Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Harga Telur Naik, Pedagang Tambah Babak Belur


TintaSiyasi.com -- Harga telur ayam di sejumlah wilayah mengalami kenaikan lebih dari Rp 30.000 per kilogram (kg). Ketua Paguyuban Peternak Rakyat Indonesia (PPRN) AAlvino Antonio menyebutkan jika kenaikan harga telur ayam saat ini merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah. "Iya benar, ini paling tinggi (harga telur) dalam sejarah. Tembus Rp 30.000-an di pasar," kata Alvino dikutip dari Kompas.com, Selasa (23/8/2022). Alvino memberi keterangan bahwa kenaikan harga telur ayam telah terjadi sejak dua pekan yang lalu. 

Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan melakukan pemantauan harga dan ketersediaan bahan pokok di Pasar Raya, Padang Sumatra Barat pada Senin (8/8/2022). Beda dengan Menteri Pertanian (Mentan), Mendag sebut harga mi instan tidak akan naik tiga kali lipat. (Humas Kemendag) Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan (Zulhas) menjelaskan jika kenaikan harga telur ayam disebabkan oleh adanya Bantuan Sosial (Bansos). Permintaan telur ayam dari Kementerian Sosial untuk keperluan Bansos membuat demand akan telur ayam tinggi, sehingga berpengaruh pada kenaikan harga. 

"Kemensos juga untuk keperluan bansos dirapel 3 bulan dan bantuannya itu dari bentuk telur. Telur kalau (stok) kurang dikit harga jadi naik," jelas Zulhas dikutip dari Kompas.com, Jumat (26/8/2022). Lebih lanjut, Zulhas mengaku sejak ia menjadi Mendag pada Juni 2022 harga telur ayam sudah sangat tinggi, hingga mencapai Rp 32.000 per kg. Namun harga telur ayam tersebut kemudian berangsur turun menjadi Rp 26.000 per kg.

"Harga turun jauh sekali menjadi Rp 26.000 buat beberapa pengusaha ini tidak rugi memang, tapi ini tidak layak. Makanya beberapa ini pengusaha besar juga melakukan afkir dini," ungkap Zulhas. Harga bahan pakan ternak Berbeda dengan Zulhas, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengungkapkan jika kenaikan harga telur ayam disebabkan kenaikan harga pakan ternak. "Penyebab kenaikan harga telur lebih terindikasi karena harga pakan ternak yang naik, baik jagung maupun gandum," kata Bhima kepada Kompas.com, Jumat (26/8/2022). 

Bhima menjelaskan bahwa harga jagung di pasar internasional telah melonjak 19 persen dibandingakan pada 2021. Sementara distribusi gandum di dunia masih terkendala kurangnnya pasokan dari Ukraina karena adanya perang dengan Rusia. "Delay pengiriman dan mahalnya harga bahan baku pakan ternak berimbas ke peternak telur," katanya lagi. Menurut Bhima, pemerintah harus mewaspadai kenaikan harga telur ayam, karena dapat mendorong tingkat inflasi harga bahan pangan menjadi lebih tinggi. "Inflasi bahan pangan per Juli sudah hampir menyentuh 11 persen secara tahunan," ucap Bhima.

"Di saat yang bersamaan pemerintah sedang mewacanakan penyesuaian harga BBM subsidi maka inflasi secara umum bisa mencapai 7 persen, karena bahan bakar angkutan pangan ikut naik," tambahnya. Oleh sebab itu, Bhima menyarankan pemerintah untuk memastikan tidak ada spekulan yang memanfaatkan situasi kenaikan harga telur ayam. Selain itu, rantai pasok telur ayam dari peternak hingga ke tangan konsumen jupa perlu dilakukan pengawasan. "Libatkan satgas pangan secara intens di daerah untuk bantu pengawasan tata niaga telur," jelas Bhima. 

Bhima berpendapat bahwa kenaikan harga telur dapat membuat tingkat kemiskinan bertambah. "Kemungkinan besar kekhawatiran soal harga telur lebih berkaitan dengan risiko bahan pangan penyumbang garis kemiskinan yang kontribusinya masuk 5 besar," kata Bhima. Sumbangan telur ayam dalam garis kemiskinan bahkan mencapai 4,12 persen di perkotaan lebih tinggi dari mi instan dan bawang merah. Oleh sebab itu, ketika harga telur mengalami kenaikan, maka garis kemiskinan akan lebih cepat naik. "Membuat kategori orang miskin baru semakin meningkat," tutur Bhima.

Saling lempar pendapat para menteri ihwal penyebab naiknya harga telur sejatinya memperlihatkan pada rakyat masih adanya ego sektoral yang kental antara kementerian. Problem harga telur yang seharusnya mampu ditilik dari berbagai sisi, menjadi mustahil terselesaikan sebab pemangku kebijakan saling membatasi dan melempar tanggung jawab. Padahal, seharusnya, seluruh pejabat memiliki visi yang sama, yaitu menyelesaikan permasalahan umat. 

Visi ini dapat melahirkan kebijakan untuk menyelesaikan persoalan karena berasal dari pembacaan akar persoalan yang tepat. Setiap kementerian akan bahu-membahu mencari penyebab harga telur naik, lalu menyelesaikannya. Terlepas dari persoalan di atas, sebenarnya ketakstabilan harga pangan pokok (termasuk telur) sudah menjadi persoalan lama yang sulit diselesaikan. Menurut Guru Besar FEM IPB Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, politik perekonomian nasional Indonesia berada dalam ekosistem oligopolistik, termasuk industri unggas. 

Produk kebutuhan pangan sebagian besar memiliki struktur oligopoli, bahkan Menkeu Sri Mulyani mengatakan hanya dua perusahaan di Indonesia yang menguasai industri unggas dari hulu ke hilir. Perusahaan integrator itu merupakan perusahaan peternakan unggas besar terintegrasi. Mereka menguasai mulai dari produksi, pakan, daily old chick (DOC), sapronak, budi daya ayam, budi daya telur, sampai produk olahan. Wajar saja harga bisa dikendalikan dan peternak unggas kecil dirugikan.

Seperti yang dikeluhkan para peternak ayam terkait harga pakan yang tinggi. Tentu ini sangat berpengaruh terhadap harga telur. Pasalnya, peternak ayam layer (petelur) lebih banyak membutuhkan pakan dari pada peternak ayam pedaging (potong). Walhasil, kenaikan harga pakan sangat berdampak pada peternak layer. Sementara itu, bahan baku utama pakan ternak, yaitu jagung, sebagian besarnya diimpor. Tentu harganya bisa dikendalikan importir. Belum lagi fakta bahwa hampir seluruh produksi jagung tanah air dikuasai oleh perusahaan integrator. Jadilah harga pakan sangat tinggi. 

Sudahlah harga pakan tinggi, peternak pun harus membeli DOC dan sapronak yang mahal sebab semuanya dikuasai perusahaan besar. Ongkos produksi pun mahal. Inilah yang menyebabkan harga telur naik. Akhirnya, ibu-ibu menjerit. Pangan pokok berprotein tinggi nan murah itu kini harganya selangit. Apalagi UMKM yang berbahan baku telur, sangat terpukul, bahkan banyak di antara mereka yang terpaksa berhenti produksi. Jangankan diuntungkan, mengambil sedikit saja keuntungan sudah bagus sebab penguasaan industri unggas dari hulu ke hilir dikuasai pemilik modal.

Sebenarnya, sudah banyak yang mengeluhkan adanya praktik monopoli dan oligopoli di industri unggas ini. Asosiasi Peternak Ayam Rakyat Indonesia (Aspasi) sendiri sudah melaporkan dugaan praktik monopoli dan oligopoli yang dilakukan perusahaan terintegrasi dalam usaha budi daya ayam kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Sebelumnya, KPPU telah memberikan saran pertimbangan kepada pemerintah untuk membenahi kembali aturan soal bisnis perunggasan yang didominasi oleh perusahaan besar dari hulu ke hilir. 

Hal ini sangat berpotensi membuat persaingan usaha jadi tidak sehat dan pada gilirannya harga pangan tidak stabil karena dikendalikan korporasi. Namun demikian, praktik oligopoli dan monopoli masih saja langgeng meski laporan sudah sampai pada pemangku kebijakan. Semua ini akibat tata kelola yang amburadul, yakni sistem ekonomi kapitalistik menjadi platform perekonomian negara. Negara hanya memosisikan diri sebagai regulator yang menghubungkan kepentingan swasta dan kebutuhan rakyat. 

Dalam UU 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, misalnya, dibolehkan bagi perorangan atau badan hukum menjalin kerja sama dengan asing. Pada saat itulah lalu lintas peternakan menjadi makin semrawut. Mafia ternak yang memiliki penguasaan dari hulu ke hilir pun berdatangan. Walhasil, jangankan KPPU yang keberadaannya dianggap formalitas dalam mengawasi usaha belaka, pemerintah pun dalam sistem kapitalisme menjadi mandul dalam melindungi rakyatnya. Selain sekadar berperan sebagai regulator, politik transaksional dalam demokrasi pun telah menyandera para penguasa, alih-alih bisa melahirkan kebijakan yang pro umat.

Oleh karenanya, mahalnya harga telur dan semrawutnya perniagaan unggas tanah air sejatinya lahir dari sistem ekonomi kapitalisme yang menjadi pijakan dalam tata kelolanya. Hingga kapan pun, praktik oligopoli bahkan monopoli yang membuat pasar menjadi tidak seimbang akan terus hadir, bahkan keberadaannya dilindungi oleh penguasa. Tidak heran, para pemodal dalam kapitalisme akan menciptakan mekanisme harga atau struktur harga komoditas di pasaran karena menurut mereka harga akan mempengaruhi keseimbangan ekonomi secara otomatis.

Tidak dapat dimungkiri, pemerintah memang harus memperbaiki tata niaga dan membuat desain pangan agar permintaan konsumsi telur beserta segala kendalanya dapat diketahui dan diatasi. Untuk desain pangan, dalam hal ini memerlukan adanya data riil jumlah kebutuhan konsumsi telur nasional sehingga produksi dapat seimbang dengan kebutuhan konsumsi. Desain pangan juga akan memudahkan peternak ayam petelur untuk meningkatkan hasil produksi telurnya.

Terlepas dari semua itu, tentu saja tetap perlu adanya kebijakan yang tegas dan mampu melindungi peternak dan pedagang sehingga pasar telur dan ayam petelur tidak dikuasai oleh korporasi. Di samping itu, agar kenaikan harga yang fluktuatif ekstrem tidak terjadi. Memang, harga adalah alat pengendali dalam sistem kapitalis. Pada titik inilah kapitalisme sangat leluasa bermain sehingga mereka dapat meraih profit yang sebesar-besarnya dalam wujud kebijakan apapun. 

Stabilitas harga pangan sangat penting demi terpenuhinya kebutuhan umat akan makanan sehat, terlebih pangan pokok seperti telur yang mengandung protein tinggi dan menjadi bahan baku banyak olahan makanan. Terkait hal itu, Islam memiliki beberapa aturan. Pertama, peran negara harus hadir sepenuhnya dalam pengaturan pangan sebab hal ini merupakan kebutuhan dasar rakyat. Dari mulai produksi, distribusi, hingga impor, semua dikelola negara. Negara harus menjaga keseimbangan suplai dan demand (penawaran dan permintaan).

Contohnya, ketika jagung sebagai pakan utama ternak kurang, negara harus menjaganya dengan produksi masif agar lepas dari ketergantungan impor. Kedua, rantai usaha pertanian pangan ini boleh dilakukan individu/swasta, tetapi negara harus memastikan mekanisme pasar berjalan dengan sehat dan baik. Kuncinya adalah penegakan hukum ekonomi Islam dan melarang atau menghilangkan semua distorsi pasar, seperti penimbunan, permainan harga oleh pedagang besar untuk merusak pasar; juga pelaksanaan fungsi kadi hisbah yang secara aktif dan efektif memonitor transaksi di pasar. 

Mandat pengayoman oleh penguasa pada komoditas telur akan mewujudkan perlindungan berupa pengendalian stok dalam rangka pengendalian harga. Peternak ayam petelur tidak akan khawatir karena penguasa menjamin perlindungan di sektor hulu peternakan yang menunjang produksi stok telur. Hal ini di antaranya ketersediaan benih ayam petelur, pakan ayam murah dan mudah didapat, riset mengenai kualitas telur dan ayam petelur, fasilitas peternakan dan kandang yang memadai, obat-obatan, dan lain-lain.

Di samping itu, perlu adanya petugas pendistribusian yang amanah, termasuk jaminan serapan telur untuk produksi pangan di sektor hilir, dll. Hal ini juga sejalan dengan kebijakan harga barang berdasarkan sistem ekonomi Islam. Dalam Islam, Allah SWT telah memberikan hak kepada setiap orang untuk membeli dengan harga yang ia sukai. Ini sebagaimana hadis, “Sesungguhnya jual beli itu (sah karena) sama-sama suka” (HR Ibnu Majah).

Kondisi melambungnya harga barang memang suatu realitas yang kadang tidak bisa kita hindari. Hal ini misalnya terjadi pada masa peperangan, krisis politik, dan sebagainya. yang memang merupakan akibat tidak tercukupinya barang di pasaran karena adanya penimbunan barang atau karena barangnya memang sedang langka. Namun, solusi masalah ini bukan dengan mematok harga. 

Penguasa harus berusaha mencukupi stok suatu komoditas di pasaran dengan mengusahakan ketersediaannya dari kantong-kantong logistik barang yang bersangkutan sehingga stok barang terjaga, tidak menjadi langka. Dengan demikian, melambungnya harga dapat dihindari. Semua ini jelas memerlukan langkah tegas agar berbagai lini produksi di sektor peternakan ayam petelur tidak dikuasai korporasi. 

Selama penguasa melalaikan amanah pengayoman ini dan malah memberikan kesempatan luas bagi swasta besar untuk bermain, fluktuasi harga telur yang sulit terkendali akan terus berulang. Ketika kapitalisme memegang kendali sektor hulu hingga hilir suatu komoditas pangan, apalagi yang strategis. Dari sisi profit, tentu sangat menjanjikan karena komoditas pangan strategis adalah komoditas pangan yang pasti dibutuhkan masyarakat, dalam hal ini telur. 

Namun, akan menjadi sangat berbahaya ketika swasta/kapitalis besar menguasai sektor pangan strategis ini, terlebih jika dijamin oleh UU. Mereka akan seenaknya bermain di mekanisme pasar tanpa peduli langkahnya akan menghancurkan pedagang kecil, bahkan merugikan masyarakat luas karena harus membeli telur dengan harga mahal. []


Oleh: Nor Faizah Rahmi, S.Pd.I
Praktisi Pendidikan & Pemerhati Remaja
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments