TintaSiyasi.com -- Tak perlu menunggu lama, isu kenaikan harga BBM subsidi akhirnya resmi juga ditetapkan pada Sabtu, 3 September lalu. Keputusan tersebut diumumkan langsung oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif bersama Presiden Jokowi dalam kanal Youtube Sekretariat Presiden.
Kenaikan harganya pun lumayan besar, seperti harga Pertalite dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp10 ribu per liter. BBM jenis solar subsidi dari Rp 5.150 menjadi Rp 6.800 per liter. Bahkan tak hanya BBM bersubsidi, BBM nonsubsidi pun disebutkan mengalami penyesuaian harga. Harga Pertamax nonsubsidi dari yang awalnya Rp 12.500 per liter, naik menjadi Rp14.500 per liter.
Sungguh menyayat hati, di tengah kondisi ekonomi yang belum pulih setelah pandemi Covid-19. Pemerintah malah menetapkan kebijakan yang justru makin menyengsarakan rakyat. Banyak pihak yang tidak sepakat dengan kebijakan ini, masyarakatpun ramai-ramai melakukan aksi demonstrasi untuk menolak kenaikan harga BBM. Namun, berkoar sekeras apapun, nampaknya keputusan Pemerintah sudah paten.
Dalihnya, kenaikan harga BBM ditetapkan, sebab ada 70 % pemberian subsidi yang tidak tepat sasaran juga terjadi peningkatan anggaran subsidi dan kompensasi BBM sebesar tiga kali lipat di tahun 2022. Namun, betulkah kebijakan menaikkan harga BBM subsidi adalah solusi dan semata demi kemaslahatan rakyat?
Menanggapi hal ini dikutip dari BBC News Indonesia (05/09/2022), Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menyebukan keputusan menaikkan harga BBM merupakan bentuk ketidaksesuaian antara masalah dan solusi. Menurutnya kenaikan harga tidak akan menyelesaikan akar permasalahan. Fahmi juga menambahkan, ketika pemerintah mampu melakukan perbaikan dengan melakukan pembatasan dan pengawasan penggunaan BBM maka beban subsidi dapat diminimalisir, tanpa perlu menaikan harga BBM.
Parahnya kenaikan BBM ini tentu bisa berdampak buruk pula pada harga bahan-bahan pokok kedepannya. Sebagaimana yang disampaikan oleh Ketua Bidang Penguatan Usaha dan Investasi DPP IKAPPI Ahmad Choirul Furqon yang dikutip dari media Liputan6.com (6/9/2022), "Kenaikan harga BBM ini akan berdampak sangat besar terhadap kenaikan harga sembako. Mungkin hari ini masih belum terlalu terlihat, karena masih penyesuaian harga, namun kenaikan harga sembako itu pasti."
Dengan fakta seperti ini, tak mengherankan jika kemudian kepercayaan rakyat atas rezim hari ini makin terkikis. Wajar jika kemudian spekulasi muncul, benarkah kenaikan harga BBM ini demi kepentingan rakyat menengah bawah atau sekadar alasan yang dibuat-buat oleh sang pembuat kebijakan untuk meraup keuntungan di dalamnya?
Kapitalisme Ladang di Balik Problem
Tak bisa dipungkiri negara saat ini memang masih berada dalam cengkraman kapitalisme. Sebuah sistem yang berasaskan pada ideologi sekularisme (paham yang memisahkan aturan agama dari kehidupan) dan berstandar pada nilai materi semata. Halal-haram diabaikan, kemaslahatan umat berada di urutan kesekian dan keuntungan materilah yang menjadi fokus pencapaian.
Kenaikan harga BBM hanyalah salah satu dampak terterapkannya kapitalisme ini. Akibat standar materi tersebut, melahirkan penguasa-penguasa yang bermental kapitalistik, bukan justru berperan sebagai pelayan dan pengurus urusan rakyat. Hubungan antara rakyat dan penguasa seolah layaknya antara pedagang dan pembeli. Bahkan rakyat dipandang hanya sebagai beban.
Hal ini terbukti dari sikap pemerintah yang mengambil kebijakan menaikkan harga BBM subsidi dan menggantinya dengan dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) meski banyak yang menolak, hanya karena mensinyalir terdapat banyak pemberian subsidi yang tidak tepat sasaran. Padahal BBM sendiri merupakan hak kepemilikan umum yang setiap rakyat berhak untuk memilikinya dengan harga murah bahkan gratis tanpa memandang kalangan.
Terkait hal ini, Pakar Ekonomi Dr. Arim Nasim, S.E., M.Si., Ak., C.A. juga turut berkomentar. Menurutnya, ada dua hal yang menjadi akar masalah karut-marut pengelolaan BBM di Indonesia (TintaSiyasi.com, 5/9/2022).
Pertama, paradigma pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang kapitalistik, yaitu didasarkan pada ekonomi kapitalis. “Paradigma sistem ekonomi kapitalis ini melahirkan liberalisasi (swastanisasi) pengelolaan sumber daya alam,” ungkapnya.
Kedua, karut-marut pengelolaan BBM lantaran penguasa yang tidak amanah. “Disadari atau tidak, semakin ke sini penguasa negeri ini bukannya lebih baik, justru semakin korup, semakin dikuasai oleh oligarki, BUMN hanya menjadi bancakan partai politik dan kelompok-kelompok tertentu, sehingga merugi akibat faktor politik dan kepentingan oligarki.”
Islam sebagai Sumber Solusi
Untuk mendapatkan solusi menyelesaikan problem kenikan harga BBM serta berbagai problem lainnya, pada dasarnya tak cukup dengan pergantian personil para pembuat kebijakan itu saja. Sebab yang menjadi akar permasalahannya adalah terletak pada penerapan sistem sekuler kapitalisme. Sehingga yang perlu diganti pula adalah sistem yang diemban saat ini.
Islam bukan hanya sebuah akidah tetapi juga merupakan ideologi yang melahirkan sistem aturan kehidupan yang bisa menjadi solusi paripurna menggantikan kapitalisme saat ini. Dalam Islam pemimpin memiliki peran sebagai pelindung dan pengurus urusan rakyat. Termasuk dalam hal pemenuhan kebutuhan pokok maupun layanan umum seperti penyediaan bahan bakar yang terjangkau.
Rasulullah SAW. bersabda: “Imam/ Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya” [HR. Muslim dan Ahmad].
Adapun langkah-langkah pengelolaan migas dan BBM yang ditetapkan dalam Islam sebagai sebuah solusi pernah dijelaskan oleh Peneliti Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak yang dikutip pada media TintaSiyasi.com (5/9/2022).
Pertama, mengelola migas secara mandiri oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Kedua, minyak yang diproduksi dan diolah di kilang Pertamina mesti dipatok dengan biaya produksi plus margin tertentu.
Ketiga, pemerintah juga perlu menghapus komponen pajak, seperti PPN 11 persen, Pajak Daerah untuk BBM sebesar lima persen.
Keempat, pemerintah harus menggunakan standar emas dan perak dalam melakukan transaksi perdagangan internasional.
Kelima, pemerintah perlu memanfaatkan windfall pendapatan dari sektor pertambangan migas, mineral, dan batubara untuk meningkatkan investasi di sektor energi, seperti peningkatan investasi eksplorasi migas, pembangunan kilang, dan pembangunan infrastruktur sambungan gas rumah tangga dan industri, serta pengembangan energi terbarukan.
Keenam, menghentikan pembangunan berbasis hutang riba yang telah menyedot anggaran yang jauh lebih besar dibandingkan dengan alokasi subsidi.
Dengan pengelolaan serta pengaturan migas dan BBM seperti ini, maka tentu problem yang diresahkan mayoritas masyarakat saat ini tidak akan terjadi. Namun sistem Islam secara komprehensif tidak akan mungkin dapat terterapkan jika tak ada institusi negara yang menaunginya, dalam hal ini disebut sebagai Daulah Khilafah Islamiah.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Nurhikmah
Tim Pena Ideologis Maros
0 Comments