Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Bergabung ke WTO, Inikah Penyebab Kenaikan Telur?


TintaSiyasi.com -- Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan dan Menteri Sosial (Mensos) Tri Risma Harini ‘memanas’ soal penyebab kenaikan telur yang meresahkan banyak kalangan akhir-akhir ini. Mana yang benar? Entahlah. Mendag mengatakan harganya naik karena bansos. Sedangkan Mensos kekeh membantahnya. Bansos bentuknya uang, kilahnya, sedangkan apakah penerima bansos semuanya beli telur? Tentu tidak. 

Tapi bagaimana kalau kita pindah ke faktor lain penyebab naiknya harga telur? Pakan ayam misalnya. Indonesia masih bergantung dengan impor jagung yang menjadi dominan dalam komposisi pakan ayam. Apalagi pakan ini mempengaruhi biaya sampai 60%. Kalau harga pakannya naik, maka kenaikan harga telur ayamnya pun tak bisa dielakkan.

Naiknya pakan disebabkan negeri kita ini menerapkan pasar bebas sebagai dampak bergabung ke WTO. Akhirnya, pasar dalam negeri kebanjiran produk impor dan produk lokal pun kalah. Maka, ketika harga internasional naik, harga dalam negeri pun ikut naik.

Padahal dalam Islam, hubungan sebuah negara Islam dengan negara lain haruslah yang berdampak positif bagi kaum Muslim. Kalau memberi mudharat, maka hubungan tersebut tidak akan dijalin. Apalagi kalau merugikan kebutuhan banyak orang seperti sekarang. Penguasa juga punya kewajiban untuk mensubsidi kebutuhan pakan bagi peternak, sebagai bentuk periayahan (pemeliharaan) terhadap rakyatnya.

Bukan hanya soal ‘ketergantungan dengan impor’ saja. Keadaan pasar dalam negeri yang sarat akan monopoli para korporasi pun ikut andil dalam drama kenaikan harga telur. Pengurangan produksi telur oleh para peternak ayam karena kerugian mereka September 2021 – April 2022 lalu pun disebabkan para pemodal besar yang tiba-tiba membuka usaha peternakan ayam telur dan menyebabkan over populasi hingga harga telur pun jatuh.

Padahal telur adalah kebutuhan yang dibutuhkan oleh hampir setiap keluarga. Memang dalam kapitalisme, para pemilik modal lah yang dengan seenak perut mengontrol harga-harga sesuai kepentingan mereka. Dan negara pun hanya menjadi ‘jembatan’ antara pengusaha dan rakyat. Bukannya mengedepankan rakyatnya, malah mempriorotaskan pengusaha demi cuan. Tapi sayangnya, ini adalah keniscayaan dalam sistem kapitalis demokrasi.

Katanya demokrasi ‘dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat’. Pertanyaannya, rakyat yang mana? Kenyataannya, sering kali rakyat dinomorsekiankan. Lihat saja kasus kenaikan harga BBM baru-baru ini, kira-kira rakyat yang mana ya yang diuntungkan? Siapa lagi kalau bukan para pengusaha minyak dan energi. Sedangkan rakyat kecil hanya mendapat pahitnya saja.

Rasulullah SAW pernah bilang bahwa seorang pemimpin adalah pelayan bagi rakyatnya. Bahkan Beliau mendoakan celaka bagi pemimpin yang mempersulit masyarakatnya.

Dari ‘Aisyah ra, ia berkata; aku mendengar Rasulullah SAW bersabda di rumahku ini:
Ya Allah, siapa saja yang menjadi pengatur (wali) dari urusan umatku, kemudian ia memberatkan mereka, maka beratkanlah ia. Siapa saja yang menjadi pengatur (wali) dari urusan umatku, kemudian ia lemah lembut kepada mereka, maka lemah lembutlah Engkau kepadanya" (HR. Muslim).

Jadi, penguasa yang menomorsekiankan rakyat tidak sesuai dengan yang Islam ajarkan. Karena Islam, sebagaimana politiknya yang bermakna riayah syuunil ummah (mengurusi urusan umat), mengajarkan bahwa tugas utama seorang pemimpin adalah mengayomi rakyatnya.

Wallahu a’lam bishshawab. []


Oleh: Asma
Sahabat TintaSiyasi
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments