Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kegagalan Pembangunan Karakter Antikorupsi Jadi Kado Pahit Dirgahayu RI

TintaSiyasi.com -- Makin bertambah usia seseorang, konon bertambah pula kedewasaan dan kebijaksanaannya, karena asam garam kehidupan telah banyak mereka rasakan. Namun sayangnya, itu tidak berlaku pada usia kemerdekaan Republik Indonesia, seiring bertambahnya usia kemerdekaan negara ini justru tidak menampakkan kemajuan ke arah yang lebih baik. Sebagaimana amanat kemerdekaan RI yang tersemat dalam teks pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45), yaitu "untuk mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur." 

Nyatanya, dalam mewujudkan amanat para pendahulu bangsa tersebut ibarat mengejar bayang-bayang, semakin dikejar semakin menjauh. Justru kini bangsa dan rakyat negeri ini tengah dijajah oleh bangsa sendiri yang bertindak menyengsarakan rakyat, seperti yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan yang melakukan tindak korupsi, kolusi, dan nepotisme–yang terus berulang dilakukan dari satu rezim ke rezim lainnya.

Bak kado pahit yang harus rakyat terima di Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI (HUT RI) yang ke-77 tahun, bangsa ini dikejutkan oleh pemberitaan tertangkap tangannya pejabat bidang pendidikan dalam kasus penyuapan. Hal yang sangat ionis, penangkapan melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT) tersebut KPK lakukan pada rektor UNILA Prof. Dr. Karomani yang tengah melakukan pelatihan pembangunan karakter beserta timnya di Lembang Bandung. Tentu saja seorang rektor dari universitas seharusnya menjadi teladan karakter intelektual kampus, tetapi justru menjadi pelaku perbuatan yang menunjukkan kegagalan pembangunan karakter. KPK melakukan OTT terhadap tujuh orang termasuk Prof. Dr. Karomani atas dugaan penyuapan Penerimaan Mahasiswa jalur mandiri di Bandung dan Lampung pada 19 Agustus 2922 (detik.com, 20 Agustus 2002).

Dalam perkembangan kasus tersebut KPK telah menetapkan Karomani sebagai tersangka. Selain Karomani, KPK juga menjadikan Wakil Rektor Bidang Akademik Heryandi, dan Ketua Senat Unila M Basri, sebagai tersangka. Diduga mereka telah menerima suap sebesar 5 miliar rupiah untuk penerimaan mahasiswa jalur mandiri di UNILA. Kasus ini juga membuat heran pihak Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) yang menurut Kemenristek tengah mendorong lingkungan perguruan tinggi sebagai zona berintegritas, bebas dari korupsi (kompas.com, 21 Agustus 2002).

Petinggi kampus terkena OTT saat mengikuti program pembangunan karakter mengindikasikan kegagalan pembentukan karakter antikorupsi. Bahkan di kampus yang dianggap sebagai pusat intelektual, karena antikorupsi tak bisa dibangun dari kegiatan pelatihan berbasis sekuler dan tidak diiringi perubahan sistem. Tindak korupsi di Tanah Air bukan hanya disebabkan oleh kecacatan karakter individu saja, tetapi juga sistem yang menjebak individu–yang terlibat dalam sistem tersebut–untuk bertindak tidak jujur. Dari asasnya saja sistem kapitalis itu adalah sekularisme atau paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Sehingga dalam tatanan kehidupan apa pun baik politik, ekonomi, pendidikan,  dan sosial, masyarakat terbiasa tidak melibatkan Islam sebagai pedoman hidup, bahkan cenderung takut membawa Islam dalam mengatur kehidupan, karena derasnya arus moderasi beragama yang mengampanyekan islamofobia.

