Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

BBM Ramah Dompet, Mungkinkah?


TintaSiyasi.com -- Hingar bingar “Agustusan” telah berakhir. Memasuki September pun tak lagi ceria. Kegembiraan merayakan 77 tahun kemerdekaan berganti kesedihan dengan diumumkannya harga baru BBM jenis Pertalite, Solar, dan Pertamax. Tak tanggung-tanggung, kenaikannya lebih dari 30% dan diumumkan di siang bolong pada 3 September lalu. Menurut narasi pemerintah, ini adalah keputusan yang paling tepat. Presiden mengatakan dalam pidato resminya di Istana Negara (3/9/2022) bahwa keputusan menaikkan harga BBM ini bukanlah keputusan yang gampang. Finally, pemerintahan Jokowi-Maruf lebih memilih menaikkan harga BBM dan mengalihkan subsidi menjadi Bantuan Tunai BBM.

Skak sudah. Masyarakat hanya bisa menggeliat-geliat sambil gigi gemertak, atau meluapkan keluh kesahnya di media sosial dengan berbagai redaksi. Ada juga yang menuangkan aksi protesnya lewat demonstrasi. Namun, meskipun demonstrasi di gelar di sana-sini, nampaknya pemerintah hanya bergeming. Keputusan pemerintah sudah bulat dan sulit diganggu gugat.

Inilah realitas yang sangat ironi di negeri yang menganut demokrasi. Suara rakyat masuk ke telinga kanan dan keluar ke telinga kiri. Tidaklah berlebihan, rakyat melakukan protes bukan bertujuan viral, melainkan menuntut keadilan dan kesejahteraan. Banyak ekonom dan pakar yang ‘lurus’ memberikan masukan bahwa masih ada jalan lain selain BBM dinaikkan. Misalnya, menghentikan proyek-proyek yang bukan prioritas rakyat seperti IKN, Kereta Cepat, serta menunda belanja pemerintah.

Bila kita cermati, pengalihan alokasi subsidi energi menjadi Bantuan Tunai BBM terlihat sangat timpang. Subsidi energi selama Januari-Agustus 2022 sebesar Rp208,9 triliun. Artinya, per bulannya mencapai lebih dari Rp26 triliun atau sebesar Rp104 triliun untuk empat bulan. Sedangkan Bantuan Tunai BBM hanya Rp24,7 untuk 4 bulan. Coba bandingkan! Kondisi ini meniscayakan akan ada banyak kelompok masyarakat yang tidak menerima Bantuan Tunai BBM. Atau akan ada banyak pekerja yang tidak menerima bantuan subsisi upah misalnya yang memiliki gaji di atas Rp3,5 juta per bulan.

Dari rezim ke rezim, persoalan BBM dan subsidi memang selalu “sad ending” bagi rakyat. Kebijakan di sektor ini selalu panen kritik tetapi tak pernah berubah menjadi lebih baik. Korbannya lagi-lagi rakyat. Padahal, dari dulu hingga kini efek samping kenaikan harga BBM terhadap kelompok menengah ke bawah sangatlah besar. Bahkan disinyalir akan mengerek inflasi di angka 7% akibat lonjakan harga-harga. Naiknya inflasi tentu saja akan berefek kebmana-mana, termasuk naiknya angka kemiskinan. Lantas, dari mana logikanya pengalihan subsidi dikatakan sebagai salah satu jalan mewujudkan ketahanan ekonomi nasional?

Semua kekacauan ekonomi ini adalah ‘jalan takdir’ akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme neoliberal. Ada kesalahan berlapis sistem ekonomi ini yang menyebabkan rakyat tak kunjung “merdeka” menikmati murahnya harga energi, bahkan di negeri sendiri yang predikatnya sebagai produsen sekalipun. Kesalahan kapitalisme adalah cara pandang kepemilikan. Kapitalisme menyerahkan hak kepemilikan dan pengelolaan harta milik umum kepada individu atau swasta. Dengan begitu, harta milik umum yang sejatinya hak rakyat, dikuasai oleh segelintir orang di bawah payung undang-undang liberal melalui skema privatisasi dan liberalisasi .

Free fight liberalism atau sistem persaingan bebas adalah platform sistem ekonomi kapitalisme. Siapa saja yang memiliki modal dan mampu menggunakan kekuatan modal (kapital) secara efektif dan efisien, maka dialah pemenang pertarungan ekonomi dan bisnis. Celakanya, paham ini telah merangsek dalam tubuh kekuasaan politik negara sehingga terbentuklah oligarki. Mereka mengendalikan pemerintahan dan mendikte kebijakan pemerintah, termasuk kebijakan distribusi kepemilikan di tengah masyarakat. Alhasil, kekayaan alam yang seharusnya dinikmati rakyat dan terdistribusi secara adil dan merata, nyatanya hanya berotasi pada segelintir elite.

Ini jelas tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (2) yang menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, lalu ayat (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

BBM ‘ramah dompet’ adalah impian banyak orang. Mungkinkah bisa terwujud dalam sistem sekarang? Negeri ini harus berbenah. Mau tidak mau harus mencari alternatif sistem tata kelola perekonomian yang terbukti meyejahterakan, tanpa efek samping apalagi membahayakan. Oleh karenanya, sistem yang menyuburkan keberadaan oligarki layak untuk ditinggalkan. Semata agar kemakmuran rakyat benar-benar bisa diwujudkan. Di antara sistem yanga ada sepanjang sejarah, hanya islam yang terbukti mampu menyejahterakan.

Dalam perspektf islam, kekayaan alam seperti BBM, listrik, gas, batu bara dan sumber energi lainnya adalah milik umum (rakyat). Dalilnya adalah hadis Nabi SAW, ”Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api" (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Hadis tersebut menyatakan bahwa ketiganya tidak boleh dimiliki oleh individu. Kewajiban mengelolanya ada pada pundak negara dan peruntukannya bagi rakyat keseluruhan. Negara mengatur produksi dan distribusinya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, individu per individu. Keputusan syariah tentang hak kepemilikan dan kewajiban pengelolaan serta distribusi harta milik umum tidak bisa dimusyawarahkan apalagi diutak-atik agar menguntungkan segelintir elite. Dalam konteks negara, kegiatan ekonomi merupakan wujud pengaturan dan pelayanan urusan rakyat. Negara menerapkan hukum-hukum Allah sebagai koridor kegiatan ekonomi dan bisnis. Semata agar rakyat dapat hidup secara layak sebagai manusia menurut standar Islam. Juga untuk mencegah aktivitas ekonomi yang zalim, eksploitatif, tidak transparan, dan menimbulkan kemudaratan bagi umat manusia.

Sungguh, kebaikan dan kerahmatan Islam bagi seluruh alam hanya akan terwujud manakala Islam dijadikan asas kehidupan dalam bingkai institusi politik yang menaungi seluruh kaum Muslim sedunia. Kepemimpinan politik Islam adalah kepemimpinan independen yang kuat dan khas karena berbasis keimanan. Dengannya, manusia dibebaskan dari kejahiliahan makhluk dan dari kesempitan hidup. Terbukti belasan abad, Kekhilafahan Islam mampu membawa manusia pada peradaban luhur dan unggul tanpa satu pun yang bisa menandinginya.

Wallahu a’lam. []


Oleh: Pipit Agustin
Forum Hijrah Kafah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments