TintaSiyasi.com -- Kekeringan yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia yang menyebabkan keberlangsungan hidup manusia ikut terganggu. Sampai dengan 08 Agustus 2022 sebanyak 6 Kabupaten/Kota di NTB telah menetapkan status siaga darurat bencana kekeringan tahun 2022, sedangkan Provinsi NTB masih dalam proses penetapan status siaga darurat kekeringan. Sebagian Kabupaten/Kota di Provinsi NTB sudah melaporkan terjadinya bencana kekeringan, dengan total terdampak sementara 74 Kecamatan, 296 Desa, 157.826 KK dan 570.464 Jiwa.
Curah hujan di wilayah NTB pada dasarian III Juli 2022 seluruhnya masuk dalam kategori rendah (<10 mm/das. Curah Hujan tertinggi tercatat terjadi di Pos Hujan Selong Belanak, Kabupaten Lombok Tengah sebesar 10 mm/dasarian. Sifat hujan pada dasarian III Juli 2022 di wilayah NTB didominasi kategori Bawah Normal (BN), namun sifat hujan Atas Normal juga terjadi di sebagian Kabupaten Lombok Barat bagian selatan, Lombok Tengah bagian selatan, serta sebagian kecil pesisir Lombok Timur bagian selatan.
Ancaman kekeringan dan kelangkaan air bersih bagi umat manusia merupakan akibat dari perubahan iklim yang sudah menjadi ancaman dari tahun ke tahun. Bahkan sekitar 2,7 milyar orang atau sekitar sepertiga populasi dunia akan menghadapi kekurangan air dalam tingkat yang parah di tahun 2025 jika iklim terus berubah.
Pembabatan hutan yang tidak lagi mengindahkan keseimbangan ekologi tersebut semata-mata dilakukan demi kepentingan ekonomi. Tentu ini berdampak negatif terhadap kelangsungan hidup penduduk Indonesia dalam jangka panjang. Deforestasi tersebut tidak hanya meningkatkan produksi gas emisi karbon—yang membuat suhu udara semakin panas—tetapi juga berdampak negatif bagi kehidupan masyarakat, seperti longsor, banjir. Keanekaragaman hayati hutan yang bermanfaat bagi manusia, dimusnahkan tanpa ampun, termasuk melalui pembakaran, yang membahayakan banyak orang. Pendek kata, pengelolaan lahan secara liberal telah mengakibatkan kerugian yang tak terpermanai bagi penduduk Indonesia.
Distribusi tanah di Indonesia memang sangat timpang. Pembagian pengolahan lahan lebih banyak diberikan kepada para korporasi yang jumlahnya segelintir, dibandingkan dengan rakyat yang jumlahnya berjuta-juta. Pemerintah, yang semestinya mengatur penggunaan lahan secara adil, malah ugal-ugalan dalam memberikan izin kepada para investor.
Berbagai produk UU neoliberal ini, dari berbagai rezim, telah menjadi senjata legal berbagai korporasi untuk bertindak rakus. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) pernah menyatakan 82 persen lahan di Indonesia dikuasai oleh korporasi besar. Menurut Walhi penguasaan saat ini oleh korporasi sebesar 82 persen, itu oleh konsesi dan izin di sektor kehutanan, perkebunan, pertambangan. Walhi mencatat dominasi penguasaan ruang dari sektor kehutanan 31,7 juta hektar, perkebunan kelapa sawit melalui hak guna usaha 11,1 juta hektar, pertambangan 32,7 juta hektar, dan pertambangan minyak dan gas 83,5 juta hektar.
Padahal dengan merujuk pada syariah Islam, kerakusan pemilik modal bisa dihentikan. Barang tambang yang jumlahnya melimpah adalah milik umum (milkiyah ‘ammah) yang tidak boleh dimiliki oleh individu, swasta, apalagi negara-negara imperialis seperti Amerika, Eropa dan China.
Habitat subur kemaksiatan itu ada pada sistem demokrasi yang telah menempatkan hak membuat hukum itu kepada manusia. Dengan kerakusannya, manusia membuat hukum untuk kepentingan pribadinya, termasuk kepentingan bisnis para pemilik modal. Tidak peduli rakyat semakin susah, tidak peduli lingkungan yang rusak.
Alhasil, syariah Islamlah yang bisa meminimalisir bencana akibat kerakusan korporasi serakah yang bekerja sama dengan politisi penghamba uang.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Wakini
Aktivis Muslimah
0 Comments