Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Bjorka Hadir sebagai Pengalihan Isu Politik, Benarkah?


TintaSiyasi.com -- Saat ini, Pemerintah sedang dibuat kelimpungan oleh sosok “hacker bertopeng” bernama Bjorka. Ia berhasil meretas data pribadi beberapa pejabat negara, lalu mengunggahnya di media sosial. Mereka yang kena hack antara lain Ketua MPR Puan Maharani, Menteri BUMN Erick Thohir, Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Menkominfo Johnny G. Plate, dan lain-lain. Meski hanya data umum yang kena hack, tetapi sosok Bjorka telah berhasil menebar ketidaknyamanan.

Terlebih sang hacker pun mengaku bisa melakukan banyak hal, termasuk membongkar pelaku kasus kriminal. Salah satunya, menemukan otak pembunuhan aktivis HAM Munir yang kasusnya nyaris dipeti-eskan. Bahkan, ia mengklaim telah berhasil meretas surat-surat yang dikirimkan pada Presiden Jokowi dan meretas dokumen rahasia dari BIN.

Faktanya, kasus kebocoran data tidak terjadi kali ini saja. Kebocoran kecil menyangkut data pribadi, diakui oleh Menkominfo, terjadi setiap detik. Adapun kebocoran besar juga sudah berkali-kali terjadi, baik menyangkut data pribadi masyarakat, lembaga pemerintahan, maupun badan usaha milik negara. Beberapa kasus kebocoran besar yang pernah terjadi akibat ulah Bjorka juga antara lain kebocoran data pelanggan Tokopedia, pembocoran data lebih dari 200 juta pengguna Wattpad, 17 juta pelanggan PLN, dan 26 juta data pelanggan internet IndiHome.

Berikutnya, Bjorka juga menggemparkan masyarakat dengan pembocoran 1,3 miliar data registrasi SIM card yang diklaim berasal dari Kemenkominfo. Juga pembocoran data 105 juta penduduk dari database Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kasus kebocoran ini meliputi data pribadi seperti NIK, user ID, password, nomor ponsel, dan lain-lain. Ada dugaan data yang bocor diperjualbelikan di forum hacker. Konsumen utamanya adalah para pebisnis dan pihak-pihak yang berkecimpung di dunia politik.

Mungkin inilah salah satu jawaban dari pertanyaan masyarakat selama ini. Nomor ponsel mereka sering kali dibanjiri berbagai pesan, baik berupa iklan, termasuk tawaran pinjol hingga berbagai pesan berbau penipuan. Rupa-rupanya, data pribadi mereka, termasuk nomor ponselnya, memang sudah lama mengalami kebocoran. Di luar itu, tidak sedikit kasus peretasan data dilakukan oleh hacker untuk tujuan kriminal. Buktinya, kasus-kasus jebolnya rekening bank, perampokan secara digital maupun upaya pembunuhan karakter seseorang dengan penyebaran data pribadi di media sosial makin lama makin sering terjadi tanpa bisa diselesaikan.

Respons para pejabat pemerintah atas kasus ini sungguh menggemaskan. Mahfud M.D., misalnya, sempat melontarkan pernyataan, data yang diretas bukan rahasia negara. Begitu pun pejabat lainnya, mereka rata-rata menyebutkan bahwa yang diretas hanyalah data umum, meski tetap harus diselesaikan. Wajar jika Menkominfo pun awalnya terkesan abai. Ia hanya menekankan tentang pentingnya pihak penyelenggara sistem elektronik patuh pada aturan. Sekaligus menekankan pentingnya penyelenggara sistem meningkatkan kemampuan SDM dan teknologi sekuriti digital.

Adapun terhadap masyarakat banyak, Menkominfo hanya memberikan beberapa wejangan. Antara lain, agar masyarakat menjaga NIK mereka, dan sering mengganti password platform digital pada semua perangkat yang mereka gunakan. Bahkan ada kesan, Menkominfo ingin melempar tanggung jawab. Misalnya, ia mengatakan, penanganan serangan siber yang terjadi di ruang digital sejatinya bukan merupakan ranah kewenangannya, melainkan domain Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).

Wajar jika muncul beragam kritikan, karena masyarakat tentu akan sangat dirugikan. Data masyarakat bisa disalahgunakan, dan faktanya sudah banyak yang menjadi korban. Sementara pihak yang semestinya menyelesaikan justru terkesan lepas tangan. Semestinya, semua fakta ini menjadi peringatan besar bagi kita semua, terutama pihak yang berwenang. Betapa negeri ini benar-benar tidak memiliki kedaulatan digital. Negara telah gagal memberi perlindungan kepada masyarakat, termasuk dalam hal keamanan data digital.

Alih-alih bisa diharapkan mampu memberi benteng perlindungan bagi rakyat, Kemenkominfo dan BSSN pun nyatanya gagal melindungi pertahanan digital pemerintah. Wong data mereka pun bisa jebol. Betapa tidak, selama ini penguasa alih-alih berupaya dengan berbagai cara untuk memperkuat pertahanan digital demi menjaga wibawa negara sekaligus menjaga keamanan warganya, penguasa justru sibuk mengurus hal yang kontraproduktif dengan upaya menyolidkan hubungan dengan rakyatnya.

Terkait keamanan digital misalnya, pihak stakeholder justru fokus ke arah proyek penanggulangan isu radikalisme di dunia maya. Proyek ini justru telah memicu polemik berkepanjangan dan menjadi teror terselubung bagi masyarakat yang berposisi sebagai oposan. Keberadaan polisi siber dan UU ITE bahkan cenderung jadi alat gebuk penguasa terhadap pihak-pihak yang berseberangan.

Terkait serangan Bjorka sendiri, Presiden baru merespons saat kejadian sudah berulang dan kritik keras datang bertubi-tubi. Pada rapat terbatas Senin kemarin (12/9/2022) diputuskan pemerintah akan membentuk emergency response team dari BSSN, Kominfo, Polri, dan BIN yang bertugas untuk melakukan asesmen berikutnya. Selanjutnya, pemerintah pun akan mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Pelindungan Data Pribadi (RUU PDP) yang saat ini sudah disetujui di rapat tingkat I oleh Panja Komisi I DPR RI dan pemerintah. 

Pengesahan RUU PDP ini diharapkan akan menjadi payung hukum baru untuk menjaga ruang digital di Indonesia. Padahal urusan kedaulatan tentu menyangkut banyak hal, antara lain penyiapan SDM, riset, teknologi, infra dan supra struktur, serta dukungan kepercayaan masyarakat yang kuat kepada negara. Faktanya, kasus Bjorka ini menunjukkan bahwa wibawa dan kedaulatan negara dalam keadaan terancam. Negara benar-benar dalam kondisi lemah. Tidak bisa diharapkan jadi tempat perlindungan bagi rakyatnya.

Asas sekularisme liberal yang menjadi fondasi tegaknya negara, serta kapitalisme yang menjadi tata aturan dalam menyelesaikan problem kemasyarakatan, meniscayakan munculnya kesenjangan di berbagai aspek kehidupan, mulai gap sosial, ekonomi hingga politik. Hubungan kemanusiaan dalam sistem masyarakat seperti ini biasanya sarat dengan polarisasi, persaingan, konflik kepentingan, dan suasana saling menjatuhkan. Tidak terkecuali hubungan penguasa dan rakyatnya. 

Negara atau penguasa layaknya seorang pedagang, karena di belakangnya ada kepentingan besar para pemodal. Tidak heran jika kebijakan yang dikeluarkan penuh dengan hitungan-hitungan. Akibatnya, negara lumrah bertindak zalim dan abai terhadap kepentingan rakyat, sementara rakyat lazim membenci penguasanya. Ujung-ujungnya, negara kehilangan pertahanan.

Pada situasi ini, sedikit serangan, baik yang datang dari dalam maupun luar akan sulit dilawan oleh negara. Seperti tampak pada saat sekarang, seorang Bjorka, apakah dia sendiri atau bersama sebuah geng mafia, bisa membuat negara begitu kelimpungan.

Kasus keamanan digital sejatinya hanya satu dari sekian banyak problem yang gagal diselesaikan penguasa yang menerapkan sistem sekuler kapitalisme neoliberal. Karena sistem ini justru memiliki berbagai faktor pelemah bagi negara untuk membangun kedaulatan, termasuk kedaulatan digital. Hal ini sangat berbeda dengan Islam. Negara dalam Islam benar-benar bertindak sebagai pemegang sejati kepemimpinan. Yakni sebagai pengurus sekaligus pelindung dari semua hal yang membahayakan rakyatnya.

Negara akan melakukan apa pun yang halal demi memastikan fungsi kepemimpinan ini berjalan sempurna. Keimanan atas pertanggungjawaban di akhirat benar-benar begitu lekat hingga para pejabat pun terdorong bertindak hati-hati untuk melanggar syariat dan mengkhianati semua amanah yang ada di pundak. Karenanya marwah negara dan rakyatnya menjadi hal yang sangat dijaga. Hal ini sejalan dengan penerapan syariat Islam kafah yang menutup celah kelemahan di semua bidang kehidupan.

Keadilan dan kesejahteraan rakyat terjamin dengan sistem ekonomi dan moneter Islam. Harta, akal, kehormatan, nyawa, dan agama, terjaga dengan sempurna dengan penerapan sistem sosial, media massa, dan sanksi Islam. Sementara kemandirian dan kedaulatan negara dijaga penuh dengan sistem hankam dan politik luar negeri Islam. Penerapan semua aturan Islam ini mencegah siapa pun melakukan hal yang akan menimbulkan kemudaratan. 

Aktivitas spionase yang melemahkan negara akan dilawan dengan penyiapan SDM dan kekuatan teknologi yang memadai. Semua ini sejalan dengan penerapan seluruh sistem Islam, termasuk sistem pendidikan, politik, ekonomi, pertahanan, jihad fisabilillah, dan lainnya. Semua berangkat dari sebuah paradigma bahwa pemimpin dalam Islam adalah pengurus urusan umat dan penjaga kemaslahatan mereka. Kasus Bjorka semestinya mengingatkan kita akan buruknya sistem hidup yang saat ini diterapkan. 

Sekaligus menyadarkan tentang urgensi mewujudkan sistem kepemimpinan Islam pada masa sekarang. Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu (laksana) perisai yang (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya. Jika seorang imam (Khalifah) memerintahkan supaya takwa kepada Allah ’azza wajalla dan berlaku adil, maka dia (khalifah) mendapatkan pahala karenanya, dan jika dia memerintahkan selain itu, maka ia akan mendapatkan siksa” (HR Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dan lain-lain). []


Oleh: Nor Faizah Rahmi, S.Pd.I
Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Remaja
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments