfaat seperti sistem kapitalisme. Karena Islam memiliki suatu pandangan yang khas mengenai masalah kepemilikan, yang berbeda jauh dengan konsep kapitalisme. Islam tidak mengenal adanya kebebasan kepemilikan, karena pada dasarnya setiap perilaku manusia harus dalam kerangka syariah, termasuk dalam perkara kepemilikan. Islam mengatur tentang cara memperoleh dan cara pemanfaatan kepemilikan tersebut. Menurut Syekh Taqiyuddin An-Nabahani, dalam kitabnya Al-Nizham Al-Iqhtishadi Fi-Al- Islam, kepemilikan ada tiga macam yaitu kepemilikan individu (milkiyah fardiyah), kepemilikan umum (milkiyah'ammah), dan kepemilikan negara (milkiyah daulah). Syekh Taqiyuddin An-Nabahani menjelaskan untuk kepemilikan umum, seperti gas dan listrik, karena izin memanfaatkan harta diberikan kepada komunitas masyarakat maka harta tersebut dilarang dikelola oleh segelintir atau seorang saja. Adapun benda-benda yang termasuk dalam kategori kepemilikan umum menurut Syekh Taqyuddin An-Nabahani adalah tampak pada tiga macam yaitu (1) merupakan fasilitas umum, kalau tidak ada di dalam suatu negeri atau suatu komunitas, maka akan menimbulkan sengketa dalam mencarinya. (2) barang tambang yang tidak terbatas. (3) sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu secara perorangan.

Hal ini sesuai dengan sabda  Rasulullah Saw.

اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ

"Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api" (HR Abu Dawud dan Ahmad)

Segala sumber daya alam yang diubah menjadi energi listrik salah satunya adalah batu bara, minyak bumi, gas termasuk kedalam perwujudan dari api. Sehingga tidak boleh dimiliki oleh individu, memang dibolehkan jika dalam jumlah yang sedikit dan harus membawa zakat nantinya. Namun jika hampir semua dikuasai seperti di sistem kapitalisme sekarang, jelas tidak boleh.

Beginilah sempurnanya Islam mengatur tentang kepemilikan. Dan peraturan ini hanya bisa diterapkan dalam sistem pemerintahan Islam bukan sistem kapitalisme. Wallahualam bissawab.

Oleh: Nada Navisya
Sahabat Tinyasiyasi
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments