TintaSiyasi.com -- Bulan Agustus telah pergi, euforia hari kemerdekaan pun telah sunyi. Berbagai perayaan mulai dari desa ke kota, oleh warga biasa hingga penguasa sudah tidak ada lagi. Berbagai perayaan ini tentu muncul karena adanya rasa bahagia, rasa syukur sebab negeri ini telah merdeka.
Syukur tentu tidak sekadar ucapan, namun juga diwujudkan dalam perbuatan. Yakni dengan cara menggunakan kemerdekaan untuk ketaatan kepada Sang Pemberi kemerdekaan. Sayangnya, saat ini kemerdekaan seringkali diisi bukan untuk ketaatan tapi kemaksiatan.
Kesalahan dalam mengisi kemerdekaan tidak terlepas dari adanya penafsiran yang salah terhadap kemerdekaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata merdeka berarti bebas (dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya); berdiri sendiri. Jika diperhatikan maka tidak ada yang salah dari arti kata ini.
Namun sayang, pada realitasnya makna bebas yang dijadikan acuan adalah sebagaimana yang dibangun oleh masyarakat Barat yang memiliki pehamaman sekuler atau memisahkan agama dari kehidupan. Alhasil, di negeri ini merdeka juga dimaknai dengan bebas dari semua keterikatan dan keterpaksaan termasuk dari aturan agama. Maka meskipun seseorang mengaku Muslim, tapi dia bebas untuk tidak terikat dengan aturan agamanya yakni Islam.
Menurut paham kebebasan atau liberalisme kemerdekaan haruslah menjamin hak asasi manusia, yakni kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, kebebasan kepemilikan dan kebebasan beragama. Inilah di antara penyebab dasar adanya kesalahan dalam mengisi kemerdekaan, sebab pemahaman yang diadopsi merupakan pemahaman yang keliru.
Dari pemahaman sekuler ini muncullah berbagai kerusakan di segala lini. Kita sebut saja beberapa di antaranya, karena adanya pengakuan terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi Alhasil, meskipun pendapat itu jelas keharaman, bahaya, dan kerusakannya, tapi di sistem ini pendapat dan perilaku tersebut sah-sah saja ada.
Misal, maraknya konten yang dibuat oleh pasangan LGBT atau konten yang dengan santai menampilkan pasangan LGBT. Contoh lainnya akibat kebebasan ini adalah maraknya kasus penistaan agama. Seseorang bisa dengan mudah dan santai, bahkan sambil komedi atau goyang, berucap dan bersikap melecehkan Al-Qur'an, Rasulullah SAW maupun ulama.
Kerusakan selanjutnya disebabkan karena adanya pengakuan terhadap kebebasan kepemilikan. Alhasil, ekonomi dikuasai oleh para kapitalis. Siapa yang berpunya dia bisa membeli segalanya, tidak hanya harta bahkan jabatan dan kebijakan sekalipun bisa dibeli. Terkait harta contohnya, di negeri ini 93% tanah telah dikuasai oleh para konglomerat atau swasta, seperti yang pernah dirincikan oleh Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Almarhum Syafii Maarif. Akhirnya rakyat harus berebut sisa.
Dalam hal kebijakan, telah menjadi rahasia umum di negeri ini bahwa ada pengusaha dibalik jabatan penguasa. Menkopolhukam Mahfud MD pernah menyatakan bahwa 92 persen pemilihan kepala daerah dikuasai cukong. Alhasil aksi korupsi marak terjadi, sebab harus ada praktik balas budi. Kebijakan pun akan berpihak bagi mereka yang mampu investasi.
Inilah sekilas potret buram sistem kapitalis sekuler. Berkaca dari semua kerusakan ini, layakkah negeri ini dikatakan telah merdeka? Sejatinya negeri ini memang sudah terlepas dari penjajahan fisik atau militer, tapi tidak dengan penjajahan nonfisik berupa pemikiran sekuler kapitalis yang menghasilkan berbagai kezaliman lainnya. Selanjutnya inilah cara untuk meraih kemerdekaan yang sebenarnya.
Pertama, makna kemerdekaan harus dipahami secara benar yaitu terbebas dari segala penghambaan, baik kepada sesama makhluk maupun nafsu dirinya sendiri. Penghambaan hanya ditujukan kepada al-Khalik, Sang Pemberi kemerdekaan tersebut. Allah SWT berfirman, "Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menghamba kepada-Ku" [TQS. Adz-Dzariyat:56].
Kemerdekaan hakiki akan mampu diraih dengan melaksanakan seluruh hukum-hukum-Nya. Sebab Pencipta tentu lebih tahu yang terbaik untuk yang diciptakan. Standar benar salah suatu perkataan dan perbuatan akan tetap dan tepat, bukan ditafsirkan sesuai kepentingan seperti sekarang. Ahasil, kerusakanlah yang didapatkan. Benarlah firman Allah SWT, "Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, serta semua yang ada di dalamnya.." [TQS al-Mu’minun: 71].
Di sistem sekuler kapitalis ini, hak asasi manusia disuarakan namun penerapannya sering kali lebih mirip dengan privilige bagi mereka yang yang punya kekuasaan. Sedangkan Islam menempatkan semua manusia sama, hanya takwa yang menjadi pembeda. Maka pemberian hak manusia akan ditempatkan sebagaimana Islam telah mengaturnya dengan sempurna dalam setiap lini kehidupan. Dengan demikian rahmat bagi seluruh alam akan mampu kita rasakan. Allahu a'lam. []
Oleh: Noor Dewi Mudzalifah
Pegiat Literasi
0 Comments