Kado pahit berupa kegagalan pembangunan karakter antikorupsi ini perlu disikapi sebagai bahan evaluasi dan refleksi dalam kemerdekaan saat ini. Benarkah negeri ini telah mencapai kemerdekaan hakiki? Tentu saja untuk merefleksikan semua. negeri ini harys sudah merdeka secara hakiki. Perlu dipahami terlebih dahulu apa itu makna kemerdekaan hakiki? Dalam taraf sebuah negara, kemerdekaan hakiki berarti harus dirasakan oleh individu, masyarakat, dan negara. Individu yang merdeka bermakna berperilaku benar sesuai keyakinannya, sebagai Muslim berarti harus berpegang pada ajaran Islam. Masyarakat merdeka bermakna berpola pikir dan gaya hidup lepas dari kungkungan budaya lain terutama budaya asing yang merusak akhlak dan moral generasi. 

Adapun negara merdeka adalah yang terbebas dari penjajahan. baik secara fisik, politik, ekonomi, juga budaya. Negara yang bebas menerapkan aturan dalam melindungi rakyatnya. Tidak lagi ada tekanan dari negara yang pernah menjajah atau lainnya. Bagi umat Islam tentu saja negara tersebut haruslah sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW yaitu sebuah begara yang menerapkan aturan Allah dalam berbagai kebijakannya.

Potret kegagalan pembangunan karakter antikorupsi sudah dapat menbuktikan bahwa negara ini belum merdeka secara hakiki. Individu yang berusaha terikat dengan keyakinannya–yaitu Islam untuk bertindak jujur dan amanah dalam mengemban suatu tanggung jawab–dengan terpaksa harus menanggalkan keyakinan akibat sistem sekuler yang menjerat, berupa aturan kehidupan itu sendiri. Seperti yang dianut dalam sistem kapitalisme yang menjunjung kebebasan individu,selagi mereka memiliki modal/materi yang cukup, tidak masalah melanggar aturan agama maupun aturan negara asalkan memiliki cukup uang untuk membeli jabatan politik, kursi di perguruan tinggi, bahkan membeli ijazah sekalipun. 

Tentu saja sangat berbeda dengan sistem Islam, pembangunan karakter individu dapat diwujudkan berlandaskan ketakwaan semata. Rasa takut yag muncul dari keimanan individu dapat mencegah seseorang berbuat maksiat seperti tindak korupsi. Jka keimanan individu lemah, masih ada kontrol masyarakat yang akan menjaga setiap individu tetap terikat dengan satu pemikiran, perasaan, dan aturan yang sama yaitu ajaran Islam kaffah.
 
Keberadaan negara dalam Islam tentu sangat penting karena dalam Islam, negara adalah metode (thariqah) untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah. Menerapkan setiap ajaran Islam tidak hanya sebatas wacana, tetapi diawasi untuk diterapkan dan jika ada yang melanggarnya, negara siap menerapkan sanksi yang sudah diterapkan ajaran Islam itu sendiri. 

Sepeti tindak korupsi dalam Islam dihukumi sebagai tindak pejcurian yang pelakunya akan dikenai hukum potong tangan. Termasuk perbuatan menyuap (risywah) yang kadang kabur maknanya di tengah masyarakat, menganggap memberi hadiah kepada siapa pun itu baik. Padahal ketika memberi kepada orang yang memiliki wewenang itu termasuk ke dalam suap. 

Dalam Islam, suap menyuap termasuk dosa besar yang akan diberi sanksi tegas bagi pelakunya, seperti disebutkan dalam sebuah hadis: “Laknat Allah bagi penyuap dan yang menerima suap dalam hukum” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

Hanya saja aturan dan pemahaman Islam yang sempurna ini tidak akan pernah menjadi kebaikan bagi siapa pun jika tidak diterapkan secara sempurna dan menyeluruh oleh institusi negara. Untuk mewujudkan keberhasilan pembangunan karakter antikorupsi dan antikemaksiatan apa pun juga diperlukan kemerdekaan hakiki–sebagai seorang muslim dalam lingkup individu, masyarakat, dan negara–sehingga sistem Islam kafah benar-benar terwujud dan membumi sebagai rahmat bagi seluruh alam.

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Leihana
Pemerhati Umat
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments