TintaSiyasi.com -- Belum lama hari kemerdekaan Indonesia yang ke-77 berlalu, di bulan September ini rakyat malah diberi kejutan dari pemerintah yang menetapkan kenaikan harga BBM bersubsidi. Hal ini sontak membuat rakyat menjerit dengan kenaikan harga tersebut.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tahun 2023 masih menjadi instrumen yang menjawab tantangan dari yang sebelumnya disebabkan oleh pandemi Covid-19 menjadi risiko global. Risiko global yang dimaksud yakni terjadinya lonjakan inflasi akibat kenaikan harga barang seperti pangan dan energi karena terjadinya disrupsi supply (Wartaekonomi.co.id, 26/8/2022).
Kenaikan tarif BBM udah menjadi kebiasaan yang tak bisa hilang, faktanya kenaikan BBM bagi yang disubsidi maupun nonsubsidi tak ada bedanya, sebab rakyat tetap saja terbebani karena jika pelanggan nonsubsidi adalah pelaku usaha maupun industri, maka akan berpengaruh pada barang-barang yang diproduksi. Jika tarif BBM naik, maka biaya operasional produksi akan naik pula dan berpengaruh pada harga produk yang masyarakat konsumsi, jadi jelas efek kenaikan BBM berdampak pada rakyat kecil juga. Sungguh dilema rakyat menjadi tumbal kezaliman sistem kapitalis yang melahirkan ekonomi liberal.
Efek domino kenaikan BBM tidak bisa diatasi dengan adanya bansos yang jumlahnya kecil dan cakupan penerimanya sangat terbatas. Hal ini lambat laun tidak mampu memberi solusi yang ada justru jumlah rakyat miskin makin banyak, angka kriminalitas pasti akan bertambah dan kesejahteraan pun makin jauh dari jangkauan.
Sungguh sangat memilukan. Negara yang seharusnya bertanggung jawab memenuhi kebutuhan pokok publik dengan mudah dan murah malah dianggap membebani APBN saat diberi subsidi. Perlu dipahami bahwa pencabutan subsidi di negeri ini tidak ada kaitannya dengan BBM salah sasaran ataupun membebani APBN. Karena, dana APBN seharusnya memang diperuntukkan bagi rakyat. Namun, ini berkaitan dengan gonjang-ganjingnya Pertamina dan bisnis migas di tanah air. Sesungguhnya ada upaya untuk melepaskan harga BBM ke pasar. Intervensi korporasi tercium jelas dalam hal ini. Terlebih intervensi asing dalam bisnis migas di Indonesia dijamin melalui regulasi yang dirumuskan sendiri oleh pemerintah.
Jika selama ini Pertamina menjadi pemain tunggal dalam penjualan BBM melalui UU migas. Kini pemerintah menghadirkan kompetitor baru dalam bisnis migas dengan suara yang relatif mudah. UU tersebut telah menjadi payung hukum legalisasi penguasaan ladang minyak dan gas di Indonesia. Akibatnya, sektor hulu 67% lahan minyak di Indonesia dikuasai asing.
Sayangnya, keberadaan BBM yang paling murah seperti Pertalite, saat ini masih menyulitkan pemain asing sebagai kompetitor untuk masuk. Terlebih Pertalite saat ini masih diberi subsidi yang cukup besar. Jika BBM masih bersubsidi maka SPBU asing tidak akan bisa beroperasi dan bersaing dengan Pertamina. Maka tak heran bila pemerintah mencabut subsidi BBM dengan alasan investasi. Akan tetapi pencabutan subsidi BBM tidak lantas menjadikan pemain asing leluasa masuk berinvestasi di ranah migas. Hitung-hitungan untung rugi adalah napas dunia bisnis. Jika pemain asing menjual BBM dengan harga yang ada saat ini, tentu sulit untuk meraup keuntungan. Maka yang harus dilakukan adalah menyerahkan harga BBM sesuai dengan harga pasar. Apabila diserahkan kepada pasar, maka investor dan para pebisnis minyak akan membanjiri Indonesia dan dengan mudah menentukan harga BBM.
Inilah konsekuensi penerapan sistem ekonomi kapitalis yang memberlakukan liberalisasi ekonomi dan sistem persaingan bebas. Siapa yang memiliki modal dan mampu menggunakan kekuatan modal atau kapital secara efektif dan efisien akan dapat memenangkan pertarungan bisnis. Alhasil, BBM yang harusnya dinikmati rakyat dengan harga murah makin mengalami kenaikan harga akibat dijadikan sebagai ladang bisnis.
Padahal dalam pandangan Islam kekayaan milik umum seperti minyak sawit, bahan bakar minyak, listrik dan gas serta sumber energi lainnya merupakan milik umum yang wajib dikelola oleh negara. Serta digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Rasulullah SAW telah menjelaskan sifat kebutuhan umum tersebut dalam sebuah hadis dari Ibnu Abbas ra, Rasulullah SAW bersabda, "Manusia berserikat dalam tiga hal yaitu air, padang rumput, dan air" (HR Abu Dawud).
Barang-barang tambang seperti minyak bumi beserta turunannya misalnya bensin, gas, termasuk listrik, hutan, minyak sawit, air, padang rumput, api, jalan umum, sungai, dan laut semua telah ditetapkan oleh syariat sebagai milik umum. Pengelolaannya harus secara langsung oleh khalifah atau kepala negara yang berfungsi sebagai pelindung dan pelayan masyarakat.
Islam juga melarang pemimpin melakukan kesepakatan dengan negara asing dan kafir (yang jelas memusuhi Islam) atau kesepakatan yang justru menjerumuskannya pada kezaliman kepada rakyat. Itulah sebabnya, Islam tidak akan membenarkan perjanjian pasar global seperti saat ini.
Oleh karenanya, negara tidak boleh semata mengambil keuntungan atas pengelolaannya. Rakyat cukup mengganti biaya produksi komoditas tersebut untuk memperolehnya, sehingga harganya akan tetap murah. Kalaupun mengambil sedikit untung, akan dikembalikan untuk kemaslahatan rakyat juga.
Sudah saatnya kita kembali kepada aturan Ilahi yang jelas adil dalam mengurus rakyat termaksud persoalan BBM, sehingga rakyat tak perlu lagi tersakiti dan menjerit karena dasar penentuan kebijakan yang zalim. Hanya Islam sebagai rahmatan lil alaamiin. Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Ani Hayati, S.HI.
Pemerhati Masalah Publik
0 Comments