TintaSiyasi.com -- Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mengkritik momen perayaan ulang tahun Ketua DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) Puan Maharani di rapat paripurna saat demo buruh terkait kenaikan BBM sedang berlangsung. Peneliti Formappi Lucius Karus menilai hal itu memalukan.
Lucius mengatakan momen tersebut memperlihatkan seberapa serius komitmen anggota DPR sebagai wakil rakyat. Dia menilai momen itu mengolok-olok rakyat. Menurut Lucius, Puan seharusnya menemui rakyat.
Lucius juga menyoroti rapat paripurna yang dijadikan sebagai ajang perayaan ulang tahun. Dia mengatakan rapat paripurna itu bak panggung tertinggi untuk memperjuangkan nasib rakyat bukan diselipkan dengan urusan pribadi.
Hal ini membuktikan bahwa DPR tidak mewakili rakyat dan terlihat tak peduli dengan rakyat. Karena itu mereka yang mestinya sedang bertemu di Paripurna bisa saja langsung merespons tuntutan publik yang sedang berdemonstrasi. Tetapi mereka justru memilih mengabaikan massa rakyat.
Inilah bukti bahwa DPR bukanlah wakil rakyat, faktanya saat pemberi mandat datang secara serentak justru diabaikan. Tidak ditemui, bahkan ditinggal pesta. Benar-benar kurang adab.
DPR Tak Berempati
Peristiwa perayaan ulang tahun di rapat paripurna DPR di dalam gedung DPR ketika diluar gedung ribuan rakyat berdemo menuntut keadilan, membuktikan hilangnya empati para anggota DPR.
Tetapi sejak kapan para politisi dalam demokrasi memiliki empati? Kursi kekuasaan telah membuat hati nurani mereka seakan mati suri. Suara rakyat sekadar batu loncatan agar mereka bisa berkuasa nanti. Apa daya, rakyat tidak berkutik dengan berbagai kebijakan penguasa hari ini. Aksi dan demo tidak digubris. Begitu pula para politisi, malah sibuk mencari pasangan kontestasi jelang pemilu nanti.
Wakil rakyat adalah orang-orang yang mewakili rakyat, yang menerima usulan dan pendapat, keluh kesah serta persoalan yang dihadapi rakyat. Jika terjadi ketidakadilan kepada rakyat maka wakil rakyatlah orang pertama yang membela hak-hak rakyat untuk menuntut keadilan bukan justru yang mengusulkan kebijakan yang menyengsarakan rakyat.
Akibat kebijakan wakil rakyat ini, kondisi rakyat tidak baik-baik saja. Beban rakyat kian hari kian bertambah pelik secara bertubi-tubi. Sebelumnya pemerintah resmi menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10% menjadi 11%. Bukannya memperbaiki ekonomi masyarakat karena dampak dari kenaikan PPN tersebut. Pemerintah justru menaikkan harga BBM.
Kenaikan BBM dapat berimbas ke mana-mana, termasuk naiknya angka kemiskinan di Indonesia. Dampak lainnya ialah penutupan sejumlah usaha UMKM karena tidak kuat menanggung naiknya biaya produksi.Efek domino lainnya pengangguran pun bertambah, karena UMKM di Indonesia menyerap 97% serapan tenaga kerja.Kehidupan rakyat makin sulit karena harga-harga meroket naik.
Dari peristiwa peristiwa ini mengakibatkan sinyal ketidakpercayaan pada parlemen kian membesar. Masyarakat, kini, beralih harapan pada parlemen jalanan. Terbukti hari-hari ini demo makin marak seiring dengan makin buruknya pengelolaan urusan rakyat oleh duo legislatif yudikatif ini.
Gelombang demo tidak hanya melibatkan mahasiswa, siswa STM, buruh, petani, nelayan bahkan emak-emak pun turun ke jalan. Dalam sistem demokrasi, yang jargonnya “dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat,” nyatanya adalah ide utopis untuk diterapkan.
Selain itu mahalnya sistem demokrasi tersebut meniscayakan mereka yaitu para pemilik modal yang bisa duduk di kursi-kursi dewan. Dengan modal dan kekuasaan di tangan, mereka bisa sesuka hati membuat perundang-undangan untuk memuluskan bisnis dan urusan mereka.
Dengan melihat track record integritas anggota DPR dan pejabat pemerintahan sangat buruk, sistem demokrasi yang berbiaya tinggi ini pun membuat anggota parpol yang duduk di parlemen menjadi buta dan tuli akan penderitaan rakyat.
Hal ini terbukti dengan peristiwa perayaan ulang tahun dalam rapat paripurna DPR bersamaan ketika rakyat melakukan demo di depan gedung DPR
Pertanyaannya, adakah sistem perwakilan rakyat yang mampu menjawab kegelisahan masyarakat atas keterwakilan mereka? Jawabannya: ada. Tak lain adalah sistem Islam yaitu sistem khilafah.
Dalam sistem ini, hanya khalifah saja yang dipilih langsung oleh rakyat atau melalui Majelis Umat. Dan itu harus dirampungkan kurang dari tiga hari dua malam. Itu batas maksimal umat Islam tanpa khalifah. Jelas ini adalah sistem yang sangat efektif dan efisien.
Jadi, meski dibolehkan ada kampanye, tapi pasti dengan biaya yang relatif tidak besar karena sempitnya waktu. Dan dengan kerasnya larangan suap (money politics), maka hanya mereka yang secara natural sudah lama dikenal karena ilmu, kepribadian, dan kiprahnya di tengah umat saja yang akan dengan mudah meraih dukungan.
Bukan pemimpin palsu layaknya sekarang yaitu mereka yang memanfaatkan media untuk membentuk citra diri dan menebar duit. Sedang perangkat di bawahnya seperti wali (setingkat gubernur) dan amil (setingkat bupati/walikota) dipilih oleh khalifah.
Majelis Umat, Perwakilan Umat
Lalu siapakah perwakilan umat? Khilafah memiliki Majelis Umat. Majelis ini merupakan majelis perwakilan rakyat atau umat. Para wakil rakyat itu dipilih langsung oleh rakyat dalam suatu wilayah (semacam sistem distrik). Mereka mewakili rakyat untuk melakukan koreksi atau muhasabah terhadap khalifah dan menyampaikan pendapat kepada khalifah. Bedanya dengan DPR, majelis umat tidak memiliki fungsi legislasi atau hak membuat hukum.
Sesuai dengan prinsip al-siyadah lisy syar’iy (kedaulatan di tangan syariat), maka kewenangan membuat hukum atau yang menentukan halal dan haram adalah Allah SWT, bukan rakyat atau wakil rakyat.
Syariat ditetapkan melalui ijtihad para mujtahid. Bila hasil ijtihad berbeda-beda, maka khalifah berhak men-tabanni atau mengadopsi salah satu hasil ijtihad yang dipandang paling kuat atau paling rajih. Hasil tabanni inilah yang kemudian dijadikan sebagai hukum negara.
Meski begitu, tidak semua hal perlu di-tabanni khalifah. Hanya hukum yang menyangkut kemashlahatan rakyat saja yang di-tabanni. Sedang masalah akidah dan masalah-masalah privat, seperti kayfiah shalat, khalifah membiarkan rakyat memilih pendapat yang dianggapnya paling benar.
Jadi, dalam bahasa sekarang, Majelis Umat hanya menjalankan fungsi koreksi, bukan legislasi. Tidak ada celah baginya untuk membuat hukum pesanan atau sesuai hawa nafsunya.
Dengan sistem seperti ini tak akan lahir RUU KPK yang melindungi koruptor, yang ternyata koruptornya banyak bersembunyi di balik meja dewan, duduk rapi, dan berdasi. Tak akan lahir UU minerba, listrik, air, dan yang lainnya; yang hanya menguntungkan para pengusaha dan menyiksa rakyat.
Majelis Umat akan menjadi mata dan telinga umat, mereka yang akan menjadi perpanjangan lidah umat dalam menyampaikan kesusahan maupun nasihat kepada penguasa. Mereka yang akan menjadi mitra kritis penguasa dalam menjalankan kekuasaan agar tak menyimpang dari syariat Allah SWT.
Jika ada pilihan sistem yang jauh lebih baik dan sahih (karena datangnya dari Zat yang Mahabaik dan Mahahebat), lalu mengapa tetap bertahan dengan sistem demokrasi yang cacat macam hari ini? Saatnya buang demokrasi ke tong sampah. []
Oleh: Nur Hidayah
Aktivis Muslimah
0 Comments