Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Benarkah Dana Pensiun Jadi Beban Negara?


TintaSiyasi.com -- Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani kembali menuai kontroversi. Dalam acara 6th Annual Islamic Financial Conference (AIFC) yang digelar secara daring Rabu (24/8), ia mengeluhkan dana pensiun untuk Pegawai Negara Sipil (PNS) yang semakin besar mulai menjadi beban negara. Sontak saja, pernyataan ini menyakiti hati para pengabdi negara. 

Menurutnya, walaupun ada iuran pensiun yakni pemotongan gaji sebesar 8 persen tiap bulannya. Yang terdiri dari 4,75 persen untuk program jaminan pensiun dan 3,25 persen untuk program Jaminan Hari Tua (JHT). Tetapi, dana pensiun tetaplah menjadi beban negara, karena sampai saat ini manfaat pensiun PNS pusat dan daerah masih dibayarkan oleh pemerintah melalui APBN. 

"ASN, TNI, Polri memang mengumpulkan dana pensiun di PT Taspen (persero) dan di PT Asabri (persero). Tetapi untuk pensiunnya mereka [pekerja] nggak pernah membayarkan, yang membayarkan APBN penuh," ujar Sri Mulyani. 

Menurut Menkeu Sri Mulyani anggaran belanja pensiun PNS dinilai akan membebani APBN dalam jangka panjang. Pasalnya dana diberikan seumur hidup, bahkan ketika penerima sudah meninggal, lalu digantikan oleh pasangan atau anaknya. Belum lagi jumlah pensiunan PNS yang semakin tahun terus bertambah. 


Perubahan Skema 'Pay As You Go' menjadi 'Fully Funded'

Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Isa Rachmatarwata memperkirakan biaya dana pensiun bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) mencapai Rp119 triliun sampai akhir tahun 2022. Hal ini menurut pemerintah sangatlah besar dan memberatkan. Oleh karena itu, Menkeu Sri Mulyani kemudian mengubah skema pembayaran dana pensiun yang semula 'pay as you go' menjadi 'fully funded'

Dilansir dari website bppk.kemenkeu.go.id, Pay As You Go (PAYG) adalah sistem pensiun di mana tidak ada dana yang dikumpulkan atau disimpan di muka untuk mencukupi kebutuhan dana pensiun di masa depan. Sistem PAYG digunakan banyak negara untuk membiayai pensiun PNS-nya.

Setiap tahun, negara membayar dana pensiun dari pendapatan pajak dan iuran asuransi sosial pegawai yang masih aktif. Sehingga pegawai yang masih bekerja saat ini membayar pensiun pegawai yang jatuh masa pensiunnya.

Sementara itu, skema fully funded dilakukan dengan cara pegawai membiayai sendiri pensiun pegawai tersebut di masa mendatang dari uang yang dia kumpulkan beserta benefit yang dia dapatkan dari tabungan pensiun yang dia lakukan.

Pegawai mengumpulkan dana tertentu dari sebagian penghasilan yang diterima. Selanjutnya dana yang dikumpulkan tersebut dialokasikan untuk investasi pada berbagai instrumen investasi. Hasil dari tabungan beserta dengan pokok tabungan pegawai tersebut, selanjutnya akan dibayarkan kepada pegawai yang bersangkutan di masa pensiun mereka.

Dengan skema baru ini, pemerintah akan membentuk dana pensiun yang akan dikelola oleh Badan Layanan Umum (BLU), PT Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri. Selanjutnya, lembaga inilah yang bertugas membayarkan pensiunan PNS, bukan lagi diserahkan pada APBN. Hal inilah yang kemudian disebut pemerintah akan mengurangi beban APBN. Mengurangi beban negara. Benarkah? 


Alokasi APBN Nirfaedah

Padahal, sejatinya pembelanjaan APBN banyak dialokasikan pada hal-hal yang kurang bermanfaat bahkan tidak ada kepentingan rakyat di dalamnya. Misalnya, pembangunan infrastruktur yang pendanaannya terus membengkak. Ditambah pembangunannya pun tidak merata. Gencar bangun tol, saat tidak laku dengan mudahnya dijual ke swasta. Di saat yang sama, masih banyak akses warga yang terputus, rusak, dan tak layak.

Belum lagi proyek kereta cepat dan mobil esemka yang entah bagaimana. Gaji dan tunjangan pejabat yang sungguh luarbiasa. Pejabat yang kurang efisien keberadaannya seperti staf khusus presiden, badan pengurus Pancasila, dan lain-lain. Mengapa tidak dibubarkan saja? Bukankah semua itu memberatkan dana APBN juga? 

Belum lagi DPR dengan segudang fasilitas yang mewah dan berbagai tunjungan. Meski hanya menjabat dalam satu periode saja atau hanya lima tahun, anggota DPR akan mendapatkan pensiun seumur hidup. Berbanding terbalik dengan PNS yang harus menghabiskan puluhan tahun masa bakti baru mendapatkan jatah pensiunan. 


Kacamata Kapitalisme

Beginilah saat negara tidak berfungsi sebagai periayah atau pelayan bagi rakyatnya. Kebijakan perubahan skema dana pensiun ini sebenarnya terlahir kacamata kapitalisme. Dalam sistem kapitalis, negara ibarat perusahaan yang mempekerjakan pegawainya. Alhasil, hubungan negara dan rakyatnya sebatas hanya untung dan rugi. Pemerintah tidak mau rugi dengan memberi dana pensiun yang jumlahnya lebih besar dari iuran dari PNS semasa ia berkerja. 

Ditambah, sistem ekonomi kapitalisme tidak memiliki APBN yang kokoh karena sumber pemasukannya yang berasal dari pajak dan utang. Sementara, Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia yang begitu melimpah malah mereka serahkan kepada asing dan swasta. Bukannya dikelola dengan baik dan benar, dialokasikan dananya untuk APBN. 

Alhasil, negara perhitungan meski kepada rakyatnya sendiri, bahkan sekalipun pada abdi negaranya. Wajar jika mereka menyebut dana pensiun hanyalah beban negara. Padahal sejatinya merekalah yang menjadi beban pegawai karena telah memotong gaji pegawai dengan seabrek iuran yang ada. 

Negara seolah melepaskan kewajiban untuk menghidupi para abdi negara lantas menyerahkannya pada lembaga swasta walau berembel milik negara. Padahal belum tentu juga lembaga yang dibentuk bersih dari korupsi, kecurangan dan ketidakbecusan dalam pengelolaannya. Dengan ini nyatalah bahwa sistem kapitalis telah gagal menyejahterakan rakyatnya. 


Solusi Islam 

Berbanding terbalik dengan negara Islam yang begitu menjamin rakyatnya, terlebih pegawai negaranya. Islam memiliki mekanisme untuk mengatur masalah kepegawaian termasuk mengatur jaminan terpenuhinya kebutuhan rakyatnya. Syekh Taqiyuddin An-Nabhani, seorang mujtahid mutlak telah menjelaskan mekanisme tersebut. Dalam kitab yang berjudul Nidzamul Iqtishadiyah atau sistem ekonomi Islam, yaitu pada bab pemasukan dan pengeluaran Baitul Mal. 

Salah satu alokasi dana dari Baitul Mal inilah yang kemudian digunakan untuk menggaji para tentara pegawai negeri. Berbagai jenis pegawai negara yang telah memberi jasa kepada negara akan mendapatkan gaji yang sangat besar. 

Khalifah Umar bin Khattab ra, telah memberikan teladan yang baik dalam mengatur gaji pegawai negeri. Beliau memberikan jumlah tidak kurang dari batas kecukupan yakni gaji tersebut secara makruf dapat memenuhi kebutuhan pokok para pegawai negara dan keluarganya.

Dengan konsep ini Khalifah Umar bin Khattab ra, mampu memberi gaji guru di Madinah sebesar 15 dinar. Satu Dinar setara 4,25 gram emas. Seandainya satu gram emas 24 karat senilai Rp 975.000, maka total gaji yang akan didapatkan para guru anak-anak sebesar Rp 62.115.250 jika dikonversikan dengan rupiah. 

Betapa luar biasanya negara Islam mengatur urusan rakyatnya. Para pemimpin dalam negara Islam tidak menjadikan standar untung rugi, melainkan menjadikan ketentuan syariat sebagai standar dalam mengambil kebijakan. Dan, jelaslah sudah bahwa sistem Islam dalam naungan Daulah Khilafah telah menyejahterakan rakyatnya. 

Wallahu a'lam bishshawab. []
 

Oleh: Diana Septiani
Sahabat TintaSiyasi
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments