TintaSiyasi.com -- Korupsi merupakan kejahatan luar biasa atau extraordinary crime yang mestinya diselesaikan sebaik mungkin hingga tuntas. Para koruptor sebagai pelaku korupsi mestinya diberi sanksi yang berefek jera agar ke depannya tidak mengulangi lagi. Pun individu yang lain dicegah agar tidak berbuat serupa.
Namun, hal ini justru berbeda dengan realita yang terjadi di negeri ini. Di mana para pemangku jabatan dari level tinggi hingga di level bawah tersandung korupsi. Individu yang memegang peranan penting untuk memberantas korupsi serta yang memegang peranan mendidik generasi agar tak terjerumus korupsi justru terjerat korupsi.
Dengan demikian, adalah hal yang wajar jika negeri ini disebut negeri yang ramah koruptor pun sistem yang digunakan, kapitalisme demokrasi adalah sistem ramah koruptor. Bagaimana tidak, teranyar, alih-alih koruptor diperberat hukumannya justru dibebaskan bersyarat dengan pemerintah berdalih bahwa ini sesuai aturan.
Dilansir dari laman news.detik.com (07/09/2022), 23 narapidana koruptor diberikan remisi yakni pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana yang memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Aturan terkait ini termuat dalam Permenkumham Nomor 7 tahun 2022.
Dalam aturan itu, disebutkan bahwa bagi koruptor yang ingin mendapatkan remisi koruptor sehingga dapat bebas bersyarat harus memenuhi persyaratan. Koordinator Humas dan Protokol Ditjen Pas, Rika Aprianti mengungkap syaratnya yakni terpidana wajib membayar lunas denda dan uang pengganti bagi untuk mendapatkan hak remisi maupun integrasi (pembebasan bersyarat, cuti bersyarat dan cuti menjelang bebas).
Hal ini tentu mengundang atensi publik. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut pemberian remisi bagi para koruptor itu mengindikasikan kejahatan korupsi adalah kejahatan biasa juga sangat tidak masuk akal. Koordinator ICW Adnan Topan Husodo menyoroti mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari yang baru dua tahun di penjara kini bebas bersyarat, padahal kasus korupsi yang menjeratnya tergolong besar.
Hal yang menggelitik berikutnya adalah mantan koruptor yang tidak kehilangan hak mencalonkan diri dalam kontestasi politik. Ini karena tidak ada peraturan yang melarang. Mereka (eks koruptor) hanya melampirkan keterangan telah selesai menjalani pidana. Wajar jika sistem demokrasi yang menaungi negeri ini disebut ramah koruptor karena koruptor tetap memiliki kedudukan tinggi di mata publik.
Begitulah realita demokrasi kapitalisme. Aturan yang berasal dari buatan tangan manusia tak bisa menyelesaikan, justru menambah sederetan problem. Maka, wajar jika kian hari korupsi kian menggurita. Wajar pula jika kian hari korupsi kian menyasar banyak pihak, termasuk generasi muda. Pun wajar jika Indonesia yang katanya negara hukum tak bisa menyelesaikan problematik korupsi.
Sebagai manusia yang melekat padanya sifat lemah, terbatas, dan serba kekurangan mestinya menyerahkan segala urusan pada yang Mahamengetahui segala sesuatu. Manusia mestinya mengambil aturan Sang Mudabbir tak hanya perkara ritual seperti shalat, puasa, zakat, dan haji belaka tetapi juga masalah lainnya seperti muamalah dan sanksi.
Demikian watak demokrasi kapitalisme yang diadopsi negeri ini, mengagungkan aturan manusia dan memarginalkan aturan Allah. Bagaimana mungkin perkara yang menimpa bisa terselesaikan? Bagaimana mungkin negeri ini dijauhkan dari musibah apabila meletakkan kedaulatan di tangan rakyat? Sungguh, tidak akan pernah bisa selama berpegang pada sistem buatan manusia.
Tidak demikian apabila kita melihat realita di dalam sistem Islam, yang meletakan kedaulatan di tangan syariat. Dalam sistem Islam, aturan yang diadopsi sepenuhnya dari aturan Allah, Sang Pencipta segala sesuatu. Individunya berkeyakinan bahwa hanya aturan Allah yang wajib diterapkan, membawa kemaslahatan dan rahmat bagi semesta alam.
Terkait koruptor, yang mengambil harta yang pada dasarnya bukan miliknya, syariat telah memberi batasan bahwa harta yang diperoleh secara ilegal adalah haram. Rasulullah SAW bersabda, "Siapa saja yang kami angkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan pemberian untuknya (gaji) maka apa yang dia ambil setelah itu adalah harta ghulul (HR Abu Dawud, Ibn Khuzaimah dan al-Hakim)."
Dengan demikian, pendapatan pejabat harus jelas. Ini memerlukan kebijakan dalam hal pencatatan pertambahan harta kekayaan seperti yang terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khaththab ra. Jika ada kelebihan kekayaan dari jumlah yang wajar, maka Umar membagi dua kelebihan harta mereka itu, setengah untuk pejabat itu dan setengahnya disita dan dimasukkan ke Baitul Mal.
Terkait sanksi yang diberikan kepada koruptor, korupsi termasuk sanksi ta'jir dimana bentuk dan kadarnya ditentukan dari ijtihad khalifah. Bentuknya bisa berupa penyitaan harta, tasyhîr (diekspos), penjara sangat lama, dijilid, hingga hukuman mati. Sebelum adanya sanksi, korupsi dicegah dengan adanya keimanan yang tumbuh dan dipelihara oleh sistem Islam.
Dengan serangkaian upaya kuratif dan preventif yang ada, tampak bahwa sistem Islam bukanlah sistem yang ramah koruptor, berbeda dengan sistem demokrasi kapitalisme. Maka, jika menghendaki hidup bersih dari korupsi pun bertindak tegas atasnya, mari sama-sama berjuang untuk wujudkan sistem Islam.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Khaulah
Aktivis Back to Muslim Identity
0 Comments