TintaSiyasi.com -- Belum lama ini Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto dan Ketua DPP PDIP, Puan Maharani serta sejumlah jajaran petinggi partai melakukan pertemuan sebagai bagian dari safari politik dan komunikasi politik jelang pemilu 2024. Prabowo sebagai menteri Pertahanan mengatakan bahwa segala kemungkinan bisa saja terjadi menjelang pemilu. Termasuk menggandeng Puan dalam Pilpres 2024 (Kompas.com, 4/9/2022).
Sungguh miris. Di saat rakyat sedang berjuang bertahan hidup dalam mengatasi efek domino kenaikan BBM, para petinggi negara dan wakil rakyat justru sibuk mencari pasangan kontestasi. Bahkan, tak segan-segan memoles diri agar tampak layak untuk kembali mendapat kepercayaan masyarakat. Seyogianya, rakyat menyadari bahwa hal ini merupakan wajah asli dari sistem demokrasi. Pasalnya, sistem politik demokrasi hanya melahirkan sosok pengabdi kursi kekuasaan semata. Bukan pelayan rakyat yang bisa ikut merasakan penderitaan mereka. Parahnya, tak jarang para pengabdi kekuasaan memanfaatkan keterpurukan rakyat demi kepentingan politik.
Akan tetapi, jika kita menilik konsep pemerintahan demokrasi. Maka fakta ini bukanlah hal tabu. Sebab, asas politik demokrasi adalah manfaat dan kepentingan. Sehingga, wajar ketika rakyat hanya dibutuhkan saat kompetisi pemilu untuk meraih kekuasaan. Di luar itu, peran dan suara rakyat terpinggirkan bahkan sengaja diabaikan. Alhasil, sistem demokrasi hanya menghasilkan pemimpin yang tidak amanah. Aktivitasnya jauh dari pengurusan urusan umat. Namun, dekat dengan mengurusi kepentingan pemilik modal. Apabila partai dan penguasa tidak lagi bisa diharapkan mengurus urusan rakyat. Maka rakyatlah yang harus menghadang kuatnya arus kekuasaan hingga membuat masyarakat makin depresi dalam menjalani kehidupan.
Perlu dipahami dalam melawan kemungkaran dibutuhkan kesadaran politik yang benar. Umat tak boleh antipolitik karena politik dalam Islam bukan hanya sebatas berbicara tentang kekuasaan. Politik Islam adalah mengurusi urusan umat. Salah satu aktivitas politik adalah meluruskan penguasa zalim, mengoreksi kebijakan yang bertentangan dengan Islam dan menasehati penguasa. Dengan kata lain, aktivitas politik terwujud dalam dakwah amar makruf nahi mungkar.
Sejatinya, politik pragmatis yang kerap dipertontonkan di sistem sekuler saat ini tidak akan melahirkan pemimpin, negarawan, dan politisi sejati. Sebab, mereka menganggap politik hanya cara untuk meraih kekuasaan dan mempertahankannya serta menghalalkan segala cara demi memenangkan kekuasaan tersebut.
Sedangkan dalam Islam, politik mendapat tempat dan kedudukan yang hukumnya bisa menjadi wajib. Karena, mengurus dan memelihara urusan kaum Muslim merupakan bagian kewajiban syariat Islam. Pentingnya politik dalam Islam tergambar dari ungkapan Imam Al-Ghazali "Kekuasaan dan agama adalah saudara kembar yang tidak bisa dipisahkan". Terlebih sejak awal datangnya Islam, kaum Muslim sebenarnya telah berpolitik. Yaitu menghukumi persoalan dengan syariat Islam, ikut dalam kegiatan bernegara seperti berjihad, mengirim utusan ke penguasa non-muslim bahkan mendirikan negara.
Sesungguhnya, contoh politisi dan negarawan terbaik telah ada pada diri Rasulullah SAW, Khulafaur Rasyidin serta para pemimpin Islam terdahulu. Orientasi politik Islam bukan meraih kekuasaan setinggi-tingginya. Kekuasaan dipandang hanyalah sebagai jalan untuk menegakkan hukum Allah. Tujuan politik Islam adalah menerapkan syariat Islam sebagai solusi mendasar bagi permasalahan seluruh umat manusia.
Sistem politik inilah yang hendaknya kita perjuangkan. Sifat dan karakter para pemimpinnya telah terbukti bernilai di atas rata-rata jika dibandingkan dengan para pemimpin atau pejabat sekarang. Mereka tak sekadar basa-basi mengobral janji manis kampanye demi sumpah jabatan. Tapi terbukti dengan langkah nyata dalam proses jabatannya. Tak ada bedanya ketika masa kampanye dengan realitas saat menjabat. Para pejabat yakin bahwa setiap kebijakan yang diambil akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Hanya ada dua pilihan surga atau neraka. Kekuatan iman inilah yang akan menjadi pengangan utama sehingga penguasa tidak tertarik melakukan kemaksiatan meski dengan imbalan dan iming-iming yang menggiurkan.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Teti Ummu Alif
Pemerhati Kebijakan Publik
0 Comments