Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Food Estate Wonosobo, Sudahkah Sesuai Harapan?


TintaSiyasi.com -- Kabar gembira bagi petani yang tergabung dalam implementasi food estate holtikultura Wonosobo, karena telah dinobatkan oleh Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian Republik Indonesia, Prihasto Setyanto, Wonosobo sebagai penghasil food estate yang menjadi primadona dan percontohan di tingkat nasional. Hal ini dinilai dari sisi produksi dan juga teknik budidaya lebih baik dari daerah lain.

Program Food Estate di Kabupaten Wonosobo yang dijajaki Presiden Jokowi 14 Desember 2021 silam, digadang mampu mewujudkan kemajuan perekonomian bagi para petani. Dijelaskan oleh Bupati Wonosobo, Afif Nurhidayat, terdapat wilayah holtikultura yang tersebar di lima kecamatan, yaitu Lamuk Kalikajar, Garung, Kejajar, Kertek, dan Watumalang, dengan komoditas utamanya berupa sayuran.

Sebagaimana diungkapkan oleh Bupati Wonosobo, Afif Nurhidayat dalam acara Koordinasi Sosialisasi Pendampingan Bimbingan Teknis Pengembangan Agro Industri, melalui program food estate diharapkan mampu meningkatkan produksi dan kemandirian pangan, juga akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Terlebih, menurutnya animo dan respon petani di Wonosobo sangat besar dalam memajukan hortikultura berbasis semangat gotong royong, termasuk implementasi kebijakan food estate dari pemerintah pusat (magelangekspres.com, 12/08/2022).


Konsep Foof Estate Menuai Kritik

Food Estate memang menjadi salah satu program strategis pembangunan pertanian nasional dalam menstabilkan lumbung pangan nasional dan mengantisipasi ancaman krisis pangan akibat dampak pandemi. Akan tetapi, pogram ini menuai kritik dari para pakar ekologi dan pertanahan.

Sejarah telah mengajarkan kita, bahwa sistem pertanahan kolonial melalui Cultuurstelsel mewajibkan setiap desa menyisihkan 20 persen tanah untuk ditanami komoditas ekspor dan hasilnya diserahkan kepada Belanda. Maka hal ini tak jauh beda dengan konsep program food estate.

Dalam program food estate ini pemerintah pusat mewajibkan pemda memastikan kesediaan tanah secara cepat dan luas di setiap wilayah target. Konsekuensinya, tanpa transparansi proses dan resiko, Pemda menyasar tanah warga untuk menanam komoditas yang ditentukan hingga mengubah budaya agraris dan tenurial masyarakat. Sampai saat ini pemerintah mencanangkan tanah seluas 3,99 juta hektar di 7 (tujuh) provinsi sebagai alokasi tanah untuk program ini. Alokasi terbanyak bertempat di Provinsi Papua dengan 3,2 juta hektare tanah.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebut program Food Estate (FE) yang dirancang Presiden Joko Widodo dan dijalankan Kementerian Pertahanan mirip dengan Cultuurstelsel atau sistem tanam paksa yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda di masa silam.

Cultuurstelsel yang dilakukan di bawah Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830 mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanami komoditas ekspor, khususnya kopi, tebu, teh, dan tarum.

Sebagaimana yang diuangkapkan oleh Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Sartika dalam acara peluncuran Catatan Tahunan KPA, Kamis (6/1). Menurutnya, jika dianalisa, sistem FE sebenarnya serupa dengan sistem tanam paksa, sehingga dapat disimpulkan bahwa kebijakan ekonomi Indonesia telah kembali ke era kolonialisme (cnnindonesia.com, 07/01/2022).

Tak dipungkiri bahwa kehadiran pandemi global Covid-19 yang telah menyebar cepat menjangkau 210 negara dan 2 kapal internasional terinfeksi Corona, yakni Diamond Princess dan MS Zandam. Tercatat kasus pasien Covid-19 seluruh dunia sekitar 2.250.119 orang dinyatakan terinfeksi, 154,241 di antaranya dinyatakan meninggal dunia dan 571,577 sembuh. Amerika Serikat masih mencatatkan kasus terbanyak di dunia sekitar 709,735 kasus pada 17/4/2020. Terbukti pandemibtelah melumpuhkan perekonomian dunia, juga berbagai aspek terdampak lainnya.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan bahwa pandemi covid-19 tidak akan menjadi pandemi terakhir. WHO juga menuturkan upaya untuk meningkatkan kesehatan manusia. Di samping itu, laporan tahunan pertama Dewan Pengawasan Kesiapsiagaan Global September 2019 tentang kesiapan dunia untuk keadaan darurat kesehatan juga mengatakan bahwa planet ini sangat tidak siap untuk pandemi yang berpotensi menghancurkan. Hal ini disampaikan beberapa bulan sebelum pandemi Covid-19 muncul. Menurutnya sejarah memberitahu kita bahwa ini bukan pandemi terakhir dan epidemi adalah fakta kehidupan (sindonews.com, 27/12/2020).

Maka dari itu, bangkit pascapandemi tidak hanya dalam bidang makanan semata. Tapi pada semua bidang di setiap aspek kehidupan, salah satunya adalah aspek ekonomi. Dalam hal ini, kapitalis terbukti gagal membangkitkan perekonomian masyarakat secara luas. Krisis akibat pandemi ini memperparah kesenjangan antara orang kaya dengan penduduk lainnya.

Penelitian global yang dirilis kemarin mengungkapkan, kekayaan orang kaya makin meningkat selama pandemi Covid-19. The World Inequality Report yang dirilis oleh jaringan ilmuwan sosial memperkirakan para miliuner tahun ini meraup 3,5 persen kekayaan global, naik sekitar 2 persen sejak pandemi pada awal 2020. Daftar orang kaya tahunan yang dibuat Forbes memperlihatkan rekor 2.755 miliuner dengan kekayaan mereka jika digabung mencapai USD 13,1 triliun, naik delapan persen dibanding tahun lalu (merdeka.com, 08/12/2021).

Dari sinilah pentingnya solusi alternatif dalam pengelolaan ekonomi masyarakat, yaitu dengan meneladani masa-masa kekhilafahan. Terutama bagaimana Baitul Mal memberikan pengurusan yang tepat bagi negara. Baitul Mal sebagai sebuah pos bertugas dalam mencatat sumber-sumber pemasukan dan juga pengeluaran. Setiap pemasukan dan pengeluaran selalu disandarkan pada ketetapan hukum syarak.

Islam pun memiliki aturan yang jelas dalam memecahkan problem ekonomi melalui pengaturan kepemilikan, pengelolaan kepemilikan, dan distribusi kekayaan di tengah-tengah manusia. Dalam buku Nizham Al-Itishadi fi Al-Islam dicantumkan bahwa syariah Islam membagi kepemilikan menjadi tiga bagian, yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Pengelolaan ketiganya juga sesuai koridor hukum syarak.

Maka, meningkatkan produksi pangan tanpa dibarengi pengelolaan perekonomian berasaskan Islam, justru hanya akan melahirkan berbagai ketimpangan. Seperti pelanggaran kepemilikan yang mengantarkan pada eksploitasi alam dalam beberapa implementasi program food estate di beberapa daerah. Hal ini tentunya sangat membahayakan kelestarian alam berikut keseimbangannya. Padahal Allah berfirman :

"Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdo'alah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik" (QS Al-A'raf: 56).

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Yanti Ummu Yahya
Sahabat TintaSiyasi
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments