Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Belajar dari Pengalaman, BLT Bukan Solusi


TintaSiyasi.com -- Pilu. Itulah ungkapan saat melihat harga BBM yang saat ini mencapai 10.000 rupiah/liter. Keputusan pemerintah untuk menaikkan harga BBM yakni pada 31% sangat membebani rakyat. Beban rakyat kian bertambah, karena kenaikan BBM tentunya diikuti dengan kenaikan barang ataupun jasa. Padahal keadaan ekonomi masyarakat belum pulih pasca pandemi. Kenaikan BBM tentu menjadikan rakyat pusing tujuh keliling, dikarenakan saat ini BBM sudah menjadi kebutuhan pokok di tengah masyarakat kita. 
     
Pemerintah mencoba mengobati kekecewaan masyarakat dengan pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT). Bantuan ini sudah dimulai bulan Agustus lalu sebelum pemerintah mengumumkan adanya kenaikan BBM. BLT BBM diberikan pada masyarakat selama 4 bulan. Dengan per bulannya diberikan Rp 150.000. Total penerima bantuan ini yaitu sebesar 20.600.000/orang. Selain itu pemerintah juga menggelontorkan subsidi BBM bagi para pekerja sebesar Rp 600.000 untuk kurang lebih 16 juta pekerja (Kontan.co.id, 31/8/2022). 

Jika kita cermati, bantuan semacam ini kerap dilakukan pemerintah setelah penetapan kebijakan tertentu. Seolah terlihat membantu masyarakat, padahal sejatinya bantuan tersebut tidak sebanding dengan beratnya beban ekonomi masyarakat saat ini. Bukan cerita baru, jika bantuan semacam ini juga akan menimbulkan banyak permasalahan seperti kejadian sebelumnya. 

Dilansir dari Merdeka.com (3/9/2022), Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak menampik kemungkinan adanya BLT subsidi BBM yang tidak tepat sasaran. Beliau mengatakan, bahwa hal tersebut sangat mungkin terjadi mengingat jumlah BLT yang disebar sangat banyak yakni untuk 20,65 juta warga Indonesia. Sangat menggelitik rasanya, melihat respon yang demikian terhadap kebijakan yang dibuatnya sendiri. Jika kita berkaca pada pengalaman sebelumnya, mengapa solusi ini tetap dijalankan? 

Jika pemerintah menganggap BLT yang diberikan akan membantu masyarakat, maka hal tersebut adalah salah besar. Distribusi BLT akan sama saja seperti cerita masa lalu. Tidak akan tepat sasaran, penyelewengan, pengurangan jumlah yang diterima masyarakat, serta permasalahan teknis dalam distribusi rupiah dari pusat ke daerah. Dilihat dari jumlahnya saja, bantuan tersebut tidak nampak akan meringankan perekonomian masyarakat. 

Bukan hal yang aneh jika dalam sistem kapitalis, segala sesuatu sangat rinci dikalkulasi secara matematis. Tentunya untuk menghindari kerugian sekecil apapun. Padahal sepatutnya, teori untung dan rugi ini tidak digunakan dalam hubungan negara pada rakyatnya. Pemberian BLT di tengah tangisan masyarakat hanya sekadar mencari simpati masyarakat. Dari sini, masyarakat dipaksa paham bahwa kenaikan BBM adalah satu-satunya jalan untuk memperbaiki APBN. Dalam sistem kapitalis, negara tidak menjalankan fungsinya sebagaimana Islam mengatur dengan rinci.

Kedudukan negara dalam Islam, adalah sebagai pemelihara masyarakat, bertindak sebagai pengatur, dan senantiasa mementingkan urusan rakyatnya. Tidak ada alasan yang dibenarkan pada negara yang secara nyata menunjukkan lepasnya tanggung jawab atas rakyatnya. Tentunya tidak ada untung rugi dalam memenuhi tanggung jawab tersebut layaknya sistem kapitalis. 

Sejatinya, bukan rupiah yang diharapkan rakyat atas kebijakan penguasa. Rakyat hanya menginginkan aturan yang tegas, adil, serta memihak. Semua itu tidak akan didapat jika sistem yang saat ini yang digunakan masih menggunakan kapitalisme. Kapitalis akan selalu dimenangkan. Rakyat hanya akan dinomorduakan. Sistem yang sejatinya membela kepentingan umat adalah sistem Islam. Sudah seharusnya, sistem Islam diterapkan di seluruh dunia demi terciptanya kesejahteraan. Dikarenakan dalam sistem Islam, segala sesuatu dikendalikan oleh syariat yang diciptakan oleh Sang Pencipta. Aturan beralaskan syariat tidak akan pernah salah, karena jauh dari nafsu ketamakan dunia. 

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Hima Dewi, S.Si., M.Si. 
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments