Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Eksploitasi Anak Marak Terjadi, Program KLA Apa Pengaruhnya?

TintaSiyasi.com -- Eksploitasi dan kejahatan seksual terhadap anak belakangan semakin marak terjadi. Sebagai benteng pertahanan pertama, orang tua harus lebih waspada, mengingat kejahatan seksual yang mengintai anak-anak di bawah umur saat ini makin beragam modusnya. 

Salah satunya, seperti kasus yang menimpa seorang remaja di Tanggerang beberapa waktu lalu. Dikutip dari Kompas.com (22/09/2022) Polda Metro Jaya berhasil mengungkap kasus penyekapan dan eksploitasi seorang remaja berinisial NAT (15). Korban dipaksa menjadi pekerja seks komersial (PSK) di apartemen wilayah DKI Jakarta dan Tangerang.

Awalnya korban diiming-imingkan pekerjaan yang bisa menghasilkan banyak uang, kemudian pelaku membuat korban seolah-olah memiliki utang yang membuatnya tak bisa meninggalkan pekerjaan tersebut. Diduga penyekapan dan eksploitasi tersebut sudah terjadi selama 1,5 tahun dan baru terungkap setelah lebih dari tiga bulan diselidiki kepolisian, sejak pihak keluarga korban bersama kuasa hukum melapor ke Polda Metro Jaya pada 14 Juni 2022.

Dalam kasus tersebut terdapat dua tersangka yang ditangkap, yakni seorang perempuan berinisial EMT (44) yang berperan sebagai muncikari dan seorang pria berinisial RR (19) yang merupakan pacar korban sendiri. Dia memperkenalkan korban kepada EMT, dan membawanya ke apartemen. 

Mirisnya lagi, berdasarkan hasil penyelidikan dan penyidikan, terungkap bahwa selain NAT muncikari EMT juga memiliki delapan anak asuh lain yang juga dipaksa menjadi PSK di beberapa apartemen. Sungguh sebuah ironi, makin kesini kejahatan seksual terhadap anak jumlahnya semakin meningkat. Bahkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat setidaknya ada 11.952 kasus kekerasan anak yang tercatat oleh Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni) sepanjang tahun 2021. Dari jumlah tersebut, bentuk kekerasan yang paling banyak dialami oleh anak-anak adalah kekerasan seksual yaitu sebanyak 7.004 kasus. (Kompas.com, 24/03/2022)

Selain itu, di tengah maraknya kasus kejahatan terhadap anak ini justru terjadi di saat Pemerintah sedang getol menetapkan banyak kabupaten/kota sebagai kota layak anak (KLA). Lantas, apakah kebijakan kota layak anak ini memang dapat memberikan pengaruh yang signifikan? ataukah hanya sebatas kebijakan formalitas untuk menutupi kegagalan Pemerintah menjamin keamanan setiap anak?

Menyoal tentang KLA

Kebijakan tentang Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) diatur dalam Perpres Nomor 25 Tahun 2021. KLA adalah kabupaten/kota dengan sistem pembangunan yang menjamin pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak yang dilakukan secara terencana, menyeluruh, dan berkelanjutan. 

Adapun perlindungan anak didefinisikan sebagai segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. 

Beberapa waktu lalu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) kembali menganugerahi Penghargaan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) tahun 2022 kepada 320 kabupaten/kota, yang terdiri dari delapan (8) Utama, enam puluh enam (66) Nindya, seratus tujuh belas (117) Madya, dan seratus dua puluh satu (121) Pratama. Apresiasi juga diberikan kepada delapan (8) provinsi yang telah melakukan upaya keras untuk mewujudkan Provinsi Layak Anak (PROVILA). (kemenpppa.go.id, 23 Juli 2022)

Nampaknya kebijakan ini bisa menjadi solusi, sayangnya seolah tak sesuai harapan. Upaya penetapan KLA terlihat seperti berjalan terpisah dengan tujuan utamanya menciptakan perlindungan kepada anak. Mereka hanya dijadikan objek untuk meraih penghargaan semata. Buktinya, sejauh ini sudah cukup banyak kabupaten/kota yang ditetapkan sebagai kota layak anak, namun hal itu tak lantas menghentikan atau meminimalisir kasus kejahatan anak yang ada. 

Sejatinya, program KLA terindikasi mandul untuk dijadikan solusi menghapuskan kejahatan anak saat ini, sebab program ini lahir dari mabda sekularisme kapitalisme. Sebuah pandangan hidup yang memisahkan aturan agama dari kehidupan, dan yang menjadi standar/ tolak ukur perbuatan hanya berdasar pada nilai untung-rugi. 

Maka tak ayal, tujuan awal ditetapkannya program KLA ini demi menjamin perlindungan kepada anak,  justru berbelok hanya dijadikan ajang perlombaan untuk mengejar prestasi atau gengsi semata.

Sistem Islam Menjamin Perlindungan Anak

Semua tentu sepakat bahwa anak merupakan generasi harapan baik bagi orang tua, bangsa, negara, maupun agamanya. Maka rusaknya anak akan berpengaruh pada perubahan peradaban di masa akan datang. Oleh sebab itu, Islam sangat memperhatikan perlindungan dan keamanan setiap anak. 

Dalam sistem Islam  terdapat tiga mekanisme penting yang harus diterapkan untuk menyelesaikan berbagai problem kejahatan terhadap anak termasuk kejahatan seksual. Diantaranya adalah  sistem pendidikan Islam, sistem ekonomi Islam, dan sistem sanksi Islam. 

Pertama, dalam sistem pendidikan Islam, tiap output pendidikan dibentuk untuk memiliki kepribadian Islam, yakni memiliki pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah) Islam. Dengan kepribadian seperti ini akan menjadi benteng pertahanan awal bagi anak agar tidak terjerumus kedalam berbagai bentuk penyimpangan seksual. 

Kedua, dalam sistem ekonomi Islam, kebutuhan primer rakyat akan menjadi tanggung jawab negara yang wajib dipenuhi baik secara langsung maupun tidak langsung. Negara wajb menyediakan lapangan pekerjaan kepada setiap kepala keluarga agar dapat memenuhi nafkah keluarganya. Lapangan pekerjaan yang memadai sangat bisa disediakan oleh negara yang menerapkan sistem Islam, sebab sumber kekayaan alam negara tidak akan diserahkan pengeloaannya kepada asing atau pihak swasta.

Sebagaimana yang disebutkan dalam sabda Rasulullah Saw:
Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: air, api, dan padang rumput.” (HR Ibnu Majah dan At-Thabrani)

Artinya kekayaan alam yang jumlahnya melimpah merupakan hak setiap rakyat yang pengelolaannya diserahkan penuh kepada negara. Dengan mekanisme seperti ini, alasan desakan ekonomi tidak akan bisa membenarkan berbagai bentuk penyimpangan seksual yang ada.

Ketiga, sistem sanksi dalam Islam akan berfungsi sebagai upaya kuratif yang dapat memberikan efek jerah kepada pelaku kejahatan anak. Sanksi tersebut bisa berupa ancaman, penjara, cambuk, diasingkan, sampai hukuman mati, sesuai kadar kejahatan yang dilakukan oleh pelaku. 

Sistem sanksi yang tegas ini juga akan di dukung oleh para Qadhi (hakim) yang adil sebab mereka memiliki benteng pertahanan awal berupa kepribadian Islam. Sehingga para hakim tersebut tidak akan bisa disuap untuk mengurangi kadar hukuman seseorang.

Seperti itulah Islam dalam mengatur tatanan kehidupan. Islam mampu menjadi solusi atas setiap problem yang dihadapi saat ini, khususnya kejahatan seksual terhadap anak. Hal itu telah terbukti selama 13 abad lamanya yang terbentang sampai 2/3 dunia. Hanya saja sistem Islam tidak akan mungkin dapat terterapkan secara sempurna kecuali ada institusi negara yang mewadahinya, dalam hal ini disebut sebagai daulah Khilafah Islamiyah.
Wallahu'lam Bissawab.

Oleh: Nurhikmah
Tim Pena Ideologis Maros
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments